Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Hari Raya yang Tidak Dirayakan
16 Mei 2020 1:49 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hari raya yang dimaksud dalam tulisan ini tentu saja Idul Fitri, satu momen keagamaan terbesar di seluruh dunia yang dirayakan oleh hampir sepertiga penduduk dunia. Secara historis, mungkin akan kita dapatkan catatan-catatan penting tentang hari perayaan (yaum al-‘id) yang hampir keseluruhannya memberikan gambaran suasana pesta, tak ubahnya wajah tradisi Muslim ketika menggelar acara pernikahan.
ADVERTISEMENT
Makanan berlimpah, dimana-mana tampak wajah yang begitu bahagia, penuh tawa, melepaskan semua beban yang dulu pernah ada. Hanya di momen Idul Fitri inilah segala kenangan manis dan pahit terkadang melintas dalam pikiran, ketika banyak diantara kita yang mudik atau pulang ke kampung halaman.
Namun, di tahun 1441 H ini dipastikan tak ada perayaan apapun di hari raya, tak kerumunan di lapangan, tak ada jabat tangan dan silaturahmi, tak ada kehangatan dari setiap orang yang menyapa dan memaksa mencicipi makanan di rumahnya. Intinya, kegembiraan umat Muslim dipastikan “terenggut” oleh kenyataan wabah yang malah semakin parah, bercampur aduk antara mitos dan realitas.
Sebagai orang awam, saya baru merasakan dan melihat betapa mirisnya realitas pandemik ini. Pernah saya bertemu pekerja ojol yang selepas Isya menghampiri saya di tengah santai duduk di beranda suatu musola. “Maaf, saya mau tanya alamat, kalau blok c sebelah mana ya?” tanya bapak ojol yang tampak kelelahan dengan barang yang masih menumpuk di sela tempat duduknya. Salah seorang yang sedang berbincang dengan saya menunjukkan arah alamat yang dimaksud.
ADVERTISEMENT
Setelah berucap terima kasih, bapak ojol balik bertanya, “di sini aman ya pak? Dari tadi saya lihat kayanya rame dan gak terganggu dengan corona”. Seseorang yang ditanya hanya melempar senyum dan menjawab singkat, “alhamdulillah, semoga disini aman-aman saja”. Sambil bersiap-siap melanjutkan perjalanan, bapak ojol menumpahkan keluhannya tentang hidup yang serba sulit di era pendemik. Selain orderan menurun tajam, banyak pengalaman yang tidak mengenakkan terjadi. Seperti harus menyemprot barang kirimannya dengan cairan disinfektan yang di gantung di pagar rumah, sedangkan barangnya harus diikatkan pada tali, kemudian dikerek keatas, mirip orang sedang menimba air dari dalam sumur.
“Sepanjang saya mengirim barang dan saya bertanya kepada penduduk setempat, semua aman-aman saja, terus yang sakit siapa? Yang kena corona itu dimana?”
ADVERTISEMENT
Kita tinggalkan cerita bapak ojol yang kesusahan dan kebingungan, tak ubahnya dengan beberapa warga di sini juga masih ada yang bingung soal PSBB yang tidak efektif, dimana pemandangan hampir seluruh ruas jalan di sore hari justru macet dan kerumunan orang di pinggir jalan dan pasar-pasar lebih banyak dari pada kerumunan orang di masjid-masjid untuk beribadah.
Padahal, sejauh ini telah ada fatwa dari MUI, sebuah organisasi afiliasi negara yang semi “otoritatif” memfatwakan soal bagaimana beribadah di masa pandemik. Persoalannya, seberapa banyak masyarakat Muslim memahami fatwa ini, atau jangan-jangan lebih banyak yang memandang fatwa MUI sebatas “corong politik” yang tidak begitu penting dan mereka lebih manut sama kiai kampung yang sangat menguasai karya-karya klasik, bahkan saking menguasainya ia kadang lupa bahwa laju sosial telah berubah dan penggunaan teknologi semakin merambah.
ADVERTISEMENT
Karena umat Muslim dilarang mudik, dilarang berkumpul dalam konteks apapun, termasuk salat berjamaah, maka dalam waktu yang tidak lama lagi hari raya tiba, MUI harus juga mengeluarkan fatwa tentang solat ‘id di tengah suasana wabah. Membaca fatwa MUI tentang pedoman solat sunah hari raya ini, saya tertegun membaca pendapat Imam Syafi’i dalam mahakarya fiqh-nya, al-Umm (Kitab Induk), yang dijadikan konsideran dalam argumentasi fatwa MUI No 28 tahun 2020. Dalam Juz 1 halaman 86 sebagaimana dikutip dalam Fatwa MUI disebutkan, “wa sholatu al-jama’ati muakkadatun wa la ajizu tarkaha liman qadara ‘alaiha bihalin wahuwa sholatu al-‘idain wa kusyufi al-syams wa al-qamar wa al-istisqa” (salat tathawu’ yang dilaksanakan secara berjamaah itu sunah muakadah dan saya tidak membolehkan untuk meninggalkannya bagi orang yang mampu menjalankannya. Jenis ini adalah solat Idul Fitri dan Idul Adha, solat gerhana matahari dan bulan, serta salat istisyqa).
