news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kala Islam Oportunis Mewabah, PSI Tolak Perda Syariah

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
15 November 2018 11:30 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Agama dan Politik (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Agama dan Politik (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Menelisik pergerakan aktivitas Islam politik belakangan ini memang tak sulit, karena umumnya mereka sudah bergerak sejak lama dan benar-benar telah mewujud secara nyata dalam gelanggang politik. Para pegiat Islamis, tentu saja bertebaran dalam kantung-kantung parpol Islam, kelompok aktivis, ormas keagamaan, bahkan secara formal ada dalam lembaga-lembaga pendidikan.
ADVERTISEMENT
Sejak reformasi bergulir, para pegiat Islamis semakin eksis menyuarakan tren formalisme agama agar dapat masuk dalam struktur kenegaraan, baik itu peraturan-peraturan atau menciptakan aksi-aksi politik tertentu yang didasari semangat keagamaan. Para politisi juga setuju untuk memanfaatkan mereka, sehingga format politik dibuat sekadar menjaga suara mereka demi stabilitasnya ruang lingkup elektoral partai.
Itulah kenapa, ketika ada parpol yang menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap berbagai aturan yang dilandasi semangat keagamaan—baik perda syariah atau perda agama lainnya—membuat gerah para politisi dan pegiat Islamis, lalu dicap sebagai bagian gerakan Islamofobia.
PSI merupakan satu-satunya parpol baru yang secara terang-terangan menolak perda agama di tengah antusiasme Islam politik mewabah yang belakangan kerap dimanfaatkan pihak-pihak Islam oportunis yang tersebar dalam berbagai kekuatan politik.
ADVERTISEMENT
Seperti melawan arus, PSI harus siap menghadapi beragam tudingan dari para pegiat Islamis, di mana berarti parpol ini melawan segala bentuk formalisme agama dalam politik, termasuk memosisikan dirinya sebagai parpol yang betul-betul baru, tanpa mengakar pada realitas sosial-politik yang sebelumnya tumbuh dan dimanfaatkan.
PSI bertemu KPU RI (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
PSI bertemu KPU RI (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
Memandang PSI sebagai parpol baru yang mulai bergerilya di jalur kekuasaan formal, harus dipahami sebagai proses pencarian jati diri partai. Terlalu terburu-buru jika muncul pernyataan bahwa PSI disebut sebagai parpol yang menolak agama atau wujud Islamopobia yang diberi peran dalam gelanggang politik.
PSI tampaknya hanya memanfaatkan jalur formal politik yang mendukung kekuasaan, sehingga wajar proses pencarian jati dirinya sebagai parpol modern harus rela sementara “mendompleng” penguasa terlebih dahulu, seraya mencari akar politik pijakannya yang mungkin saja butuh waktu.
ADVERTISEMENT
Bagi saya, PSI menjadi wujud kreativitas politik anak muda yang mulai mencoba memberi warna terhadap dinamika politik-kekuasaan.
Menyoal perda syariah yang tumbuh di Indonesia, hendaknya tidak juga dipandang sebagai suatu gerakan murni keagamaan tanpa ada kepentingan yang bermain di dalamnya.
Berdasarkan penelitian Dr. Michael Buehler yang dikemas dalam bukunya “The Politics of Shari’a Law”, menunjukkan bahwa tumbuh suburnya perda syariah yang dimulai sejak 1998 linier dengan kemerosotan suara-suara parpol Islam sehingga mereka mau tidak mau harus memanfaatkan jaringan pegiat Islamis sebagai dukungan politiknya.
Buehler menganalisis tentang ekses demokratisasi yang memberikan tekanan baru kepada para elite yang berkuasa untuk memobilisasi dan membuat pemetaan wilayah politiknya sendiri seraya membuka ruang bagi para pegiat Islamis untuk dapat memengaruhi sistem politik.
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah wawancaranya dengan BBC Indonesia, Buehler bahkan membuat kesimpulan bahwa kemunculan perda-perda syariah di Indonesia bukan merupakan pertanda suatu pergeseran atau transformasi ideologis yang meluas dalam masyarakat Indonesia, namun lebih sebagai hasil dari politik kemanfaatan. Seolah-olah, ada upaya kelompok Islam oportunis yang memang sengaja memanfaatkan berbagai gerakan pegiat Islamis dengan membuka ruang bagi bentuk formalisme agama.
