Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Imam Masjid Memang Harus NU
28 Januari 2019 11:03 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:05 WIB
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernyataan Kiai Said Aqil Siradj, Ketua Umum PBNU, di tengah kegiatan harlah Muslimat NU ke-73 di GBK Senayan Jakarta, memang cukup menggelitik. Pasalnya, ia mengemukakan bahwa warga NU harus menguasai peran-peran keagamaan (syuhuudan diniyyan) secara jelas dari mulai khatib-khatib, imam masjid, KUA-KUA, hingga menteri agama harus dari NU, karena jika bukan NU salah semua. Sesungguhnya tak ada yang aneh dalam pernyataan ini, tak jauh beda ketika peran politik dikuasai oleh sekelompok orang lalu mereka menempatkan orang-orangnya untuk berada dalam struktur-struktur kekuasaan pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Barangkali yang jadi persoalan adalah soal imam masjid yang harus dari NU, seolah meminggirkan peran pihak lainnya yang bukan berasal dari ormas NU. Bagi saya, NU yang dimaksud adalah tak melulu dikonotasikan ormas, namun lebih kepada cara pandang, pemahaman, ajaran, tradisi, dan segala hal terkait pengalaman keagamaan yang cenderung mengadaptasi kearifan lokal. Mungkin ada benarnya, bahwa sejauh ini yang terjadi di masyarakat adalah penguasaan masjid oleh pihak-pihak tertentu yang kontra kearifan lokal, bahkan seolah memaksakan suatu mazhab baru yang terus menerus dijalankan secara “brain washing” kepada umat.
Saya mengalami suatu kondisi dimana memperjuangkan kenyataan menjadi imam masjid sangat berpengaruh pada soal ikatan-ikatan solidaritas masyarakat secara kultural. Ketika masjid “dikuasai” kalangan NU, ikatan-ikatan solidaritas itu menguat. Lain halnya, ketika masjid dikuasakan kepada pihak-pihak tertentu yang “bukan NU” hampir dipastikan memberangus setiap kearifan lokal, tradisi keagamaan tergerus oleh semangat puritanisme dan yang paling penting bahwa kerap kali soal tradisi yang hidup selama bertahun-tahun di dalam masjid itu malah dianggap sesat. Tak hanya itu, kajian-kajian keagamaan-pun tak lebih dari model indoktrinasi yang kebanyakan menyerang para ulama terdahulu, menganggap pendapat-pendapat mereka tak sesuai dengan semangat ortodoksi Islam dan dianggap melenceng dari ajaran-ajaran Alquran dan Sunnah.
ADVERTISEMENT
Sebagai bagian dari imam masjid, saya sangat merasakan betapa gerakan massif yang terjadi di masyarakat—terutama ditengah masyarakat urban—oleh sekelompok “warga baru” dengan membawa seperangkat mazhab baru yang kontra NU jelas diluar dugaan. Masjid yang dulu ramai oleh syiar keagamaan Islam melalui warna-warna tradisi ke-NU-an yang khas, seperti maulid, marhabanan, yasinan, atau solawatan seolah dicampakkan menjadi barang bid’ah ditangan mereka. Tak hanya itu, tradisi dzikir yang ramai dikumandangkan setelah selesai salat bahkan disebut sebagai tradisi yang tak ada rujukannya di zaman Nabi. Masjid pada akhirnya sepi hanya sebagai tempat ibadah ekslusif segelintir orang, tanpa ada syiar didalamnya kecuali indoktrinasi dan penyesatan.
Sekalipun saya tak menafikan adanya suatu perbedaan ideologis dalam hal keagamaan Islam, namun soal tak adanya kompromi dalam hal-hal tradisi oleh pihak-pihak tertentu yang menguasai masjid, sedikit banyak memicu konflik horizontal di tengah masyarakat. Tak ubahnya ketika sawah yang dulunya digarap oleh suatu kelompok masyarakat, lalu tiba-tiba muncul sekelompok orang yang entah datang dari mana, menguasai, merebut, bahkan menggarap sawah yang telah bertahun-tahun lamanya memberikan manfaat kepada mereka. Konflik tentu saja sulit dihindarkan dan kenyataan atas kondisi ini terus meluas terutama sasarannya adalah masyarakat urban yang dianggap masih rapuh dalam hal tradisi keagamaannya.
