Fenomena Kerajaan, Otoritas, dan Tradisi

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
29 Januari 2020 10:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Temuan cabang Kerajaan Keraton Agung sejagat di Klaten.
 Foto: Dok. Humas Polda Jateng
zoom-in-whitePerbesar
Temuan cabang Kerajaan Keraton Agung sejagat di Klaten. Foto: Dok. Humas Polda Jateng
ADVERTISEMENT
Perspektif kebanyakan orang terhadap munculnya fenomena kerajaan di Indonesia tentu saja berangkat dari prasangka “merendahkan” atau bahkan negatif, di mana kemunculan “empire” kuno ini jelas mengada-ada atau perbuatan “orang gila” yang daya khayalnya jauh melampaui kita yang hidup di tengah arus modernitas. Kita tentu saja sulit menerima kerajaan yang mengusung kembali suatu dinasti politik di tengah jebakan modernitas yang selama ini mengungkung pemikiran dan kebiasaan kita. Padahal, negeri kita sebelum ini adalah kerajaan dengan raja-raja besar yang memiliki otoritas dan secara “legitimated” diakui bahkan dihormati oleh masyarakatnya. Para raja jelas mereka yang setia mempertahankan tradisi, sebagai warisan sejarah sekaligus filsafat kehidupan yang sedemikian melekat menjadi “nilai” yang dipedomani masyarakat.
ADVERTISEMENT
Persoalannya, apakah sejauh ini masih ada kerajaan yang erat memegang tradisi? Atau para rajanya memiliki otoritas yang sedemikian dibanggakan dan dihormati?
Ilustrasi mahkota kerajaan Foto: Flickr/Kato Shinya
Saya beranggapan bahwa fenomena munculnya kerajaan-kerajaan belakangan ini, bukan sekadar upaya sedikit orang yang ingin mengembalikan “otoritas” dan “tradisi”, namun justru lebih jauh, yaitu mencoba mengangkat kesadaran masyarakat yang sejauh ini melupakan—bahkan jauh meninggalkan—warisan otoritas yang dulu pernah sedemikian dipandang sebagai suatu “kebenaran” dan di sisi lain, banyak tradisi yang dulu begitu mengakar justru tercabut dari nilai-nilai kehidupan masyarakat masa kini. Akibat modernitas yang mendewakan nalar dan realitas ilmiah, kita pun semakin jauh dari nilai-nilai religiositas yang selama berabad-abad menjadi ciri yang paling kuat dalam sejarah masyarakat Nusantara. Justru saya menilai, bahwa para raja-raja baru yang muncul dengan segala “otoritas” yang dimilikinya tidak sedang bermain-main dengan mitologi, tetapi justru berupaya “mendemitologisasi” modernitas yang selama berabad-abad dianut oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Alam modern tentu saja telah banyak menjauhkan kita dari tradisi dan nilai-nilai sosial-religius, mengubahnya ke dalam bentuk simbolisme sempit bersifat materialistik dan ukuran-ukuran rasionalisme buta, mengukur segala sesuatu berdasarkan realitas empirisme bahkan pragmatisme. Kita tak perlu lagi mementingkan “nilai”, namun bagaimana kebutuhan hidup kita terpenuhi bahkan segala keinginan-keinginan materialistik kita terwujudkan secara nyata. Otoritas kita adalah dunia material yang justru sering kali memunculkan fenomena simbolik sekali pun kadang tak masuk akal. Kita bahkan tak akan peduli lagi dengan urusan orang lain, sebab yang menjadi ukuran adalah aspek individualisme kita yang menjadi ciri khas masyarakat modern. Itulah sebabnya, agama pun hanya sebatas alat justifikasi moral bukan dianggap sebagai pedoman hidup di mana nilai-nilainya meresap bersama sejarah yang bergerak bersama kehidupan kita.
ADVERTISEMENT
Modernitas seolah mengeluarkan kita dari sejarah, sehingga wajar jika persoalan-persoalan sepele lalu tiba-tiba menjadi besar dan kontroversial. Karena gerak kita di luar sejarah, maka yang tampak terjadi adalah cara pandang kita terhadap sumber-sumber kebenaran cenderung dogmatis, kaku, ideologis, bahkan subjektif. Kebenaran seolah lepas dari gerak sejarah dan tradisi dianggap oleh kita sesuatu yang asing, berasal dari masa silam, mitos, tak masuk akal, dan kita senantiasa mengambil jarak yang sangat jauh dengan masa silam. Padahal—menurut Gadamer—“tradisi selalu merupakan bagian dari kita, sebuah model atau eksemplar, suatu pengakuan diri kita sendiri yang penilaian historis kita nanti hampir tidak dapat melihatnya sebagai macam pengetahuan, melainkan sebagai sebuah ikatan yang paling tulus dengan tradisi”. Kemunculan fenomena kerajaan yang tak diterima, atau dianggap remeh oleh kita, karena kita memang terlampau mengambil jarak yang jauh dengan sejarah dan tradisi.
