Islam 'Wasathiyah' Indonesia di Antara Moderatisme dan Ekstremisme

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
26 Juni 2020 6:58 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi. pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi. pixabay.com
ADVERTISEMENT
Salah satu murid senior Snouck Hurgronje, G.W.J. Drewes dalam sebuah artikel menyatakan, bahwa Islam menjadi agama mayoritas bagi kurang lebih 60 juta penduduknya—pada waktu itu—dengan daya tampung luar biasa dan kemampuan yang mengagumkan dalam hal menyesuaikan ide-ide yang baru diperoleh dengan pola lama dasar pemikiran mereka, tetapi tidak pernah memperlihatkan ledakan-ledakan kreatif sedikitpun. Dalam soal agama, orang-orang Indonesia selalu menjadi pengikut yang baik; mereka hampir tidak pernah memegang pimpinan, baik di negerinya sendiri atau dalam kancah dunia Islam yang lebih luas. Pernyataan ini memberikan kesimpulan, bahwa masyarakat Indonesia sangat akomodatif terhadap ide-ide apa pun yang berasal dari luar, bahkan dalam banyak hal, akulturasi dan asimilasi budaya kerap terjadi dengan tanpa meninggalkan akar tradisi lokalnya sama sekali, tetapi memperlihatkan bentuk resepsi budaya yang diserap dari beragam nilai sehingga membentuk kebudayaan “indigenous”, di mana Islam sebagai agama yang dibawa dari luar penduduk asli Indonesia, mampu berasimilasi dengan beragam tradisi lokal.
ADVERTISEMENT
Islam di Indonesia terbentuk dalam rangkaian sejarah panjang proses Islamisasi yang telah dimulai sejak abad ke-13, juga melalui kegiatan perdagangan dan peran guru sufi yang telah “terasimilasi” sebelumnya melalui persinggahan mereka di wilayah-wilayah yang dilewatinya. Perjalanan para pedagang Arab, Gujarat, dan Cina jelas melewati berbagai wilayah sebelum akhirnya sampai ke Indonesia, di mana ide-ide lokal telah juga meresap bahkan membentuk watak Islam yang kemudian diperkenalkan kepada penduduk Indonesia. Pembentukan pertama masyarakat Muslim Indonesia, jelas melalui kontak perdagangan, sekalipun bahwa para sufi pengembara beperan besar dalam mengkorvensi penduduk lokal ke dalam Islam. Ide-ide keagamaan yang dibawa para guru sufi sebagai penyebar Islam pertama, jelas moderat, di mana doktrin-doktrin Islam yang diperkenalkan kepada penduduk mudah diterima dan hampir tak terjadi konflik apa pun dengan nilai, tradisi, atau kepercayaan masyarakat yang telah ada sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Hampir dipastikan, para sufi pengembara merupakan pengikut mazhab Syafi’i yang moderat dalam pemikiran keagamaan: Penganut Asy’ariyah-Maturidiyah yang secara teologis, mensintesakan dua kecenderungan yang ekstrem di antara kebebasan rasionalitas dan juga kepasrahan buta terhadap takdir. Dalam ide-ide tasawuf, para sufi pengembara yang melakukan Islamisasi di Indonesia, kemungkinan mengambil ide sufisme-intelektual al-Ghazali yang juga sangat moderat: kemampuannya dalam mendamaikan kecenderungan fikih-sentris yang terlampau ketat dengan etika dan filsafat. Al-Ghazali memang memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan aktivisme Islam dengan kemampuannya memoderasi berbagai kutub ekstrem dalam pemikiran. Perkembangan pemikiran keislaman pasca Al-Ghazali juga menunjukkan realitas moderatisme dan inilah sesungguhnya yang telah ada dalam ide-ide para sufi pengembara yang kemudian mengislamisasi penduduk Nusantara.
ADVERTISEMENT
Indonesia pra-Islam, banyak disebut dalam berbagai penelitian etnografi dengan menyinggung tradisi “animis” di Asia Tenggara yang memperlihatkan dengan sangat jelas konsistensi tertentu akan keyakinan keagamaan yang dianut. Segi umum yang paling mencolok dari dari sistem kepercayaan ini adalah keterlibatan yang terus menerus orang yang telah meninggal dunia dalam urusan-urusan mereka yang masih hidup. Seakan terjadi kesesuaian dimana praktik keagamaan dalam tradisi masyarakat animis di Indonesia yang sarat dengan berbagai upacara pemujaan untuk orang yang sudah meninggal dengan para ideologi para sufi pengembara yang menawarkan Islam dalam bentuk mistik yang kurang lebih memiliki seperangkat ide yang sama dengan realitas kultur lokal. Unsur-unsur sufisme memang banyak ditemukan diseluruh dunia Muslim, tetapi akan tampak sangat jelas fenomena ini ketika melihat Islam di India dan Asia Tenggara.
ADVERTISEMENT
Keberadaan Islam Indonesia hampir dipandang oleh seluruh dunia mewakili satu bentuk moderatisme Islam. Tidak saja dari sisi sejarah Islamisasinya yang menempatkan para guru sufi—atau dikenal dengan “wali”—yang kental nuansa mistisisme tetapi hampir tidak mempertentangkan aspek-aspek budaya lokal. Realitas masyarakat Indonesia yang religius, telah memberikan kesan kuat bahwa Islam benar-benar mampu menyerap ke dalam batin penduduknya karena ide dan ajarannya yang mudah dan akomodatif.