ADVERTISEMENT
Ungkapan Kiai Said, mungkin saja yang dimaksud bukan NU sebagai ormas yang sejauh ini tampak memiliki hubungan mesra dengan kekuasaan. Namun, ungkapan ini lebih kepada soal peringatan bahwa telah terjadi penguasaan masjid secara besar-besaran yang bertujuan politis: menghapus tradisi lama, mengubah cara beribadah masyarakat sesuai dengan keyakinan mereka, menihilisasi peran para ulama dan menggantinya dengan cara pandang terlampau ketat terhadap ortodoksi, mengklaim kebenaran atas cara pandang mereka sendiri. Gerakan kelompok-kelompok ini secara massif memang menyerang NU, bahkan secara politis dalam hal penguasaan masjid sekaligus para imamnya, merupakan proyeksi jangka panjang menggaungkan semangat “asal bukan NU”.
Memang, ungkapan Kiai Said patut diklarifikasi lebih jauh, karena pernyataan ini rentan menjadi konflik horizontal yang pada akhirnya timbul saling curiga antarkelompok keagamaan yang sejauh ini justru telah mampu meredam konflik ditengah publik. NU, Muhammadiyah, Persis—untuk menyebut beberapa kelompok ‘sektarian’ yang cukup besar—merupakan bagian dari ormas Islam yang sejauh ini seiring-sejalan dan memiliki jamaahnya tersendiri tanpa harus berbenturan antara satu dan lainnya. Sekalipun saya berlatar belakang NU, namun hubungan baik saya dengan beberapa kolega dari ormas Islam seperti Muhammadiyah dan Persis, tidak kemudian harus berebut “kekuasaan” hanya dalam soal siapa yang lebih pantas kemudian menjadi imam ketika salat.
ADVERTISEMENT
Dalam banyak hal, NU kerap kali memanfaatkan kedekatannya secara politis dengan kekuasaan, sehingga disadari maupun tidak, kenyataan soal sektarianisme keagamaan justru tampak semakin besar. Saya rasa, memang perlu kesadaran yang menyeluruh dari berbagai pihak, dimana soal politik aliran tidak kemudian menjadi pintu masuk bagi munculnya sekelompok masyarakat yang tersegmentasi secara agama. Sekalipun ini sulit dihindarkan, namun NU sebagai ormas terbesar sesungguhnya mampu menjadi ormas terdepan dalam hal moderasi Islam, tanpa harus menyatakan dirinya sebagai pihak yang menentang arogansi kelompok sektarianisme Islam lainnya.
Saya kira, soal bagaimana bersikap moderat ditengah pertentangan entitas “ekslusivisme” keagamaan sejauh ini menemukan wujud terbaiknya ketika pendiri NU, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari melawan beragam arogansi kelompok sektarian. Dalam banyak pidatonya di forum-forum lintas kelompok Islam, ia selalu mengedepankan persatuan dan sekuat mungkin menahan agar tak terjadi perpecahan yang diakibatkan perbedaan-perbadaan secara sektarianisme. Prinsip soal “dar’ul mafaasid muqaddamun ‘ala jalb al-mashaalih” (menolak kerusakan/perpecahan harus didahulukan ketimbang membuat kemaslahatan) benar-benar dipraktekkan oleh Hadratussyekh. Jika suatu kondisi akan lebih besar membawa dampak pertentangan atau konflik, maka tak perlu diperbesar sekalipun itu membawa dampak pada kemaslahatan umat.
ADVERTISEMENT
Namun, saya sepakat bahwa imam masjid harus dari NU dalam pengertian memiliki latar kultural yang kuat soal keagamaan Islam, fasih dalam bacaan Alquran—bukan sekadar hafal—memiliki serangkaian transmisi intelektual berbasiskan guru-murid dengan para ulama tradisional, berideologi terbuka—bukan permissif—dalam hal relativitas kebenaran keagamaan, tidak ekslusif dalam artian hanya mengakui kelompok tertentu dan “memusuhi” kelompok lain diluar dirinya, terlepas apakah dirinya memiliki ikatan kultural dengan NU maupun tidak. Seorang imam salat memang memiliki persyaratan khusus secara yurisprudensi dan memang pada kenyataannya tampak lebih dekat dengan ideologi keagamaan model NU, seperti harus fasih, cakap ilmu keagamaan, disukai seluruh jamaah, dan lain sebagainya. Menjadi imam salat tetapi tak disukai atau “digerundeli” jamaahnya, jelas berdampak pada nilai salatnya tertolak, bahkan terhapus sama sekali pahala salat jamaahnya.
ADVERTISEMENT