Mereka jelas mendapatkan keuntungan secara politik dan memperoleh relasi-relasi kekuasaan secara oportunistik. Bukan tidak mungkin, para politisi pendukung perda syariah tidak benar-benar mengetahui soal syariah itu sendiri karena mereka sekadar memanfaatkan dukungan dari kelompok-kelompok pegiat Islamis.
PSI secara tidak langsung, tampak sedang melawan kelompok-kelompok Islam oportunis yang saat ini memang memanfaatkan agama sebagai celah bagi keuntungan kekuasaan. Disadari ataupun tidak, maraknya berbagai gerakan yang mengatasnamakan semangat agama belakangan, justru menjadi keuntungan tersendiri bagi para politisi oportunistik untuk tetap eksis melanggengkan kekuasaannya.
ADVERTISEMENT
Saya kira, euforia masyarakat dalam hal pergantian kekuasaan, memang akan sangat mudah jika memanfaatkan agama sebagai suatu “identitas politik” yang akan mengantarkan mereka menuju kursi kekuasaan.
Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi, kenapa PSI secara terang-terangan menjadi parpol yang melawan gerakan Islam oportunis melalui penolakannya atas upaya pemberlakukan perda-perda keagamaan atau syariah.
Kita boleh saja menilai PSI sebagai parpol “anak bawang” yang masih terlalu pagi jika ingin berlaga di panggung kekuasaan. Atau, PSI juga termasuk kelompok oportunisme-politik yang juga gemar cari muka terhadap penguasa seraya memanfaatkan jalur-jalur politik formal demi kepentingan elektabilitas parpolnya.
ADVERTISEMENT
Namun bagi saya, menilai PSI sebagai parpol yang seolah-olah “antiagama” karena pernyataannya yang menolak perda syariah, perlu dibuktikan lebih lanjut, mengingat pentolan-pentolan PSI memiliki latar belakang keagamaan yang cukup kuat dan mengakar.
Sekjennya, Raja Juli Antoni, merupakan mantan aktivis Muhammadiyah dan pernah mengenyam pendidikan Tafsir-Hadis di Fakultas Ushuluddin, IAIN Jakarta di mana warna keagamaan justru cukup kental mewarnai parpol yang baru seumur jagung eksis ini.
Sulit memang, untuk melihat lebih jernih dan objektif terhadap konstelasi kepolitikan di negeri ini. Jangan-jangan setiap ada upaya melihat suatu entitas yang lebih objektif justru dianggap memihak dan dipandang sebagai cara berpikir yang kontraproduktif vis a vis agama.
Justru bagi saya, maraknya kelompok Islam oportunis semakin menyeret situasi politik menjadi lebih stagnan dan kaku, sekadar menarasikan kembali diksi keagamaan dalam lingkup politik-kekuasaan seperti zaman dulu.
ADVERTISEMENT
Isu-isu keagamaan cenderung dimanfaatkan kelompok oportunis dalam berbagai lini demi keuntungan politik sesaat, tak peduli arus bawah masyarakat “kejang-kejang” membangun opini, menangkis sana-sini dan ikut terseret arus konflik yang sama sekali mereka tidak mengetahuinya.
Saya sendiri beranggapan, soal perda syariah yang ramai diperbincangkan hanyalah sebagian kecil saja dari serangkaian pemanfaatan formalisme agama yang digaungkan kelompok pegiat Islamis, namun dimanfaatkan oleh kelompok Islam oportunis. Negara ini sudah berdasarkan syariat, jika melihat pada seluruh butir sila-nya yang terangkum dalam Dasar Negara, Pancasila.
Lalu, apakah perda syariah menjadi ancaman bagi Pancasila? Bagi PSI iya, karena perda berdasarkan agama dapat dipergunakan sebagai “alat penekan” politik yang pada akhirnya dijadikan senjata untuk menangkal pergerakan para oposan.
ADVERTISEMENT
Mungkin tak berlebihan, ketika Pancasila juga dijadikan alat politik oleh rezim Soeharto yang dipergunakan memberangus para oposisi agar tidak kritis terhadap pemerintah.