Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Idul Fitri dan Puncak Kebahagiaan Muslim
23 Mei 2020 16:28 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kita berada pada penghujung bulan Ramadhan, di mana setiap penghujung berarti kita berada dalam dua antara: Ramadhan yang indah dan segera memasuki suasana baru di bulan Syawal, yaitu Idul Fitri yang penuh suka cita. Banyak cerita dari para Salafussalih yang justru mengekspresikan akhir Ramadhan ini dengan menangis, karena mereka akan segera kehilangan satu bulan yang sangat istimewa dalam hidup mereka. Mereka memahami dengan baik nilai-nilai transendental di bulan Ramadhan, berbeda dengan kita yang awam seringkali tertutup kabut gelap, sekadar tahu bahwa Ramadhan diwajibkan berpuasa, lalu kita berbahagia disaat berbuka termasuk di penghujungnya, di mana kita dipenuhi luapan kegembiraan menyambut suasana lebaran.
ADVERTISEMENT
Bagi saya yang awam, sulit sekali rasanya memahami esensi puasa sebagai puncak kebahagiaan ibadah, barangkali bahwa bagi awamin seperti saya, puasa itu menanggalkan dan meninggalkan sementara nafsu-nafsu jasmani dengan tidak makan dan minum seraya memperbanyak beribadah.
Saya selalu terkagum-kagum oleh tulisan para ulama tasawuf yang sedemikian mendalam membahas esensi manusia, sekalipun jauh sebelumnya para filosof telah terlebih dahulu membedahnya. Intinya, bahwa manusia sejatinya mencari kebahagiaan di dunia dengan cara dan bentuknya yang berbeda-beda. Ada sementara yang mencarinya melalui pendekatan materi—dan ini paling banyak—di mana kebahagiaan diukur oleh seberapa banyak materi yang ia dapat. Semakin banyak menteri yang diperoleh, semakin memuncak kehormatan dirinya di antara manusia lainnya.
Barangkali yang lebih kecil jumlahnya adalah mereka yang mencari kebahagiaan melalui pendekatan non-material—sekalipun tanpa melepaskan sama sekali sisi materialisnya—di mana mereka ini mendasarkan kebahagiaan melalui suatu pandangan tertentu tentang Tuhannya, di mana ukuran masa depan kebahagiaan mereka ditentukan oleh seberapa banyak dirinya memahami Tuhannya sendiri. Sulit memang dipahami, tapi itulah realitanya, di mana terdapat kecenderungan berbeda di antara dua kelompok manusia yang mencari dan menggapai kebahagiaan.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana kebahagiaan itu diekspresikan di masa pandemik ini? Sementara terdapat imbauan bahkan larangan untuk mengekspresikannya? Pada masa pandemik ini, pandangan kelompok Muslim pun berbeda-beda, bahkan tak jarang saling berebut pengaruh antara pendekatan rasional dan spiritual, antara cara pandang “dzahiri” dan “bathini” antara yang “intelektual” dan awam yang keseluruhannya akan sangat kontras dengan berbagai sikap yang diekspresikan melalui konteks peribadatan.
Kita barangkali sebagai umat Muslim juga terkadang dibuat bingung oleh beragam pernyataan yang berbeda-beda, misalnya, antara bolehnya berkumpul dan merasakan kegembiraan di hari raya dengan segala aspek peribadatannya dan yang kukuh melarang bentuk perkumpulan apapun termasuk konteks peribadatan yang memicu tersebarnya penularan penyakit maha bahaya, corona. Perdebatan ini seolah tidak pernah habis, bahkan sudah berjalan selama berbulan-bulan yang hampir tetap pada keyakinan masing-masing dan ternyata tidak ada efeknya juga terhadap penyebaran wabah mengerikan tersebut.
ADVERTISEMENT
Pada level lebih atas, ormas besar keagamaan sudah mewanti-wanti dan menentukan sikapnya dalam konteks wabah ini, sehingga para pengikutnya hanya taat dan mengikuti sikap dan arahan para “ulama” yang secara “politis” adalah pemimpin-pemimpin mereka. Pada level negara, MUI malah secara lebih tegas telah mengeluarkan fatwa soal peribadatan bagi umat Muslim, sekalipun fatwa ini sering diterjemahkan berbeda oleh otoritas politik, sehingga kemudian muncul lagi perdebatan dan konflik.
Ternyata, kebahagiaan pada akhirnya berhenti pada ruang perdebatan yang saling tarik menarik antara kebahagiaan bersifat material dan spiritual. Singkatnya, kita memang selalu dihadapkan pada dua kondisi ini yang saling bertentangan untuk menentukan mana yang paling penting: material atau spiritual atau keduanya? Lalu mana yang harus didahulukan?