Kita bahkan hampir-hampir tidak percaya, bahwa sesungguhnya Indonesia benar-benar merupakan negeri Muslim (darul Islam), sekalipun kita tidak pernah disuguhkan suatu pemandangan yang khas Islam, seperti di Timur Tengah, dimana simbol-simbol keagamaan tampak semarak sebagaimana kita saksikan juga di banyak negara Muslim. Sampai pada tahap tertentu, orientalis kawakan, Snouck Hurgronje sampai pada kesimpulan bahwa Islam Indonesia lebih banyak dibentuk oleh aktivitas berpikir, bukan bertindak. Hal ini jelas didasarkan pada kenyataan bahwa para wali penyebar Islam merupakan sufi-intelektual yang telah mengalami serangkaian pengalaman, memahami Islam secara lebih dalam serta menyerap ide-ide lokal, sehingga memberikan dampak pada watak dan corak Islam di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Islam “Wasathiyah”, begitu barangkali istilah yang tepat untuk menggambarkan corak Islam Indonesia. Konsep yang terambil dari asal kata “w-sh-th” ini memang disebut juga dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan bahwa realitas Islam adalah “ummatan wasatha” (umat yang berkeadilan/moderatisme). Semangat “adil” dan “moderat” tentu saja inheren dalam watak Islam yang “rahmatan lil ‘alamin”. Pembentukan watak Islam moderat atau “wasathiyah” di Indonesia terbukti masih terpelihara sampai saat ini, terbukti bahwa dua ormas besar Islam sampai saat ini tetap bertahan di Indonesia: NU dan Muhammadiyah. Sekalipun muncul beberapa fenomena sosial yang melakukan penolakan terhadap tradisi yang dianggap tidak sesuai dengan Islam, semata-mata bukanlah keinginan untuk menolak keseluruhan tradisi lokal yang ada, tetapi lebih didasari oleh keinginan untuk keluar dari belenggu tradisi yang sejauh ini mengungkung mereka. Hal ini dapat dibuktikan oleh adanya semangat penyatuan antara adat dan syariat, sebagaimana dialami dalam tradisi lokal masyarakat Muslim di Minangkabau.
ADVERTISEMENT
Islam wasathiyah yang hidup dalam aktivisme dan intelektualisme masyarakat Muslim di Indonesia, bukannya tanpa masalah, tetapi terkadang memperlihatkan sikapnya yang terlampau lemah, bahkan dalam banyak hal justru terlampau permissif terhadap berbagai tradisi pra-Islam yang dinilai sangat kontraproduktif dengan penyebaran ide-ide modernisme Islam. Dalam konteks tertentu, konsep Islam “wasathiyah” akan kehilangan semangat dinamisitas dan progresivitasnya, sebab respons mereka terhadap globalisasi jelas akan terhambat oleh kesibukan mereka melakukan “kompromi intelektual” dengan ide-ide atau praktik kelembagaan pra-Islam di masa lalu. Kenyataan ini akan membuat banyak di antara kelompok modernis yang giat melakukan gerakan-gerakan bersifat puritanistik: romantisme-kultural dengan mengembalikan realitas Islam kepada masa awal keemasannya ketika zaman Nabi Muhammad. Gerakan-gerakan ini sangat dinamis, reaktif bahkan konfrontatif dalam banyak beberapa kasus, dimana suasana ekstrimisme sangat kuat memaksa tradisi-tradisi tertentu yang telah “diislamisasi” agar dihilangkan atau bila perlu dihancurkan.
ADVERTISEMENT
Bagi saya, Islam wasathiyah sekalipun tetap menjadi pilihan pijakan teologis yang terbaik, terutama ketika harus berada pada posisi di antara dua kutub teologi yang ekstrem. Islam, bagaimanapun merupakan agama dengan seperangkat ajaran dan doktrin yang berdimensi Ilahiyah, namun sekaligus juga peradaban yang dibangun oleh ide, pemikiran, atau aktivisme yang mengalami serangkaian sejarah panjang terkait dengan akulturasi, asimilasi, dan adaptasi dengan beragam tradisi dan kebudayaan lokal. Proses ini dalam banyak sejarah, selalu menemukan puncaknya pada di mana hampir sama sekali tidak ditemukan pemberangusan ide-ide atau lembaga-lembaga pra Islam ketika Islam mulai diterima dan berkembang dalam suatu wilayah, termasuk di Indonesia. Yang ada justru, ide-ide atau lembaga-lembaga itu tetap ada tanpa tercerabut dari akarnya sama sekali, tetapi Islam tetap melekat menyemai batin masyarakat Indonesia sejauh ini. Ide moderatisme yang menempatkan suatu realitas tampak “tengah-tengah” seharusnya dapat lebih fleksibel, bukan selalu berada “di tengah”, tetapi bagaimana moderatisme selalu menyesuaikan dengan ide-ide yang tampak ekstrem, menjaga jarak tetapi pada saat bersamaan memberikan pengaruhnya, bukan malah menjauhi, menolak, atau bahkan meninggalkannya sama sekali.
ADVERTISEMENT