Gembira dengan Puasa

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
11 April 2023 12:10 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi beribadah di malam lailatul qadar. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi beribadah di malam lailatul qadar. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Salah satu ciri dari kebaikan seorang Muslim adalah gembira yang selalu ditunjukkan oleh raut wajahnya. Bahkan, istilah "farah" yang dalam bahasa Indonesia berarti "gembira/senang" seolah menjadi identitas yang begitu melekat dalam diri setiap Muslim. Betapa tidak, bulan Ramadan yang ditandai dengan pelaksanaan puasa selama satu bulan, umumnya diawali dengan sedemikian meriah menyambut kedatangannya, bahkan telah berlangsung ratusan tahun sebagaimana terekam dalam sebuah hadis, "siapa saja yang bergembira dengan datangnya Ramadan, maka surga menjadi balasannya...". Sedemikian mudah berbagai "promosi" di bulan Ramadan sehingga mendorong setiap Muslim terus menggelorakan kegembiraannya dari generasi ke generasi. Gembira tidak saja dalam konteks spiritual, puasa bahkan tampak lebih mempertontonkan aspek material yang bersifat keekonomian, seperti makanan, minuman, pakaian, atau uang yang hampir mengenyampingkan aspek peribadatan formal.
ADVERTISEMENT
Fenomena Ramadan dari tahun ke tahun selalu penuh inovatif--khususnya di Indonesia--yang dimanjakan oleh pernak-pernik duniawi yang menggembirakan. Kita seolah menyaksikan betapa Islam adalah agama yang membawa kegembiraan, jauh dari anggapan-anggapan tentang radikalisme, ekstrimisme, atau aksi-aksi kekerasan yang kerap berbau Islamfobia. Umat Muslim di seluruh dunia setiap Ramadan selalu gembira dengan berpuasa, mereka peduli dan berbagi dengan sesama, semuanya hanya untuk menunjukkan betapa keyakinan yang mereka anut mengajarkan dan memerintahkan kebahagiaan. Sebagai Muslim, saya tentu heran dan bertanya-tanya, ketika ada pihak-pihak tertentu yang justru memandang Islam sebagai ajaran yang "keras" sehingga setiap pemeluknya "wajib" untuk diajarkan dan diberikan pemahaman mengenai toleransi atau moderasi beragama. Bagi saya, Islam justru agama gembira sebagaimana Nabi Muhammad senantiasa mempromosikan, "berilah kabar gembira (bassyiru) dan jangan membuat mereka lari (wa la tunaffiru)...".
ADVERTISEMENT
Islam senantiasa mengajarkan kebaikan dalam keseharian, tanpa harus malu-malu, ajarannya justru sangat mementingkan soal makan bukan hal-hal lain yang memberatkan. Dalam Al-Qur'an bahkan dengan mudahnya menyebut Tuhan sebagai "Dzat yang Memberi makan ketika lapar" (Q.S. 106: 4) dan Nabi sendiri menyatakan bahwa kegembiraan orang berpuasa tampak jelas ketika mereka berbuka (makan). Betapa pentingnya makan, sehingga kata-kata yang berkonotasi "makan" banyak dijumpai dalam Al-Qur'an.
Puasa secara sederhana berarti kita menahan makan dan minum dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan tujuan meneladani orang-orang miskin yang tidak makan. Setiap Muslim diajak untuk merasakan betapa lemahnya ketika manusia tidak makan dan betapa pentingnya makan dalam kehidupan keseharian. Ternyata, gembira itu sangat-sangat sederhana, yaitu ketika kita makan disaat lapar dan betapa sengsaranya kita ketika dalam keadaan lapar dan dahaga, kita justru tak memiliki sesuatupun untuk dimakan. Bahkan, seteguk air bisa jadi lebih berharga dari segunung emas ketika seseorang berada di sebuah gurun tandus; atau sepiring nasi lebih penting dari seluruh harta kekayaan yang dimiliki seseorang ketika lapar.
ADVERTISEMENT
Lapar mengajarkan kita kearifan, karena disitu kita belajar dari kesulitan orang lain. Dan puasa mengajarkan kepada kita pentingnya bergembira disaat makan, sehingga efek gembira ini secara terus menerus menjadi prilaku yang melekat dalam setiap diri seorang Muslim. Berpuasalah karena dengan puasa anda pasti bergembira!