ADVERTISEMENT
Imam al-Ghazali dalam karyanya “al-Kimyatu as-Sa’adah” menjelaskan tentang perlunya dua hal bagi manusia selama hidup di dunia ini. Pertama, perlindungan dan pemeliharaan jiwa; dan kedua perawatan dan pemeliharaan jasadnya. Pemeliharaan akan jiwa manusia—menurut al-Ghazali—yang paling tepat adalah melalui pengetahuan dirinya akan Tuhan, sehingga tumbuh kecintaan kepada-Nya. Ketika terserap kedalam dirinya sesuatu yang selain Allah, sama dengan keruntuhan jiwanya sendiri. Jasad, diibaratkan hewan tunggangan jiwa yang terbatas dan akan musnah suatu saat, sementara jiwa tetap abadi sampai akhir nanti. Jiwalah yang merawat badan, ibarat seorang peziarah yang memperhatikan kendaraannya, dirawatnya dengan teliti dan baik, tidak terjebak kepada perawatan yang sifatnya kosmetik: memperindah atau menghiasi kendaraan, sehingga lupa akan entitas paling berharga dari kendaraannya itu.
ADVERTISEMENT
Seringkali kita dihadapkan pada suatu pertanyaan dalam konteks pandemik, bahwa umat Muslim harus mempertahankan jiwanya, sehingga kewajiban ini berdampak pada konteks peribadatan tertentu. Ibadah jemaah karena dikhawatirkan memicu penularan penyakit dan kematian kemudian bergegas dihindari bahkan tanpa harus tahu dan memahami apa sesungguhnya yang terjadi. Bahagiakah mereka? Jika diukur dari sisi material bahkan spiritual, saya kira kebahagiaan mereka terenggut sedemikian rupa, kecuali ada yang sangat terpaksa membahagiakan dirinya di tengah aura ketakutan dan kekhawatiran yang masih terus membayangi hidupnya sejauh ini. Namun, melihat pada perlindungan dan pemeliharaan jiwa berdasarkan kecintaan kepada Tuhannya, maka seluruh hidupnya dipasrahkan hanya karena rasa cintanya kepada Tuhan. Itulah kebahagiaan hakiki bagi mereka, bukan nilai materi yang diperhadapkan—seperti ketakutan jasad rusak karena penyakit—tetapi kepasrahan jiwa yang sedemikian besar dan hanya paham Allah-lah pelindung jiwa dan raganya, buka siapapun.
ADVERTISEMENT
Puncak kebahagiaan orang Muslim yang awam itu di waktu petang nanti, disaat azan magrib berkumandang lalu lafaz takbir, tahlil, dan tahmid dikumandangkan lewat pelantang. Mereka mengekspresikan kegembiraan dan kebahagiaan karena jiwanya berhasil diarahkan pada kecintaannya akan Tuhan, mengenal lebih dekat entitas Ketuhanan yang transenden, secara imanen, melalui kunjungannya untuk ibadah berjemaah di rumah-rumah Allah yang bertebaran di setiap penjuru kampung. Mereka tidak pernah merasa bersedih terhadap situasi apapun dan kondisi bagaimanapun, sebab mereka hanya mengenal kebaikan, bukan keburukan. Sampai-sampai Rasulullah memberikan pujian,“Saya kagum terhadap sikap mereka yang beriman, segala sesuatu selalu menjadi kebaikan baginya, jika ditimpa sesuatu yang mereka sukai, mereka memuji Allah dan baginya adalah kebaikan, dan jika ditimpakan sesuatu yang tidak disukai, mereka bersabar dan baginya tetap merupakan suatu kebaikan. Tidak ada seorang pun yang selalu menganggap segala sesuatu itu baik, kecuali mereka yang beriman kepada Allah”.
ADVERTISEMENT
Selamat berbahagia, bersama sanak keluarga dan saudara, tetangga, dan relasi-relasi lainnya. Jangan jadikan wabah penghalang kegembiraan, sebab “id” adalah “memperbaharui kegembiraan” (farh al-mujadid) yang hanya terulang satu kali dalam satu tahun. Kegembiraan umat Muslim tak dapat dihalangi atau dilarang, sebab kegembiraan itu dimulai dari hati yang bersih, lalu diekspresikan melalui ungkapan rasa syukur kepada Tuhan dan pada akhirnya menyejarah dalam bentuk hubungan-hubungan sosial yang terbangun berdasarkan suasana keimanan. Sebentar lagi adalah “puncak” kebahagiaan bagi seorang Muslim yang tak terkalahkan oleh “kesedihan” apapun. Taqabbalallahu minna wa minkum, kullu am wa antum bi khair, minal aidin wal faizin.