Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.3
19 Ramadhan 1446 HRabu, 19 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Puasa dan Literasi Keagamaan
19 Maret 2025 10:39 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sebuah tesis penting diungkapkan oleh Dr. Stephen Prothero yang menyebut bahwa banyak pemeluk agama di dunia yang tidak tahu dasar-dasar tentang agama mereka (religious illiteracy). Termasuk Indonesia, yang dikenal sebagai masyarakat relijius, juga banyak yang tidak memahami dasar-dasar agama mereka dan para pemeluknya.
ADVERTISEMENT
Inilah barangkali yang juga membuat seorang profesor dalam bidang agama-agama di Universitas California, Muhamad Ali, merasakan kegelisahan intelektual dan menuangkannya dalam sebuah buku berjudul "Non Muslim Bisa Masuk Surga", tema yang cukup seksi untuk diangkat di tengah kondisi keberagamaan dunia sedang tidak baik-baik saja.
Saya tentu tidak akan mengulas mengenai buku tersebut, tetapi bahwa kita sudah semestinya disadarkan akan suatu kepentingan kemanusiaan yang lebih besar, dibandingkan sekadar bersikap fanatik yang tanpa dasar tentang sikap keagamaan yang seringkali melabrak fondasi-fondasi penting humanisme.
Sebagai komunitas relijius, masyarakat Indonesia sudah tidak asing dengan kepercayaan dan keyakinan agama yang sudah dianut sejak era peradaban laut Nusantara yang sedang dilanda kejayaannya.
Dasar-dasar pengetahuan keagamaan (religious literacy) mereka dibentuk oleh rasa solidaritas dan kesadaran humanistik yang sangat baik, dimana peran-peran keberagamaan yang primordial seringkali digantikan oleh rasa empati dan kesadaran sosial yang lebih universal.
ADVERTISEMENT
Dulu, mereka berdagang dengan semua lapisan masyarakat, tak peduli latar belakang sosial-keagamaan mereka. Yang penting, semua berjalan dengan normal dan setiap kepentingan masing-masing diantara mereka dapat terwakili. Transaksi orang-orang Nusantara dahulu, telah terbiasa berbaur dengan para pedagang Eropa, Arab, Persia, atau Cina, dengan tentu saja memiliki tradisi dan budaya yang berbeda-beda.
Saat ini, penting sekali untuk mendorong literasi keagamaan kepada semua pihak agar masing-masing memiliki informasi yang cukup mengenai dasar-dasar keagamaan sehingga tidak mudah untuk merasa benar sendiri dan menghukumi salah kepada pihak lain.
Banyak sekali anggapan-anggapan yang keliru dari umat beragama ketika "menilai" umat agama lainnya karena minimnya dasar-dasar pengetahuan keagamaan mereka. Sebagai contoh, "Islam adalah agamanya orang Arab" atau "Kristen adalah agamanya orang Barat".
ADVERTISEMENT
Saya kira memahami dasar pengetahuan agama seperti ini tidak saja membentuk sikap keberagamaan yang fanatik, tetapi lebih jauh akan mewarisi kekeliruan dalam dasar-dasar pengetahuan agama kepada generasi berikutnya. Saya kira, literasi keagamaan harus terus diupayakan, terutama menjadi ranah para pemuka agama dan juga ormas-ormas keagamaan, terutama yang ada di Indonesia.
Puasa di bulan Ramadhan, dapat menjadi momen terbaik dalam mempromosikan literasi keagamaan, melalui penguatan empati sosial yang memang mudah terbentuk di bulan ini. Masyarakat muslim yang melaksanakan puasa, sudah terbiasa dengan rasa empati dan kepekaan sosial yang tidak lagi memandang dengan ukuran-ukuran keyakinan agama, tetapi lebih mengedepankan kesadaran sosial yang lebih luas.
Saya kira, literasi keagamaan juga dapat menjadi tema penting yang diangkat pemerintah--khususnya Kementrian Agama--untuk mendorong pentingnya literasi keagamaan kepada seluruh umat beragama. Dasar-dasar pengetahuan ini sangat penting, terlebih bahwa masyarakat Indonesia merupakan model masyarakat yang multikultur, multietnis, dan bahkan multiagama.
ADVERTISEMENT
Paling tidak, pemahaman yang cukup terhadap agama-agama dunia dapat memberikan kesadaran relijius yang tidak menilai gegabah terhadap keyakinan yang berbeda di luar dirinya, sehingga klaim kebenaran primordial dapat lebih diminimalisir.