Rakyat Kecil dan Obesitas Politik

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
14 Januari 2019 11:20 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi penduduk miskin. (Foto: dinsos.bantenprov.go.id)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi penduduk miskin. (Foto: dinsos.bantenprov.go.id)
ADVERTISEMENT
Mungkin yang paling apatis terhadap kenyataan copras-capres dan cenderung memikirkan kenyataan hidup yang semakin pahit hanyalah rakyat kecil. Sering kali kita dapati masyarakat di kampung yang kurang peduli terhadap kepolitikan, tapi lebih peduli bagaimana kehidupan diri dan keluarganya meningkat lebih layak.
ADVERTISEMENT
Kalau pun harus ikut berpolitik, mereka hanya ikut-ikutan mencoblos di pesta demokrasi lima tahunan, sekadar menunjukkan bahwa mereka merupakan warga negara yang taat kepada pemerintahan.
Bagi mereka, siapapun yang jadi presiden, hidup mereka tetap termarjinalisasi dari berbagai kenyataan sosial-politik yang tentu saja hanya milik para elite di perkotaan, yang hanya mampu memanfaatkan suara mereka melalui lembar demi lembar uang recehan agar mereka mau ikut berpartisipasi dalam konteks politik.
Sebut saja Teguh, seorang pedagang lontong dan combro bersepeda yang sesekali mangkal di depan Kampus UIN Ciputat. Ia telah merasa cukup bahagia ketika dagangannya ludes sebelum jam 9 pagi, tetapi tak jarang juga hingga menjelang zuhur combronya masih tersisa dan terpaksa ia bawa pulang.
ADVERTISEMENT
Pak Teguh, begitu saya menyapa, dulu pernah menjadi pekerja lepas kebersihan di kampus, tetapi saat ini ia telah pensiun dan digantikan oleh seseorang yang lebih muda umurnya. Teguh tak paham politik, tak peduli siapapun yang jadi presiden nanti, karena dirinya tetaplah menjadi penjual lontong dan combro, bahkan telah dijalaninya berpuluh tahun sejak saya masih menjadi mahasiswa di kampus tersebut.
Banyak sekali sosok Teguh yang lain, yang pada kenyataannya terus berjuang bertahan hidup di tengah sesaknya 'asap knalpot' politik dan konflik antarkubu yang semakin meminggirkan rakyat kecil dari relasi-relasi sosial politik. Muznah, seorang perempuan paruh baya pengais sampah kantor, juga mengalami nasib yang kurang lebih sama.
Sejak puluhan tahun yang lalu, profesi Muznah tetap tak berubah, tetap sebagai pengais sampah saban pagi dan ditemani satu ekor anjing setianya. Lebih dari 10 tahun saya bekerja di sini, hampir setiap pagi melihat Muznah memberi makan anjingnya dari hasil kreativitas dirinya mengolah sampah kantoran.
ADVERTISEMENT
Muznah berbagi rezeki dengan binatang kesayangannya, sekalipun makanan yang ia peroleh sebatas sampah yang justru dibuang oleh mereka yang kelebihan makanan.
Saya meyakini, rakyat kecil itu hanya menjadi korban 'obesitas' politik yang mengharu-biru di tengah perebutan kekuasaan para elite, sekadar memuaskan nafsu politik mereka sendiri. Obesitas politik tak ubahnya kasus Tati Wati yang setelah bertahun-tahun menimbun lemak lalu banyak pihak yang kemudian tersadar untuk bertindak.
Obesitas bukan akibat proses yang relatif singkat, tetapi butuh waktu bertahun-tahun sehingga berdampak pada tubuh seseorang. Obesitas politik pun pada akhirnya semakin dirasakan bertahun-tahun, terus menerus menimbun lemak kekuasaan yang hanya diperebutkan oleh mereka yang secara sosial beruntung menjadi bagian kalangan elitis.
ADVERTISEMENT
Rakyat kecil selama ini hanya kebagian 'menggotong' para elite, lalu mendudukannya pada kursi-kursi empuk yang penuh hormat, setelah itu mereka tetaplah kembali menjadi rakyat kecil yang termarginalisasi dan tanpa perubahan.
Politik terlampau obesitas, membuat sistem-sistem yang ada lebih membela kaum elitis dan memanjakan para pemodal beromzet besar. Tukang cukur tetaplah menjadi tukang cukur, tak pernah beralih sukses menjadi salon yang lebih bonafide dan elitis.
