Haji yang Tertunda?

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
7 Juni 2020 11:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Ibadah Umrah. Foto: AP Photo/Dar Yasin
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Ibadah Umrah. Foto: AP Photo/Dar Yasin
ADVERTISEMENT
Bagi jemaah haji Indonesia yang seharusnya berangkat tahun ini memang butuh kesabaran yang ekstra, karena dipastikan pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama menunda pelaksanaan ibadah haji karena wabah COVID-19 yang melanda seluruh dunia. Sekalipun informasi soal penundaan ini mendapat protes dari anggota Komisi VIII DPR RI karena kebijakan yang masih dianggap sepihak ini.
ADVERTISEMENT
Berbagai kajian sejarah soal peristiwa wabah yang beberapa di antaranya pernah terjadi di mana Makkah ditutup total untuk kegiatan jemaah haji memang pernah beberapa kali terjadi. Sekalipun bahwa sejarah hanya suatu peristiwa masa lalu yang mungkin dapat menjelaskan kondisi pada masa kini, tetapi perlu dilakukan tafsir ulang untuk melihat seberapa jauh informasi historis itu dapat dihubungkan, sehingga masa lalu dapat menjadi cermin sebagai pembanding dengan berbagai peristiwa masa lalu. Sejarah, tidak mungkin diklaim sebagai suatu "kebenaran" masa kini, sekalipun dasar pijakan untuk menguak kebenaran-kebenaran lainnya, dapat diambil dari beragam fenomena historis ini.
Sebagai Muslim, kita tentu merasakan, bagaimana mereka yang sudah ditakdirkan Allah sebelumnya untuk bertamu ke Rumah-Nya di Mekkah, tiba-tiba Allah menakdirkan berbeda, sehingga mereka tertunda untuk mengunjungi-Nya? Sungguh, sebagai orang beriman mereka hanya pasrah pada aturan yang dibuat manusia, sekalipun belum tentu itu merupakan kehendak-Nya mencegah orang berkunjung ke Baitullah baik haji maupun umrah. Jadi, taat kepada siapa mereka? Kepada Allah, Nabi-Nya, atau Ulil Amri? Ketiga entitas ini tentu saja "satu level" hanya saja taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah mutlak, sedangkan kepada hal lainnya tentu saja bersifat nisbi.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini jelas tidak membahagiakan, padahal, Islam itu agama bahagia sejak diperkenalkan pertama kali oleh Nabi Muhammad SAW. Dulu, ketika banyak orang yang masih membeda-bedakan etnis dan ras, Islam muncul sebagai pendobrak tradisi ini. Islam adalah agama inklusif, siapa saja boleh "masuk" tak memandang perbedaan status Arab dan non-Arab atau sebaliknya, tak ada perbedaan antara mereka yang berkulit hitam dan kulit putih, semua sama di hadapan Tuhan, karena yang membedakan hanyalah ketakwaan dari masing-masing di antara mereka. Inklusivitas Islam terwujud dalam konteks ibadah haji, di mana kita bisa menyaksikan betapa seluruh ras dan etnis manusia hadir, berbaur dalam suasana kepasrahan dan ketundukkan, persaudaraan yang begitu kuat, dan rasa kasih sayang antarsesama yang sangat khidmat.
ADVERTISEMENT
Nilai-nilai inklusivitas Islam saat ini mungkin sedikit terganggu, oleh banyak persoalan yang menghinggapi identitas pribadi manusia. Tidak hanya soal identitas kelompok atau politik, lebih jauh terdapat suatu "identitas keislaman" yang justru ekslusif, dibangun sedemikian rupa oleh mereka yang memang merasa "benar sendiri" dan menganggap yang berbeda dengan kelompoknya sebagai "salah sendiri". Tapi, biarlah, itu semua merupakan ekspresi dari kebebasan manusia yang tentu saja masing-masing akan mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah, bukan saat ini tapi nanti, ketika seluruh mulut terkunci dan hati tidak lagi sanggup menjadi saksi.
Tak perlu rasanya terus melakukan pembelaan-pembelaan untuk menunjukkan dalil-dalil kebenaran, soal haji itu pernah ditunda karena beberapa hal, peperangan, kekacauan, atau wabah yang melanda wilayah Jazirah Arab. Tak perlu juga terus-menerus mengumbar dalil yang memaksa orang lain menerima agar "sadar" bahwa haji tahun ini berbahaya karena akan bertaruh dengan nyawa. Bagi saya, ini pasti merupakan kekecewaan bahkan mungkin saja kesedihan yang paling dalam, sebab haji itu ibadah yang begitu istimewa bagi setiap Muslim, dimanapun. Tanah Haram menjadi saksi bagi keimanan mereka karena napak tilas kehidupan seorang manusia sempurna, Nabi Muhammad SAW. Siapa yang tidak ingin berjumpa dengan Nabi-Nya? Siapa yang tidak ingin dekat dan bertemu dengan Tuhannya?
ADVERTISEMENT
Kerinduan seorang Muslim untuk hadir di Tanah Suci, bercengkrama dengan simbol-simbol keagamaan yang sedemikian sakral, tak mungkin rasanya tergantikan oleh upaya tangan-tangan manusia atau peristiwa-peristiwa apa pun yang terjadi di sekelilingnya. Tak ada rindu yang sedemikian besar, kecuali mendatangi dan berkunjung ke tempat ini, bersimpuh, bersujud, melupakan seluruh aktivitas dunia untuk sementara dan kita hanya berharap bercumbu bersama-Nya. Setiap waktu, mereka yang berhaji selalu memanfaatkannya untuk bercengkrama dan bermunajat kapanpun dia mau. Mereka tak peduli dengan keterbatasan kemampuan mereka berbahasa Arab atau kekurangan pemahaman agama sendiri, tapi hati yang bersih dan condong kepada-Nya yang selalu berpadu pada akhirnya, di mana Dia sang Maha Agung rida kepada kita dan kita-pun rida kepada segala keputusan-Nya, yang kita anggap baik ataupun yang kita rasakan buruk.
ADVERTISEMENT