ADVERTISEMENT
Saya tentu saja tidak sedang berapologi melakukan pembelaan atas menjamurnya fenomena “otoritas kuno” yang menjadi “fakta sosial” di tengah cengkeraman kuat arus modernitas dalam seluruh sisi kehidupan kita. Kita yang dikepung oleh arus modernitas, hampir-hampir tak lagi berada dalam ruang gerak sejarah, tetapi justru berada di bagian “terluar” darinya. Kita hampir saja mengabaikan bahwa relatifisme kebenaran adalah keniscayaan, di mana kemunculan kembali otoritas yang diusung oleh para raja, entah sekadar mengakui atau memang mengandung kebenaran yang tak pernah kita tahu, belum tentu juga sebuah “penyimpangan” dalam suatu alam modernitas. Saya justru menganggap, mungkin saja bahwa keberadaan mereka sekaligus mengingatkan kita kembali kepada masa silam, bahwa kita terlampau mengagungkan rasionalitas yang cenderung materialistik-pragmatis, seraya membuang dan mencampakkan nilai-nilai etika-moral kebersamaan, religiositas, otoritas, dan tradisi yang sempat menjadikan kita bangsa yang beradab, adil dan makmur.
Sejumlah pengawal kerajaan se-Nusantara. Foto: Abriawan Abhe/Antara
Banyak sekali yang hilang dari diri kita tanpa kita sadari sepenuhnya, akibat cara pandang positifistik yang serba empiris, sehingga mendorong aktivitas nalar dan kebebasan terlampau besar. Kebenaran selalu saja ukurannya nalar dan kebebasan, melepaskan diri kita dari eksistensi sebuah otoritas dan tradisi yang selama sekian abad membentuk realitas nilai yang berkembang dalam gerak sejarah kehidupan masyarakat Nusantara. Prasangka-prasangka manusia modern justru berdasar presuposisi dogmatis mereka yang terbentuk oleh alam pikiran mereka yang melepaskan diri dari sejarah, mereka sedang membangun tradisi dan otoritas mereka sendiri dengan mengambil jarak dari realitas masa lalu. Sekali pun bahwa fenomena munculnya kerajaan-kerajaan “baru” belakangan ini mungkin sulit dijelaskan nalar, namun cukup memberikan efek kejut bagi kesadaran kita secara kognitif, bahwa kita telah terputus dari rangkaian sejarah masa silam yang memandang kebenaran (juga) berdasarkan pertimbangan otoritas dan tradisi.
ADVERTISEMENT
Interpretasi kita melalui prasangka nalar yang rasional terhadap fenomena kerajaan-kerajaan baru di Nusantara tentu saja “subjektif” dan kita masih belum dapat membuat “objektifikasi” atas fenomena yang ada secara tepat dengan membersihkan terlebih dahulu berbagai komponen kognitif yang dibentuk oleh aspek modernitas sejauh ini.
Prasangka dan otoritas memang tidak dapat sama sekali dibersihkan. Hanya saja, pemahaman atas sebuah fenomena ketika kita mampu membedakan antara prasangka yang “legitimated” dan yang “illegitimated”, memungkinkan melahirkan cara pandang yang objektif atas fenomena banyak hal, termasuk munculnya berbagai kerajaan baru di Nusantara. Di sisi lain, fenomena ini menyadarkan kita—sekaligus juga otokritik—bahwa bangsa ini telah jauh meninggalkan tradisi, mencampakkan otoritas yang hadir dalam diri seseorang yang diakui oleh publik, baik ulama, kiai, raja, tokoh masyarakat, dan sejenisnya. Kita terlampau individualis, tak peduli lagi dengan kebersamaan, lebih memilih konfrontasi daripada bersama-sama membangun negeri yang dulu pernah harum namanya dengan kekuatan Majapahit dan Sriwijaya.
ADVERTISEMENT