Guyon dan Seni Mengelola Agama

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
7 Januari 2020 12:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Siapa yang tidak senang guyon? Bahkan aktivitas psikologis yang dapat melegakan kekalutan sekaligus kekhawatiran tentu saja dapat dilakukan melalui guyon, bercanda, atau bahkan tertawa-tawa. Salah satu kebiasaan para ulama jaman dulu untuk menghindari fitnah atau tuduhan yang belum jelas seringkali dibungkus dengan guyon. Bukan tidak mungkin bahwa mereka (para ulama) juga memaknai guyon sebagai seni mengelola agama dan upaya alternatif dalam mendekatkan diri mereka kepada Tuhan. Para tokoh sufi merupakan pribadi-pribadi yang senang guyon, sebut saja tokoh “figuratif-imitatif” kesohor Abu Nawas, merupakan salah satu diantara orang yang mampu mengelola agama sebagai seni dalam bentuk guyonan. Jika kita membaca buku “1001 Malam” barangkali akan lebih banyak ditemukan tokoh-tokoh jenaka namun penuh nasihat melalui joke-joke keagamaan, sehingga keberagamaan bukan sesuatu hal yang kaku, “hitam-putih”, menyoal “salah-benar”, dst. Mereka, memahami dengan sangat baik bahwa salah satu seni mengelola agama dilakukan dengan guyon, sebab itulah bentuk moderasi agama paling jelas dan dapat diterima oleh seluruh kalangan.
ADVERTISEMENT
Model “kyai kampung” seperti Gus Baha, pernah menceritakan bahwa guyon merupakan kebiasaan para kiai terdahulu. Menurutnya, guyonan para kiai itu sebagai alasan menghindari perbuatan maksiat dengan cara tidak “melabrak” nilai-nilai ketaatan mereka kepada Tuhan. Gus Baha mencontohkan, ketika ada seseorang baru pulang haji, tetapi malah selingkuh dengan wanita lain karena lebih cantik, tidak dikomentari serius oleh para kiai yang mengetahuinya. “Lha, emang wajar saja wong perempuannya lebih cantik”, kata seorang kiai kepada koleganya ketika ditanya. Hal ini tampak sebagai bagian dari counter wacana: dari pada mengomentari yang seolah-olah benar tetapi malah tersandung pada fitnah, maka jawaban dengan guyon justru terhindari dari batasan-batasan maksiat dalam konteks agama. Saya kira, guyon juga sebagai ungkapan aktivitas beragama yang “dibenarkan” oleh beberapa catatan tokoh sufi, seperti dalam karya-karya Imam al-Ghazali.
ADVERTISEMENT
Dalam ajaran Islam, bergembira merupakan seni dalam beragama, sebagaimana Nabi Muhammad menyatakan, “bassyiruu wa laa tunaffiruu” (berikanlah kabar gembira, jangan buat mereka kabur darimu). Nabi dalam hal ini jelas memberikan kesadaran keberagamaan kepada masyarakat dengan cara bergembira, bukan dengan cara-cara yang kasar dan menakutkan, atau kaku dan menegangkan. Nabi melakukan kesenian dalam beragama dengan mengajak lingkungan sekitarnya mengenal ajaran agama (Islam) dengan senang, riang, guyon, dan bahkan penuh kegembiraan. Seandainya Nabi tidak mengenalkan agama Islam dengan cara gembira, saya yakin masyarakat Mekah pada waktu itu enggan mengikuti Nabi dan tentu saja menjauhinya. Bahkan, dalam konteks lebih jauh, Nabi menyatakan, “yassiruu wa laa tu’assiru” (permudahlah dan jangan engkau persulit), dimana sangat kontras dengan nilai kemudahan beragama, baik dijalankan secara intuitif maupun spekulatif.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, dikenal banyak para kiai atau ulama yang memang seneng guyon dan barangkali hampir dipastikan para ulama yang terpilih (khiyaru ummah) justru yang paling sering guyonannya daripada seriusnya. Bukan berarti bahwa guyon itu mempermainkan agama, tetapi yang lebih penting bagaimana keberagamaan dipahami secara gembira, bukan secara emosional, terlebih tuduhan-tuduhan menyakitkan yang mengundang kebencian. Realitas belakangan yang terjadi seringkali menempatkan agama sebagai hal yang menakutkan, teror, kebencian, dan yang sangat mengkhawatirkan ketika agama diperalat menjadi kepentingan politik, maka kegaduhan publik distir oleh argumentasi-argumentasi keagamaan yang penuh dengan narasi kebencian. Perbedaan-perbedaan cara pandang dalam konteks agama dan politik, justru disikapi secara kontraproduktif tidak dengan cara kompromistik.