Tukang sapu seumur-umur tetap menjadi tukang sapu, tak pernah naik jabatan menjadi guru atau sekadar manajer bagi tukang sapu lainnya. Jika pun muncul protes dari kalangan rakyat kecil soal sistem yang kurang memihak, kemudian direkrutlah orang-orang yang vokal atau pemimpin-pemimpin demonstrasi yang dimediasi lalu melakukan bargaining soal privilege yang semestinya mereka terima.
ADVERTISEMENT
Di tengah obesitas politik, lalu bermunculan para elite yang menjadi corong kekuasaan atau kelompok kepentingan sekadar mengumbar retorika kepedulian mereka kepada rakyat kecil. Mereka lalu ditampilkan ke depan layar kaca, dipoles sedemikian rupa seolah menjadi perwakilan dari sekian juta orang-orang 'pinggiran' yang terselamatkan oleh sisitem.
Rakyat kecil yang 'dipermak' ini lalu bergembira dengan janji nyata para politisi yang mendramatisasi kehidupan mereka. Padahal, kenyataan obesitas politik hanya menjadi bancakan para elite yang kenyang akan manipulasi mereka yang dalam realitasnya tetap tak berubah, selamanya rakyat kecil yang tak berubah menjadi 'rakyat besar' yang ikut merasakan kenikmatan perubahan.
Potret Kemiskinan di Indonesia (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Potret Kemiskinan di Indonesia (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Bagi saya, rakyat kecil bukan hanya mereka yang teralienasi dari berbagai kondisi sosial-politik dan tinggal di wilayah-wilayah rural perkampungan, namun rakyat kecil adalah mereka yang hidup di tengah hiruk pikuk kepolitikan di perkotaan, namun tetap hidup miskin dan bertahan hidup ala kadarnya.
ADVERTISEMENT
Pak Teguh dan Ibu Muznah barangkali dua contoh kehidupan miskin di tengah perkotaan yang senantiasa dipenuhi retorika soal kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, namun hanya berlaku dalam konteks politik yang cenderung obesitas. Seolah muncul suatu adagium:
“Anda tak akan berubah jika tak ikut ‘berpolitik’, karena peningkatan taraf hidup merupakan hasil jerih payah berpolitik bukan atas kejujuran, kesabaran, atau menerima apa adanya anugerah Tuhan”.
Obesitas politik seolah tak terbendung, karena hampir semua perubahan harus dilalui melalui apa itu berpolitik. Seorang pegawai kecil harus 'berpolitik' jika ingin naik jabatan dalam struktur pemerintahan, seorang pedagang kecil-kecilan harus cakap juga melakukan 'politisasi' agar dagangannya laku dan memperbesar jumlah pelanggan dari waktu ke waktu.
ADVERTISEMENT
Tak mungkin rasanya sosok seperti Teguh dan Muznah kemudian berpolitik, lalu kenyataan hidupnya meningkat lebih baik dari sebelumnya dan menikmati obesitas politik seperti yang mereka bayangkan dirasakan dalam setiap inci kehidupan para elite.
Bagi Teguh, berjualan lontong dan combro merupakan bagian dari ibadah dirinya, sekalipun tampak di luaran seperti rakyat kecil, tetapi dalam hatinya ia bergembira karena semata-mata itulah sesungguhnya nilai hidup sebagaimana yang dipahaminya.
Politik sering kali memarginalisasi kenyataan rakyat kecil, bahkan kerap dimanfaatkan menjadi alat yang dipolitisasi sebagai corong yang mengangkat kehidupan mereka. Padahal, di tengah kehidupan bebas bahkan obesitas kepolitikan—sebagaimana ditunjukkan oleh jumlah parpol yang sedemikian banyak—tampaknya tak berpengaruh dalam sedikit pun kehidupan rakyat kecil.
ADVERTISEMENT
Mereka pada kenyataannya tetap terkucil, berjuang dengan kemampuan mereka sendiri, sebisa mereka, dengan tekun dan jujur, sekali pun memang ada yang berubah lebih baik, tapi tentu saja itu terkait dengan mereka yang 'berpolitik', itupun tidak banyak.
Pada akhirnya, saya sendiri menyadari, betapa hidup ini memang harus berjuang dengan 'politik' jika memang nilai-nilai materi yang kita kejar. Obesitas politik semakin sulit dibendung dan pada akhirnya, mereka yang cenderung apatis terhadap politik tetap termarginalisasi sebagai rakyat kecil, seperti saya.
Salam golput dari rakyat kecil!