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana praktiknya? Lagi-lagi saya merasa sangat awam dalam hal ini, tetapi kemungkinan jika kita pahami pernyataan Imam Syafi’i diatas secara hermeneutis-fenomenologis, bahwa yang dimaksud dengan berjamaah tentu saja di lapangan, masjid, atau musola, dan kecil kemungkinan bahwa yang berjamaah yang dimaksud dilakukan secara sendiri atau bersama beberapa orang di rumah. Fenomena menggembirakan di hari raya bahkan terlukis dalam salah satu hadis yang berasal dari Ummu Athiyah, dimana Rasulullah memerintahkan siapa saja untuk bersama-sama keluar di hari Idul Fitri maupun Idul Adha. Mereka orang-orang tua yang lemah (al-awatiq), wanita-wanita yang sedang haid (huyyadl), dan atau mereka yang sedang “dipingit” atau terhalang keluar dari rumah karena adat (dzawat al-hudri), diperintahkan untuk keluar dari rumahnya masing-masing agar menyemarakkan salat hari raya, sebab hari raya adalah hari kegembiraan yang penuh suka cita.
ADVERTISEMENT
Namun sepertinya, hari raya pada tahun ini kurang gembira atau mungkin tidak dirayakan, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Ketidakjelasan masa PSBB di setiap wilayah dan aturan-aturannya yang tampak “tebang pilih” atau dalam konteks luas, aturan ini lebih banyak mengalami kegagalan dalam melakukan pembatasan aktivitas melalui sistem karantina wilayah. Aspek kegagalan yang saya maksud tentu saja “debatable”, sehingga tidak perlu ada pertentangan tajam saling klaim kebenaran, antara mereka yang mendukung aturan pemerintah dan yang mengkritiknya, sebab kedua-duanya merupakan kelompok yang taat aturan hukum. Bagi sebagian yang ingin melaksanakan salat hari raya lengkap dengan merayakannya sendiri di rumah, bersama satu keluarganya saja jelas sedang berupaya melawan virus corona, minimal mereka tidak menularkannya kepada pihak lain. Namun, bagi mereka yang tidak terpapar dan berada pada suatu zona hijau yang aman dan di sekitar lingkungan tempat tinggalnya tidak ada satupun orang yang terpapar, lalu kenapa tidak melakukan salat hari raya berjamaah? Keduanya jelas memiliki konsekuensi hukum secara agama dan beragama tentu saja tidak boleh dipersulit.
ADVERTISEMENT
Kita tentu saja akan sangat sulit mencari fakta-fakta historis masa lalu terkait dengan berbagai persoalan ibadah, jikapun ada sangat terbatas. Apakah ada penutupan masjid di masa Rasulullah karena wabah? Kemudian dilarang salat berjamaah dan kegiatan-kegiatan keagamaan? Atau adakah ditemukan fakta lainnya yang menyebut betapa bulan Ramadan dirundung kesedihan atau ketakutan untuk melaksanakan ibadah, karena hampir seluruh masjid atau musola dijaga oleh aparat? Sampai-sampai ada beberapa masjid atau musola yang mencuri-curi kesempatan berjamaah hanya pada saat aparat lengah? Rentetan kejadian ini merupakan fenomena yang semakin memberikan pandangan yang pasti bahwa hari raya di tahun ini benar-benar tidak dirayakan sebagaimana mestinya. Lagi-lagi, umat Muslim dirundung kesedihan yang teramat mendalam, sebab hampir beberapa bulan ini, masjid kosong, musola sepi, kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan dibatasi. Namun pada saat bersamaan, pasar-pasar tetap memberikan layanan kebutuhan fisik, sebab manusia tak tahan lapar dan lebih sering terkena penyakit jika tidak makan. Jalanan tetap ramai, dan mereka lebih khawatir melihat jalanan sepi, karena akan semakin mencekam dan kita semua ketakutan dengan setiap pergerakan kita sendiri. Jangan rayakan "kemenangan", karena tidak ada kemenangan di tahun ini, kecuali mungkin "kekalahan" yang kita hadapi.
ADVERTISEMENT