Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Memaknai Haji yang Mabrur
11 Juli 2019 12:36 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejak bulan Syawal, kesibukan para petugas haji Indonesia mempersiapkan keberangkatan para jemaah sudah sangat terasa. Bahkan, beberapa minggu setelah Idul Fitri, beberapa petugas sudah ada yang berangkat lebih dulu menuju Makkah dan Madinah guna mempersiapkan segala hal terkait pelayanan ibadah haji selama di sana.
ADVERTISEMENT
Benar, sebagaimana dijelaskan Alquran, “al-hajju asyhuurun ma’luumaat” (haji itu hanya dilakukan pada bulan-bulan yang telah ditetapkan), di mana bulan-bulan yang dimaksud adalah Syawal, Zulkaidah, dan Dzulhijjah. Ketiga bulan ini merupakan bulan di mana seluruh jemaah haji di penjuru dunia bertahap menuju Makkah dan Madinah yang puncak rangkaian ibadah ini ada pada tanggal 9 dan 10 Dzulhijjah waktu Arab Saudi.
Indonesia, sudah sejak tanggal 6 Juli 2019 lalu, telah memberangkatkan sekitar 15.225 jemaah yang terkelompokkan ke dalam 37 kloter dan telah dengan selamat sampai di Madinah. Rangkaian pemberangkatan jemaah haji Indonesia ini akan terus hingga tanggal 5 Agustus mendatang, di mana kloter sapu jagad akan langsung menuju Makkah dan bersiap melaksanakan wukuf di Arafah.
ADVERTISEMENT
Indonesia, tentu saja menyumbang jemaah haji terbanyak di seluruh dunia dan mungkin terkoordinir secara baik dibandingkan jemaah haji dari berbagai negara lainnya. Sudah sejak era kolonial, jumlah jemaah haji Indonesia selalu bertambah setiap tahunnya. Bahkan mungkin sulit dibendung hingga kenyataannya, banyak jemaah yang harus rela antre bertahun-tahun menunggu jadwal keberangkatannya sesuai dengan yang diatur pemerintah.
Kondisi ini paling tidak menunjukkan, jumlah umat Muslim di Indonesia malah semakin meningkat, bahkan menjadi negara mayoritas Muslim terbesar di dunia. Padahal, isu-isu mengenai umat Muslim yang belakangan menghangat karena gempuran hoaks politik, ternyata dapat terbantahkan melalui realitas jemaah haji di negeri ini yang senantiasa meningkat tajam, bukan malah berkurang.
Menariknya, berhaji bagi masyarakat Muslim Indonesia, selain merupakan kebanggaan tersendiri, juga terselip kesederhanaan di mana seolah-olah haji bagi mereka semata-mata karena rahmat Allah, bukan karena upaya mereka sendiri. Kesederhanaan ini jelas tergambar dari kebahagiaan mereka yang sukses mendapatkan panggilan Ilahi berkunjung ke rumah-Nya di Tanah Suci.
ADVERTISEMENT
Mungkin tak berlebihan, jika dikatakan bahwa realitas historis bangsa ini memiliki kedekatan erat dengan entitas Makkah dan Madinah di Arab Saudi. Sudah sejak zaman pra-modern, para ulama Nusantara adalah mereka yang memiliki reputasi luar biasa dan diakui intelektualitasnya sebagai bagian dari ulama Hijaz yang sangat di hormati.
Syekh Nawawi Banten, Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, atau Abdussamad al-Palimbani, merupakan sederet nama yang memiliki reputasi keulamaan internasional yang diakui di Hijaz—sebutan Arab Saudi sebelum dikuasai Bani Sa’ud. Para ulama tersebut sukses membangun tradisi intelektual melalui ikatan-ikatan jemaah haji dan berhasil menanamkan kesadaran etik untuk melepaskan diri dari jeratan kolonialisme.
Itulah sebabnya, haji merupakan bagian dari rangkaian historisitas yang tak pernah terputus, di mana Indonesia dan Arab Saudi memiliki kedekatan secara “kultural”, emosional, sekaligus politik. Hampir dipastikan, setiap jemaah haji yang pernah berkunjung ke Makkah atau Madinah, ada keinginan yang sangat kuat untuk kembali lagi berkunjung, entah melalui haji atau umrah, semata-mata karena adanya kedekatan tersebut.
