Ijtima dan Ijma Ulama

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
3 Mei 2019 11:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Barangkali ada suatu kekhawatiran ketika urusan-urusan politik lalu diputuskan melalui apa yang disebut sebagai “ijma’” (konsensus) ulama, maka boleh jadi penggunaan istilah “ijtima’” (berkumpul) para “ulama” lebih didasarkan atas suatu kesepakatan politik. Memang, kita harus lebih teliti membedakan istilah ijtima’ dan ijma’ ulama karena kedua istilah ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Istilah “ijtima’” sendiri memiliki konotasi atas “suatu pertemuan antara satu orang atau kelompok dengan lainnya dalam suatu tempat atau waktu tertentu”. Bahkan, ijtima’ dalam tradisi ilmu pengetahuan seringkali terkait dengan “ilmu sosial” (ijtima’iyyah) yang membicarakan soal tradisi, adat, kebiasaan, atau nilai-nilai yang berkembang dalam suatu masyarakat.
ADVERTISEMENT
Itulah kenapa, istilah ijtima ulama ini tampak menjadi perbincangan publik belakangan yang tampak kontras dengan suatu kenyataan bahkan dukungan-dukungan bersifat politik. Namun demikian, seolah ada semacam persepsi dalam sebagian orang bahwa yang dimaksud “ijtima’” itu sama halnya dengan “ijma’” ulama yang memiliki konotasi dogmatis bahkan “kebenaran” teologis. Suatu persepsi yang sangat keliru, sebab ijma’ ulama merupakan istilah teknis dalam lingkup ortodoksi Islam untuk menyatakan “persetujuan” para ulama terhadap segala hal yang memiliki konotasi hukum. Bahkan lebih jauh, Ignaz Goldziher, menyebutnya sebagai “kata kunci untuk memahami evolusi sejarah Islam dalam aspek politik, teologi, dan hukum”.
Dalam tradisi Sunni, ijma’ dirumuskan sebagai doktrin-doktrin dan pendapat yang selaras dari orang-orang yang dalam kurun waktu tertentu diakui sebagai ahli-ahli Islam. Mereka itulah tokoh-tokoh yang mempunyai hak untuk “mengikat” dan “melepaskan” (ahlu al-halli wal ‘aqdi) yang dalam konteks politik-kekuasaan, merekalah yang berhak “mengangkat” dan “memberhentikan” pemimpin-pemimpin politik. Para ulama dalam hal ini, tentu saja memiliki otoritas untuk menafsirkan dan menyimpulkan hukum dan doktrin agama, serta untuk memutuskan hukum dan doktrin makakah yang tepat diterapkan. Hal inilah saya kira, yang membedakan istilah ijtima’ dengan ijma’, sekalipun seringkali kita keliru menafsirkannya.
ADVERTISEMENT
Keberadaan ijma’ ulama tentu saja berdampak luas, sekalipun pada akhirnya tetap terdapat perbedaan-perbedaan secara partikular yang kurang penting yang memunculkan berbagai aliran-aliran hukum dalam tradisi Islam yang tidak sampai menimbulkan faksi-faksi yang bersifat picik. Hal ini barangkali, didorong oleh adanya suatu hadis yang diyakini berasal dari Nabi Muhammad, yang dimuat dalam kitab “Kanz al-‘ummal” dan “Musnad” oleh Ahmad bin Hanbal, dimana dinyatakan, “Umatku tidak akan pernah setuju terhadap kesalahan (dlalalah)”. Atau dalam diksi yang lebih luas disebutkan, “Allah akan melindungi kalian dari tiga hal: Nabimu tidak akan menyalahkanmu sehingga kamu menjadi binasa sama sekali; golongan yang menyimpang diantara kamu tidak akan pernah menang atas golongan yang benar; dan kamu tidak akan sepakat terhadap suatu ajaran palsu”.
