Konten dari Pengguna

Politik Kasihan di Pilpres 2019

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
16 November 2018 11:31 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jokowi dan Prabowo  di pengundian dan penetapan nomor urut pasangan calon presiden dan wakil presiden pemilihan umum tahun 2019 di KPU. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi dan Prabowo di pengundian dan penetapan nomor urut pasangan calon presiden dan wakil presiden pemilihan umum tahun 2019 di KPU. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
ADVERTISEMENT
Narasi-narasi di era “copras-capres” ini semakin membingungkan bahkan menggelikan. Tidak hanya mengangkat isu-isu yang tak penting, seperti menyoal tempe atau pete yang tak ada kaitannya dengan program-program kerja kepolitikan, bahasa-bahasa agama-pun tak luput dari distorsi yang semakin mengaburkan.
ADVERTISEMENT
Lebih membingungkan lagi, ketika realitas politik diukur dari soal rasa iba atau kasihan yang diderita para kontestannya, hampir tak ada kritik dalam hal visi dan misi, karena mungkin saja itu tak masuk wilayah kampanye politik. Mengukur seorang kandidat hanya sebatas kasihan, ini menunjukkan politik tak lebih dari sekadar ungkapan rasa, selera, atau keyakinan, jauh dari nilai-nilai rasional yang dapat diterima akal.
Politik rasa sepertinya memang menjadi drama paling menarik di ajang kontestasi kali ini. Hal ini dibuktikan oleh maraknya berbagai narasi yang lebih “menyentuh” dimensi rasa, bukan akal sehat. Dapat dibayangkan, ketika narasi soal tempe setipis ATM terasa sangat menyentuh dan menyedihkan hingga menggugah rasa setiap orang, betapa kasihan tukang tempe yang rela menyulap tempenya karena minim biaya produksi.
ADVERTISEMENT
Lalu, narasi ini terbantahkan oleh adanya fakta lain yang menyebutkan ternyata tempe itu tak setipis yang dibayangkan. Tempe ternyata mampu menjadi komoditas politik yang menggugah rasa, seraya menghilangkan fakta yang didukung kekuatan akal sehat.
Rasa iba yang ditunjukkan masing-masing kubu, jelas tampak pada entitas narasinya di musim kampanye. Menyebut laku para politisi yang ‘asal-asalan’ dengan diksi “sontoloyo” atau “genderuwo” menyimpan konotasi iba dan kasihan, karena mereka justru keluar dari dimensi kemanusiaannya, lalu berlaku lampah seperti setan gentayangan.
Bukan apa-apa, munculnya narasi dimensi gaib ini justru terpicu oleh sebuah ilusi politik yang menyebutkan betapa kasihannya rakyat Indonesia yang hanya hidup pas-pasan sebanyak 99 persen. Politik kasihan terus-menerus menjadi isu komoditas yang diangkat selama kampanye politik, sampai pada penghujungnya, masing-masing kandidat merasa kasihan antara satu dan lainnya.
Ilustrasi Politikus Genderuwo (Foto: kumparan/Nunki Pangaribuan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Politikus Genderuwo (Foto: kumparan/Nunki Pangaribuan)
Pernah ketika seorang kandidat melakukan ziarah ke makam salah satu ulama besar, lalu tanpa sadar melangkahinya tepat di sela-sela dirinya menabur bunga sebagai tanda penghormatan. Dari sisi kacamata politik, ziarah kubur merupakan kampanye yang tak terkait dengan soal bagaimana ia harus bersikap hormat terhadap pusara yang di situ dikuburkan salah satu tokoh bangsa.
ADVERTISEMENT
Namun di sisi tradisi dan agama, penghormatan terhadap seseorang yang telah wafat sama perlakuannya seperti halnya manusia yang masih hidup. Lalu, muncul narasi kasihan karena politisi itu tidak tahu bahwa dirinya telah melanggar tradisi dan disisi lain, rasa iba ini ditunjukkan melalui pernyataan maaf atas tindakannya yang melanggar adat.
Mungkin kita dapat membayangkan, betapa rasionalitas politik itu tergadaikan oleh frasa kasihan yang lebih cenderung meningkatkan gairah rasa dan keyakinan sehingga wajar jika kemudian soal visi-misi masing-masing kandidat terabaikan.
Mungkin tak hanya belakangan ini saja soal rasa kasihan ini menjadi narasi baru dalam dunia politik, karena sebelumnya ketika seorang kandidat cawapres yang nyalon di usia lanjut, banyak yang merasa iba dan kasihan mengingat usia lanjut bagi seseorang jelas sangat mengganggu produktivitas dirinya di ranah politik yang banyak mengurusi berbagai macam hal. Politik kasihan ini justru dipergunakan menjadi komoditas politik di masa-masa kampanye yang semestinya lebih menyuarakan visi dan misi secara rasional.
ADVERTISEMENT
Politik rasa, dengan dibungkus diksi “kasihan”, seakan mencapai puncaknya hari ini setelah pernyataan seorang pimpinan parpol besar yang merasa iba dan kasihan kepada salah satu kandidat, karena terus dirongrong orang-orang di sekitarnya. Bak gayung bersambut, para pendukung kandidat yang dimaksud juga menarasikan hal yang sama, bahwa yang mengeluarkan pernyataan seharusnya lebih dikasihani karena hanya menempatkan kandidatnya sekadar petugas partai yang tak memiliki kekuatan politik apa-apa.
Lalu, ketika masing-masing pendukung menarasikan hal yang sama, justru lebih kasihan lagi rakyat yang terus disuguhkan narasi politik yang kontraproduktif, terus menerus “diakali” dengan memprovokasi rasa bukan rasio politiknya.
Relasi-relasi politik semakin tidak rasional jika masa kampanye ini terus diisi oleh sekadar menggugah semangat rasa, memberikan dukungan kepada masing-masing kandidat hanya karena rasa kasihan jika tak dipilih. Dukungan atau penolakan atas seorang kandidat tak lagi diukur dengan data dan fakta secara rasional, namun lebih kepada soal “rasa-rasanya” yang hidup tertanam dalam entitas keyakinan lalu kemudian dikaitkan dengan persoalan keagamaan.
ADVERTISEMENT
Saya kira, hal ini juga dapat dibuktikan oleh adanya gelora politik yang lebih didasarkan rasa dan bukan rasio ketika dihadapkan pada realitas politik untuk dalam konteks pilihan kandidat.
Saya kira, politik kasihan ini semakin menggema di Pilpres 2019, sejak dari soal tempe, pete, kuliner yang murah, hingga menyoal tradisi ziarah kuburan. Kampanye politik pada akhirnya tak lagi menarik, jika masing-masing kandidat dan pendukungnya senantiasa menggusur dimensi rasio dan meleburkannya dalam dimensi rasa.
Ukuran-ukuran politik yang semestinya termanifestasikan dalam visi-misi dan program kerja dan adu ide secara kompetitif semakin tak memiliki makna. Kalaupun terkadang muncul ide-ide kreatif menyinggung soal rasionalitas politik, itu hanya sepintas lalu saja, karena rasa ternyata lebih penting dalam meraup elektabilitas dibanding rasionalitas politik yang menyehatkan konektivitas.
ADVERTISEMENT
Politik kasihan pada akhirnya tak hanya menutup celah-celah demokratisasi yang rasional, ia bahkan mengaburkan dan menguburkannya dalam-dalam.