Bangkrut

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
14 Juni 2021 15:05 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kondisi yang paling menyengsarakan dalam kehidupan manusia tentu saja bangkrut. Orang berhutang masih mungkin menikmati hidup, sebab ia masih berupaya untuk berpikir bagaimana cara melunasi hutang-hutangnya, bahkan orang berhutang (gharimin) adalah mereka yang berhak disubsidi dalam pandangan teologis. Bangkrut, bukan saja seseorang berada dalam kondisi tidak punya apa-apa, tetapi juga dia tidak lagi bisa mengklaim hak milik dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Secara teologis, bangkrut (muflis) berarti habisnya seluruh nilai kebajikan dalam diri seseorang karena ditukar oleh keburukan-keburukan pihak lain yang merasa dirugikan olehnya. Betapa sengsaranya bangkrut teologis ini, sebab seluruh kebaikannya tercerabut dan yang tersisa hanyalah keburukan. Secara sosiologis, bangkrut berarti terkikisnya kebahagiaan dalam seluruh struktur sosial. Setiap orang tidak lagi merasa nyaman dan aman bahkan hampir setiap waktu merasakan ancaman-ancaman sehingga realitas sosial jelas terganggu oleh ketidakpercayaan dan permusuhan antarsesamanya. Secara politis, bangkrut lebih berbahaya lagi, karena para pemangku kepentingan sudah tidak lagi mampu membayar hutang, mereka kehilangan kepercayaan, sehingga mengakali apa saja untuk menutup kebangkrutan mereka, termasuk memungut pajak secara liar, melacurkan para cendekiawan, dan parahnya, institusi pendidikan dilacurkan demi mendongkrak kecendekiawanan penguasa, dengan dalih bahwa kecendekiawanan ini mampu mengangkat citra penguasa ditengah kondisi kebangkrutan politis.
ADVERTISEMENT
Ciri-ciri dari kebangkrutan politik memiliki sejarahnya tersendiri di Nusantara. Dulu, di era kolonial, negeri ini pernah bangkrut, lalu dibuat strategi-strategi yang dibuat oleh para 'pelacur' cendekiawan, dari mulai apa yang disebut Sistem Tanam Paksa, Liberalisme Politik, dan terakhir Politik Etis dimana ketiganya 'gagal' dalam menghindari kebangkrutan, sehingga negeri ini tetap menderita secara ekonomi-politik. Kitapun dapat menilai, dimana warisan politik etis yang berasal dari zaman kolonial hasil akal-akalan kalangan 'moralis-liberal' masih hidup hingga saat ini.
Politik etis bertujuan menghaluskan tujuan-tujuan politik agar lebih bernuansa humanis, lagi-lagi adalah upaya strategis untuk menutupi kebangkrutan moral-politis yang sedang dialami penguasa. Paling tidak, terdapat prinsip hutang budi yang saat ini sedang dilakukan, tetapi bukan hutang budi dalam pengertian 'apa yang seharusnya diberikan kepada negara' tetapi lebih kepada 'apa yang bisa diambil dari negara'. Itulah sebabnya, prinsip Politik Etis ini lebih dipandang sebagai bentuk politik paternalistik, dimana pemerintah berkepentingan mengurus kepentingan anak negerinya, tanpa mengikutsertakan anak negeri tersebut. Banyak sekali kebijakan-kebijakan politik yang hampir tak disosialisasikan, bahkan tanpa melibatkan masyarakat sama sekali. Anda bisa menilai sendiri soal betapa riuhnya kegaduhan ketika muncul kebijakan sepihak, entah itu dalam ranah pendidikan, politik, atau sosial-ekonomi yang kerap membingungkan masyarakat. Bangkrutkah kita?
ADVERTISEMENT
Untungnya, kita hidup di negeri yang diberkahi, dimana masih banyak kita temukan sekelompok masyarakat di pedalaman sana yang senantiasa bersyukur atas segala yang mereka peroleh semata-mata karena kemurahan Tuhan Yang Maha Esa. Bagi saya, merekalah sesungguhnya wujud nyata dari bentuk kesalehan individual dan juga sosial yang luput dari pandangan kalangan moralis-liberal. Kesalehan ini secara teologis justru menghalangi dan membangkrutkan mereka yang gemar melakukan kezaliman dan kerusakan. Barangkali, inilah kebenaran yang pernah diungkap seorang Sufi besar, Hasan al-Bashri yang menyatakan, "wa laula al-shalihun lahalaka al-thalihun" (seandainya tidak ada orang-orang saleh, maka dunia ini hancur oleh orang-orang rakus).
Bangsa ini boleh bangkrut secara sosial, ekonomi, maupun politik, tetapi tidak pernah bangkrut secara spiritual karena orang-orang ikhlas di pedalaman sana terus mengaktualisasikan rasa syukurnya kepada Tuhan, menggantikan seluruh keluh kesah, sumpah serapah dari orang-orang yang hidup di sekitar "permukaan" sana. Bagi saya, keberkahan bangsa ini adalah andil dari orang-orang sederhana ini yang hidup diliputi rasa syukur kepada Tuhan dan begitu menyadari betapa rahmat Tuhan itu begitu sangat luas, meliputi langit dan bumi dan hampir tak tampak keburukan atau kesengsaraan di mata mereka, kecuali nikmat Tuhan yang kita tak akan sanggup menghitungnya.
ADVERTISEMENT