Agama, Integritas, dan Spirit Anti Korupsi

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
26 November 2020 0:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Korupsi. Foto: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Korupsi. Foto: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sejauh ini, hanya agama yang secara terang-terangan menutup jalur-jalur keburukan, sehingga nilai-nilai kebaikan bersama tetap diakui secara universal. Kejahatan berupa korupsi, tidak sekadar dosa yang dikecam dalam semua tradisi agama, lebih dari itu, korupsi melanggengkan kebejatan moral (moral depravity) individual dan pemutarbalikkan serta ketidak laziman yang hampir keseluruhannya berdampak pada suatu pembusukan nilai-nilai moral-spiritual dalam suatu masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dampak yang begitu besar, selaras dengan istilahnya yang diambil dari bahasa Latin, “corrumpere”, yaitu segala hal yang busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, dan menyogok.
Korupsi, tidak terbatas dalam praktik suap-menyuap dalam lingkup sistem politik, tetapi perbuatan ini secara umum adalah tindakan yang merusak sistem dan hak-hak politik, ekonomi, dan hukum. Sangat tepat ketika istilah dalam bahasa Arab untuk korupsi adalah “fasad” yang daya rusaknya memiliki spektrum lebih luas, tidak hanya ketimpangan sosial, tetapi juga mental-spiritual.
Korupsi umumnya memang lahir dari praktik kekuasaan (politik) yang menyimpang, sehingga membawa politisi asal Inggris pada abad ke-19, Lord Acton, membuat suatu tesis: “power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”. Dengan agak sinis, ia menambahkan, “great men are almost always bad men”.
ADVERTISEMENT
Sulit untuk tidak mengatakan, bahwa tidak ada jaminan bagi suatu sistem pemerintahan demokratis sekalipun dengan kontrol kekuasaan yang begitu ketat, terbebas dari bentuk-bentuk korupsi.
Ia seolah melekat dalam suasana kekuasaan, tanpa memandang apakah sebuah sistem politik itu monarki, aristokrasi, atau demokrasi, bahkan dalam sebuah sistem yang diakui paling religius sekalipun, korupsi tampak lebih subur, bahkan terus bertransformasi secara endemik menciptakan berbagai varian barunya.
Sebagai negeri yang dipandang masyarakatnya begitu religius, Indonesia tampaknya terjebak dalam lingkaran aktivitas korupsi yang sedemikian rumit sebagai akibat langsung dari suatu kenyataan kekuasaan.
Elite penguasa yang memiliki berbagai privilege, justru seringkali tersandung berbagai kasus korupsi. Diakui maupun tidak, korupsi tidak lagi menjadi sebuah penyimpangan yang dilakukan elite secara individual, tetapi kerap diciptakan melalui kekuasaan politik secara sistemik, massif, dan terstruktur.
ADVERTISEMENT
Kuasa uang menjadi semacam ciri khas dalam menentukan ukuran-ukuran perpolitikan, yang hampir memberangus segala nilai-nilai kepantasan dan profesionalitas. Demokrasi hanya mampu menggelinding pada tataran formalitas, belum menyentuh aspek-aspek normalitas yang dapat memberi kesadaran para elite sebagai agen-agen perubahan sosial.
Kekuasaan politik pada akhirnya diakui demokratis hanya ketika pemilu digelar sesuai dengan waktu yang direncanakan. Penundaan Pilkada serentak akibat pandemi, hanya akan memunculkan wacana “undemocracy” karena lagi-lagi, kuasa uang akan menghitung dengan cepat setiap kerugian setiap kandidat yang mengikuti kontestasi.
Kekuasaan memang hampir tak mengenal agama, bahkan dalam banyak hal, praktik politik lebih didasarkan pada nilai-nilai keekonomian dan tentu saja pragmatis. Agama pada akhirnya hanya menjadi alat kekuasaan yang kadang sebatas simbol yang dipertontonkan jelang dekatnya ajang kontestasi politik.
ADVERTISEMENT
Selama agama hanya dimanfaatkan sebagai kendaraan politik, maka agama tak pernah menjadi nilai-nilai kebajikan yang dapat mengontrol, membatasi, bahkan memaksa setiap orang yang mengaku beragama untuk tidak berlaku korup.
Saya tentu saja tidak melihat bahwa mereka yang terjerat kasus korupsi merupakan elite penguasa yang cenderung menyalahgunakan kekuasaannya, tetapi saya melihat bahwa mereka bagian dari masyarakat religius yang sejauh ini melekat sebagai jati diri bangsa.
Nilai-nilai Pancasila yang mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara jelas berasal dari nilai-nilai keagamaan, sehingga betapa ironinya jika masih saja ada para elite penguasa justru gagal ketika memahami jati dirinya sebagai orang yang mengaku beragama, tetapi sekadar memanfaatkannya demi keuntungan-keuntungan pribadi untuk mencapai kekuasaan.
Salah satu ajaran agama yang menonjolkan dan memperkuat aspek-aspek moralitas dalam menjaga, membatasi, mengatur setiap individu dan kelompoknya untuk tidak melakukan penyimpangan adalah Islam.
ADVERTISEMENT
Syariat, sebagai bagian inheren dalam ajaran Islam mencakup didalamnya prinsip-prinsip maqashid al-syari’ah yang secara universal menjadi landasan bagi suatu sistem sosial untuk terciptanya kemaslahatan dan menghilangkan kemafsadatan.
Dalam banyak hal, syariat Islam yang terbentuk melalui jalinan nilai dan tradisi—baik tekstual maupun realitas atau kontekstual—sangat memperhatikan aspek kepemimpinan sosial (governance of society) di mana nilai-nilai moral filosofinya sangat tampak jelas menyuarakan pesan-pesan anti-korupsi.
Sudah sejak dari generasi awal Islam, Nabi Muhammad secara terbuka mengkritik para penguasa Mekkah yang gemar menumpuk-numpuk harta yang diperoleh melalui cara-cara ilegal (bathil), seperti praktik riba yang telah menjadi kebiasaan masyarakat Jahiliyah.
Harta riba yang diperoleh melalui jalan tidak lazim, bertransformasi menjadi praktik lainnya dalam hal memperoleh harta dengan cara-cara yang menyimpang, tercerabut dari prinsip-prinsip etika hukum Islam. Transformasi riba yang menjalar dalam praktik-praktik sosial-politik pada akhirnya jatuh pada bentuk “misuse of power”, sebuah praktik penyimpangan dalam kekuasaan dengan mencari berbagai keuntungan pribadi melalui pemanfaatan kekuasaannya.
ADVERTISEMENT
Korupsi—dengan berbagai perluasannya—yang erat kaitannya dengan kekuasaan, memang lebih berimplikasi politik, di mana praktik curang kerap dilakukan oleh oknum-oknum penguasa yang kongkalikong dengan pengusaha melalui pihak perantara (broker) demi mengeruk keuntungan dengan cara-cara tidak lazim, memanipulasi “nilai-nilai” tertentu yang tidak sesuai peruntukannya, demi tujuan-tujuan pribadi.
Keuntungan berlipat-lipat secara manipulatif, tersembunyi, tidak transparan, yang merugikan keuangan negara, secara spesifik disebut sebagai bagian dari korupsi politik—sekalipun varian-variannya lebih kompleks, namun sejatinya korupsi lahir dari penyimpangan kekuasaan politik.
Maka, integritas sebagai bentuk kesadaran moral, linier dengan ajaran-ajaran Islam dan secara khusus menyatu dalam konteks maqashid al-syari’ah dengan tujuan-tujuan kemaslahatan umat secara lebih luas.***