Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Manusia Spiritual
19 Januari 2019 23:05 WIB
Diperbarui 15 Maret 2019 3:49 WIB
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Makhluk Tuhan bernama manusia ini memang unik, bahkan bisa jadi malah tampak rumit. Hampir tak ada definisi yang seragam dalam menggambarkan sosok manusia, karena satu sama lain mungkin saja saling melengkapi. Para ahli filsafat memandang manusia adalah makhluk yang berpikir dan bertindak berdasarkan akal sehat. Karena sifatnya yang berpikir, manusia cenderung bersosialisasi dan berkumpul (zoonpoliticon).
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, para ahli psikoanalisis menyebut bahwa manusia memiliki kerumitan tersendiri, sebab yang tampak dari manusia tak ubahnya puncak gunung es di tengah samudera, sedangkan sebagian besarnya tertutup dan tidak tampak. Maka, yang paling memahami manusia tentu saja manusia itu sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Manusia memandang dirinya tidak hanya secara fisik tetapi juga rohani, karena selain jasad yang menghidupkan aktivitas manusia, justru jiwa lah sesungguhnya yang paling menentukan bagaimana manusia itu sendiri hidup di muka bumi. Maka, manusia disebut mahluk dikotomi karena memiliki jasad dan roh yang mana keduanya berbeda entitas tetapi saling memiliki ketergantungan.
Tanpa jiwa, manusia mati, sebaliknya jiwa atau roh tanpa jasad atau tubuh juga tak berarti apa-apa. Meskipun demikian, jiwa atau roh nampaknya unsur yang paling menentukan dalam diri manusia sebab roh itu sendiri yang mendorong manusia berpikir, berkehendak, berkemauan, bahkan bergerak.
ADVERTISEMENT
Itulah sebabnya, Alquran mendefinisikan manusia sebagai “mahluk spiritual” karena sebagian dari “milik” Tuhan ditiupkan ke dalam dirinya. Manusia memiliki kecenderungan untuk kembali kepada Sang Penciptanya, atau minimal ingin selalu dekat atau mengingat-Nya karena bagaimanapun, fitrah manusia tentu saja mahluk rohani atau spiritual yang selalu cenderung kepada Pemiliknya.
Alquran memberikan jawaban setelah manusia disempurnakan ciptaannya oleh Allah. “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (QS. Al-Hijr: 29).
Maka, rohani menjadi suatu entitas tertinggi yang ada dalam jasad manusia yang ditunjukkan oleh kecenderungannya dalam hal kepatuhan dan ketundukan. Tepat ketika Nabi Muhammad menyebut arwah—jamak dari roh—dipersamakan dengan sepasukan tentara yang selalu taat, yang mana ketika roh sesuai dengan perbuatan yang dilakukan jasad, ia akan tunduk. Namun sebaliknya, jika suatu perbuatan tak sesuai dengan rohnya, maka roh akan menunjukkan sikapnya yang melawan dan bertentangan.
ADVERTISEMENT
Ibarat dua kecenderungan antara kebaikan dan keburukan atau memperbaiki dan merusak, maka manusia akan memilih kecenderungannya, jika sesuai dengan rohnya maka ia sesungguhnya telah tunduk dan patuh sesuai fitrahnya, namun jika tak sesuai, roh seolah berontak karena menolak, bahkan ingin segera keluar meninggalkan jasadnya.

Manusia dengan demikian, sejatinya merupakan mahluk spiritual yang seluruh hidupnya sangat tergantung oleh keberadaan rohnya. Spiritualitas atau rohani tidak saja merupakan “bagian” dari cahaya Tuhan yang dipertemukan dengan jasmaninya lalu ia hidup selaras dengan kehendak sang Khaliq.
ADVERTISEMENT
Namun kenyataan, rohani atau spritualitas sejatinya memang “terpisah” dari makhuk itu sendiri karena telah hadir jauh sebelum jasmani yang sempurna itu diciptakan oleh Tuhan. Inilah maksud dari sebuah hadis Nabi Muhammad yang menyebut, “Sesungguhnya Allah ketika menciptakan ciptaan-Nya dalam kondisi kegelapan, lalu Allah menerangi mereka dengan menganugerahkan sebagian cahaya-Nya.”.
Istilah “manusia” seringkali dibedakan sesuai konteksnya dalam Alquran. Dalam banyak hal, ketika manusia yang dimaksud sebagai mahluk sosial, maka Alquran menyebutnya dengan istilah “an-naas” atau terkadang dalam bentuk tunggalnya “al-insaan”, sedangkan dalam konteks yang berkonotasi individual biasanya digunakan istilah “bani Adam”.
Namun demikian, hanya manusia lah yang memiliki keistimewaan di antara mahluk Tuhan lainnya, bahkan Tuhan telah memuliakan manusia itu sendiri dan memberikan kelebihan-kelebihan dibandingkan makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang lain. Sebelum manusia hidup, Tuhan yang meniupkan roh ke dalam jasadnya. Maka nilai-nilai spiritual dari roh itulah yang akan mengangkat sisi derajat kemanusiaan ke tingkat lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Tuhan tentu saja memuliakan manusia, tidak hanya karena soal penciptaannya yang sedemikian sempurna, tetapi juga hampir dipastikan karena seluruh apa yang ada di muka bumi memang diperuntukkan seluruhnya bagi kebutuhan hidup dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran umat manusia. “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isra: 70).
ADVERTISEMENT
Menarik sesungguhnya, ketika pilihan nama “Adam” yang Tuhan sematkan kepada manusia ciptaan-Nya yang pertama. Kata “Adam” dalam beragam derivasinya memiliki konotasi yang beragam, namun seluruh maknanya melekat kepada diri manusia itu sendiri. “Adam” dalam bahasa Arab berarti “mendamaikan”, sehingga seorang anak Adam dapat dipilih sebagai pemimpin atau panutan karena mampu “mendamaikan” setiap perbedaan.
Itulah sebabnya, kata “al-idaam” yang juga satu akar kata dengan “adam” memiliki konotasi “segala hal yang serasi”, mengingat manusia sebagai merupakan mahluk yang paling serasi dari sisi penciptaannya sekaligus bertugas menyeimbangkan seluruh kehidupannya dengan alam semesta.
Hampir dipastikan, seluruh peyebutan manusia dengan berbagai istilah, baik itu insan, manusia (an-naas), atau bani adam keseluruhannya memiliki konotasi mahluk spiritual. Kata “al-insaan” sendiri sarat makna akan “ketundukan” dan “kepatuhan” karena memang berasal dari kata “unaas” yang berarti “jinak” atau “tunduk”.
ADVERTISEMENT
Seolah telah diatur sedemikian rupa, ketika seseorang disebut “manusia Muslim” berarti ia merupakan pribadi yang secara spiritual tunduk dan patuh pada setiap apapun kehendak Tuhan. Maka, ketika Tuhan memuliakan manusia, maka sudah sepantasnya manusia juga memuliakan sesamanya, bukan malah merendahkan atau menghinanya.
Seseorang disebut Muslim karena penyerahan dirinya kepada Tuhan dan memang fitrah manusia sesungguhnya adalah “Muslim” (tunduk, patuh, dan berserah diri hanya kepada yang menciptakannya), bukan tunduk dan patuh pada entitas lain karena itu jelas bertentangan dengan fitrahnya sebagai manusia.