Mungkin terlampau terburu-buru jika ada sebagian pihak yang menyatakan, haji cukup satu kali, sebab yang terbaik adalah “haji sosial” dalam pengertian memetik pelajaran-pelajaran Ketuhanan selama berhaji lalu diaktualisasikan dalam kehidupan sosial. Sedekah, berbuat kebajikan, melaksanakan ajaran-ajaran moral yang kesemuanya berdimensi sosial, dianggap lebih penting daripada harus berhaji selama berkali-kali.
ADVERTISEMENT
Menariknya, haji terkadang dikaitkan dengan politik, di mana ada sebagian orang yang berhaji demi tujuan-tujuan politik tertentu. Tidak hanya itu, politik yang erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah, selalu menjadi hantaman kritik beberapa kelompok yang memang sedang tidak sepakat dengan kebijakan-kebijakan pemerintah.
Jika dulu haji pernah dilarang di era kolonial, karena kekhawatiran pemerintah Hindia-Belanda kepada orang-orang yang fanatik setelah pulang dari Tanah Suci dan mudah melakukan dihasut untuk melakukan serangkaian pemberontakan terhadap pemerintah, maka di abad modern ini, tidak demikian.
Politik dikaitkan dengan ungkapan kritik atas pelayanan pemerintah, lalu membuat berita-berita negatif yang menyudutkan, bahkan terkadang ada pula yang mempertanyakan biaya ibadah haji yang dianggap mahal dan naik dari tahun ke tahun.
ADVERTISEMENT
Sebagai umat Muslim, saya tentu saja selalu memberikan apresiasi kepada pemerintah terhadap seluruh kinerja mereka yang saya rasa semakin baik dari tahun ke tahun. Saya rasa, tahun 2019 ini kualitas pelayanan ibadah haji tentu semakin meningkat lebih baik, karena jemaah haji Indonesia telah sangat dimanjakan tidak hanya soal kebutuhan makan selama di Tanah Suci, namun juga fasilitas penginapan di Madinah yang telah disewa oleh pemerintah permusim, seperti di Mekah.
Tahun lalu, banyak terjadi kekisruhan di Madinah, sebab hotel yang disewa pemerintah masih ditempati jamaah lain, sehingga banyak jemaah yang harus menunggu di lobi sampai menunggu jemaah lainnya keluar dari hotel. Dengan asumsi sewa permusim, maka hotel-hotel di Madinah sudah disewa pihak pemerintah Indonesia, sehingga tidak bisa ditempati jemaah lainnya kecuali yang berhak menempatinya.
Saya ucapkan, selamat jalan jemaah haji Indonesia, salam dari kami bangsa yang selalu merindukan kedamaian di negeri mayoritas Muslim ini. Salam kami untuk Rasulullah, sosok teladan yang tak ada tandingannya bagi seluruh manusia. Doakan kami yang ada di sini semoga negeri Indonesia tetap aman, damai, sejahtera, dan bersatu dalam irama kulturalnya.
ADVERTISEMENT
Saya tentu saja merindukan saat-saat paling sakral ketika mengelilingi Ka’bah, lalu mencium Batu Hitam (Hajar al-Aswad) yang berada tepat di samping pintu Ka’bah. Rindu ini juga sulit terbendung ketika melihat ruang sakral Hijir Ismail yang dipenuhi sesak jamaah lalu, kami berada di antara mereka bermunajat dan salat dua raka’at.
Melihat gambaran itu semua, tak terasa asa ini meledak, tak sanggup membendung mata ini yang berkaca-kaca, kabur melihat penuh sesaknya Ka’bah yang dikelilingi jutaan manusia.
Semoga menjadi haji mabrur, karena itulah sesungguhnya titik balik yang paling utama dalam seluruh rangkaian jemaah haji. Mabrur bukanlah kebanggaan pribadi karena sepulang dari sana digelari “pak Haji” atau “bu Haji”. Mabrur, bukan juga berganti dimensi dari pakaian batik dan sarung serta peci lalu berganti menjadi gamis dan topi haji. Mabrur adalah diterimanya seluruh ibadah yang ditunjukkan oleh sikap dan akhlak mulia, menjadi manusia yang benar-benar memanusiakan yang lainnya.
ADVERTISEMENT
Mabrur, berarti kita hidup lebih sederhana, seperti ketika kita berpakaian ihram yang hanya dilapisi dua helai kain putih yang tak membedakan siapapun. Mabrur, tentu saja soal kita yang harus lebih banyak memberi daripada menuntut untuk banyak diterima. Selamat jalan, doakan kami semoga kami dapat mengunjungi Ka’bah kembali.