ADVERTISEMENT
Ijma’ ulama dengan demikian, memiliki otoritas tertinggi dalam mencapai suatu kebenaran, karena selain didasarkan atas kecakapan para ahli Islam yang berkumpul, mereka juga menggunakan metode-metode keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan. Perlu ditekankan dalam hal ini, sekalipun perbedaan metodologis pada akhirnya mengakibatkan timbulnya faksi-faksi dan mazhab-mazhab aliran pemikiran yang berbeda-beda, namun masing-masing menghormati sebagaimana mestinya, sebab semua ulama meyakini, mereka berada dalam satu pijakan yang sama, dan cita-cita mulia bersama dan hak-hal yang sama pula. Oleh sebab itu, suatu ungkapan hadis terasa menemukan kebenarannya, dimana “setiap perbedaan diantara para ulama menjadi rahmat”.
Itulah kenapa, istilah ijtima’ ulama yang belakangan populer sebagai bentuk alternatif perkumpulan para ulama yang lebih ekslusif—karena kumpulan ulama inklusif sudah terwadahi dalam MUI—dengan kecenderungan-kecenderungan terhadap aspek politik-kekuasaan, untuk mendukung atau menentang satu kandidat politik dalam suatu ajang kontestasi. Prinsip ijtima’ ulama yang diinisiasi oleh para “ulama politik” ini tampak ambigu, sebab disatu sisi mereka ingin berperan sebagai "muftinuun" (pemberi fatwa) yang mendapatkan legitimasi, namun disisi lain, mereka seolah-olah tidak lagi mempercayai ulama-ulama lainnya yang secara legitimated fatwanya diakui oleh negara.
ADVERTISEMENT
Kedudukan suatu “perkumpulan” (ijtima’) ulama semacam ini tentu saja menyulitkan bagi mereka sendiri, terlebih tampak lebih kental mempromosikan suatu faksi politik dibanding faksi keagamaan yang cenderung “netral”. Maka, sangat masuk akal jika kelompok ini kemudian lebih memilih istilah “ijtima’” yang dalam banyak hal tampak terkesan partikularistik atau “anti mainstream” terlebih jika dihadapkan pada suatu kondisi dimana para ulama sudah terwakili secara absah dalam MUI, dan para ulama yang secara metodologis tersebar dalam beberapa ormas Islam yang telah diakui secara sah. Sulit untuk tidak menyebutkan, bahwa konsep ijtima’ ulama yang sejauh ini muncul dalam satu kurun pergantian kekuasaan, akan lebih memberikan gambaran “politis” daripada “agamis”.
Para ulama tentu saja mereka yang “luas hatinya” (ahlu tausi’atin) dan hampir-hampir tak pernah “memaksakan” suatu keputusan kepada semua pihak, terlebih jika bercampur dengan urusan-urusan politik. Menarik ketika membaca suatu kitab karya adz-Dzahabi, “Tadzkirah al-Huffadz” dimana ia menggambarkan suasana perbedaan pendapat diantara para ulama, dimana ketika mereka dihadapkan pada “suatu persoalan yang menindihnya ibarat gunung, sehingga manakala mereka menemukan pintu keluar (jawaban) terbuka, berserulah mereka, ‘alangkah legaku’”. Begitulah para ulama terdahulu ketika berkumpul dan menentukan suatu keputusan yang tanpa ada “pemaksaan kehendak”, atau berada diluar kesepakatan dengan menyatakan, “kami membuat satu alternatif keputusan yang berbeda diantara mereka”.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, mengikuti “ijtima’” ulama tentu saja tidak berarti mengikuti “ijma’” ulama yang lebih didasari konsensus dari mereka yang luas hatinya. Ijma’ ulama tentu saja memiliki konsekuensi hukum lebih luas dengan mempertimbangkan banyak hal dan yang paling utama, mereka yang ber-ijma’ tentu saja memiliki tujuan dan cita-cita yang sama: mengangkat derajat dan martabat kehidupan masyarakat umum secara lebih luas, bukan kepentingan sepihak atau segolongan tertentu. Setiap “konsensus” tentu saja memiliki titik tekan kepada suatu kemaslahatan yang diharapkan bukan atas dasar keinginan “pengakuan” setiap argumentasinya. Dengan demikian, adakalanya suatu ijtima’ itu melanggar ijma’ (konsensus) jika dihadapkan pada suatu realitas umum atas aturan-aturan yang telah disepakati secara bersama dalam suatu lingkup masyarakat politik.
ADVERTISEMENT