Menyoal guyon sebagai seni mengelola agama, tokoh paling kontroversial di jamannya adalah Gus Dur. Saya kira, banyak joke-joke Gus Dur yang “mendunia” karena memang dinarasikan ulang secara unik oleh beberapa pengikutnya ketika mantan Presiden RI tersingkat ini menghadiri berbagai pertemuan internasional. “Gitu aja kok repot”, seolah menjadi branding position dari seorang kiai nyentrik cucu pendiri NU ini yang cukup menjadi alasan bagi “guyonisasi” beragama, sehingga wujud kekakuan agama yang seringkali dipersepsikan bahkan dianut sebagian kelompok Islam “dicairkan” oleh Gus Dur. Bagi Gus Dur, agama bukan sesuatu yang kaku apalagi ketat dan menakutkan, tetapi sebaliknya, bagaimana orang mengelola agama melalui seni, sebab setiap orang yang hendak mendekatkan dirinya kepada Tuhan, tentu saja ada “seninya” dan tidak semua orang mampu menjalankannya. Mendekati Tuhan, tentu saja dengan penuh kegembiraan, bukan keterpaksaan, kedengkian, atau amarah dan kebencian terhadap sesamanya. Bagaimana Tuhan bisa disekati sementara dalam diri kita masih ada benci, amarah, gundah, sumpah serapah? Seseorang yang rida kepada Tuhan tentu saja terbuka hatinya, bersih dari sifat-sifat angkara dan disitu pula Tuhan meridai setiap upaya kita mendekatkan kepada-Nya.
ADVERTISEMENT
Guyon merupakan seni dalam mengelola agama bukan berarti agama dilecehkan atau direndahkan melalui humor-humor murahan yang kadang muncul di acara-acara televisi komersial atau ekspresi-ekspresi keterlaluan yang dilakukan tokoh-tokoh politik atau para aktivis media sosial yang terlalu menggelikan. Guyon yang cerdas dan sehat adalah “seni dalam mengelola agama” sebagaimana dilakukan para kiai atau agamawan yang memang memahami bahwa agama bukanlah sarana untuk saling membenturkan perbedaan dan kepentingan. Guyon merupakan salah satu dari bentuk humanisasi agama, dimana agama dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan kemanfaatan dan kemaslahatan manusia, sehingga mereka sadar akan eksitensi Tuhan lalu mengekspresikannya kembali kedalam ranah humanisme. Agama berfungsi bagi manusia agar saling mengenal, berinteraksi secara positif, bekerjasama secara sosial, baik dalam lingkup komunal atau lebih luas, yaitu entitas bangsa dan negara. Ciri beragama yang paling baik adalah toleransi (samhah) dan ini jelas merupakan pesan ajaran Islam yang paling fundamental.
ADVERTISEMENT
Saya kira, kita juga pada akhirnya dapat membedakan dan merasakan, mana yang lebih banyak diapresiasi dan didekati, apakah seni keagamaan yang dikelola dengan cara guyon bahkan tampak kurang serius? Ataukah sikap keberagamaan yang ditunjukkan dengan cara serius, kaku, ungkapan-ungkapan merendahkan, atau luapan emosi kebencian terhadap sesamanya? Bukan tidak mungkin bahwa para filosof juga adalah mereka yang kerap kali guyon, tetapi mampu memberikan semangat perubahan sosial melalui kegenitannya dalam mengungkapkan pemikiran dan argumentasi-argumentasinya. Saya kira, pengetahuan agama yang diperoleh seseorang juga berjenjang, sama halnya dengan jenjang pendidikan sekuler pada umumnya. Para “Master of Art” (MA) adalah yang mampu mengelola pengetahuannya sebagai seni dengan titel yang melekat pada dirinya. Mereka yang pengetahuan agamanya mencapai taraf “MA” berarti sudah mulai berpikir untuk mengelola agama dengan cara seni. Berbeda dengan jenjang diatasnya, filosof yang dalam strata tertinggi pendidikan dikenal dengan “Ph.D” (Phylosophy Doctor) jelas mereka yang melampaui seni tetapi mampu dengan lebih baik menciptakan seni-seni baru dalam mengelola keberagamaannya.
ADVERTISEMENT