Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Tersesat ke Jalan Yang Benar
28 Januari 2019 21:59 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:05 WIB
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mungkin judul diatas serasa menggelitik, karena sesungguhnya tidak ada yang tersesat ke jalan yang benar sebab yang ada mungkin tersesat di jalan yang salah. Kesesatan memang seolah menjadi “klaim” manusia lalu menganggap bahwa “yang benar” adalah mutlak hanya milik dirinya, kelompoknya, atau cara berpikirnya. Hal ini saya rasa sangat nampak, ketika masih ada saja sebagian orang yang menganggap “sesat” pihak lain, padahal apa yang dituduhkan sesat itu tentu saja belum tentu benar. Pihak yang merasa tertuduh pun seolah biasa saja, tak memberikan reaksi secara berlebihan, karena mungkin saja mereka tahu bahwa jikapun mereka dianggap “tersesat” maka tersesat di jalan yang benar dan semestinya, bukan jalan salah sebagaimana yang dituduhkan.
ADVERTISEMENT
Jika merujuk pada sejarah panjang kehidupan manusia, sesungguhnya terminologi “sesat” (dlaall) itu mungkin hampir tidak ada, karena kesesatan tentu akibat dari cara berpikir atau prilakunya sendiri yang tak mau menerima “kebenaran” atau “petunjuk” (hidayah). Padahal, telah diutus oleh Tuhan seorang nabi ataupun rasul kepada setiap umat manusia yang bertugas memberikan petunjuk akan sebuah kebenaran dan dalam hal tertentu, para rasul bahkan dilegitimasi oleh keberadaan kitab suci, petunjuk paling absah bagi seluruh kehidupan manusia. Oleh karenanya, setiap orang dibekali akal yang berfungsi membimbing setiap prilakunya agar selalu cenderung kepada kebaikan dan kebenaran, bukan pada kesalahan atau kesesatan.
Pernah suatu kali saya dianggap “sesat”, karena mengikuti tradisi tertentu yang dalam pandangan mereka yang merasa “benar”, kegiatan yang saya lakukan itu adalah bid’ah dan membuat kerusakan. Padahal, soal siapa yang sesat dan siapa yang diberi hidayah tentu saja adalah hak Allah, bukan wilayah manusia dalam hal penilaiannya. Itulah sebabnya, Nabi Muhammad secara tegas menyatakan, “idzaa qaala ar-rajuulu halaka an-naas, fahuwa ahlakuhum” (jika ada seseorang yang menyatakan, anda sesat/rusak maka dialah sebenarnya yang lebih sesat dan merusak). Qadli Iyadl dalam “Masyaariq al-Anwar” menyatakan, bahwa kata “halaka” berkonotasi “merendahkan” (ihtiqarr) sekaligus “mengkerdilkan” (tashgir). Maka siapapun yang merendahkan dan mengecilkan pihak lain, maka sama halnya dengan menunjukkan kesombongan dan sedang menciptakan neraka bagi dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
***
Tuhan tentu saja selalu mengutus pada setiap umat manusia seorang utusan (nabi dan rasul) sebagai bentuk tanggungjawab-Nya sebagai Pencipta Tertinggi alam raya. Para nabi ataupun rasul adalah manusia pilihan Tuhan yang ditunjuk sesuai kehendak-Nya menyampaikan ajaran-ajaran kebajikan dan kebenaran, menunjukkan jalan-Nya dan memberi peringatan agar manusia tak tersesat dari jalan-Nya. Tugas para nabi dan rasul adalah pemberi kabar gembira sekaligus pemberi peringatan kepada manusia yang terangkum dalam risalahnya. Para nabi bukanlah “pemberi” hidayah, tetapi mereka dalah orang-orang yang “diberi” Allah hidayah (yahdii walaa yahdii) lalu menyampaikan segala kebenaran kepada umat manusia.
Hidayah tentu saja hak Allah untuk diberikan kepada siapapun yang dikehendaki-Nya sehingga seseorang kemudian “menyesuaikan” (taufiiq) dengan apa yang menjadi kehendak Allah pada akhirnya. Abdurrahman bin Auf pernah suatu hari menanyakan kepada Aisyah, soal apa saja yang dilakukan Nabi ketika hendak salat malam. Lalu, Aisyah menjawab, bahwa Nabi jika akan mengawali salat malamnya beliau selalu saja membaca:
ADVERTISEMENT
اللهم رب جبريل وميكائيل وإسرافيل فاطر السماوات والأرض عالم الغيب والشهادة أنت تحكم بين عبادك فيما كانوا فيه يختلفون أهدني لما اختلف فيه من الحق بإذنك إنك تهدي من تشاء إلى صراطٍ مستقيم
“Duhai Tuhan Penguasa Jibril, Mikail, dan Israfil, Pencipta langit dan bumi, Mengetahui segala yang tersembunyi dan yang tampak, Engkaulah pemutus perkara diantara hamba-hamba-Mu atas setiap perbedaan diantara mereka, tunjukilah aku kebenaran dari segala hal yang bertentangan atas izin-Mu. Sungguh Engkaulah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus”.
Nabi Muhammad sendiri sangat tidak berani menentukan sebuah kebenaran berdasarkan pengalamannya, karena dirinya selalu berharap bahwa Allah-lah yang membuka tabir kebenaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan memang telah diizinkan-Nya. Sangat penting kiranya, kenapa kemudian setiap umat muslim diwajibkan secara berulang-ulang membaca surat al-Fatihah di setiap raka’at salatnya, karena didalamnya ada ayat, “Ihdina as-shirathal mustaqiim” (tunjukilah kami ke jalan yang lurus). Manusia hanya dituntut untuk berdoa agar segala apa yang diperbuatnya “sesuai” dengan apa yang diinginkan Tuhan, bukan sebaliknya, apa yang kita lakukan seolah-olah telah sesuai dengan kehendak Tuhan.
ADVERTISEMENT
***
Lalu, bagaimana sesungguhnya hidayah itu? Bilakah kita mencari dan menemukannya? Kenapa juga harus ada orang-orang yang hidup di jalan yang sesat? Tuhan tentu saja Maha Berkehendak dan seluruh sisi kehidupan manusia sesungguhnya telah tertulis secara terperinci di Lauh Mahfudz, dia diberi hidayahkah, disesatkan dari jalan-Nya, dan sebagainya. Setiap orang yang mendapat hidayah, tentu berlaku untuk dirinya sendiri dan siapapun yang kemudian “tersesat” dari jalan kebenaran, sudah pasti itu merupakan akibat dari ulahnya sendiri yang tak mau melihat petunjuk kebenaran.
“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk manusia dengan membawa kebenaran; siapa yang mendapat petunjuk maka (petunjuk itu) untuk dirinya sendiri, dan siapa yang sesat maka sesungguhnya dia semata-mata sesat buat (kerugian) dirinya sendiri, dan kamu sekali-kali bukanlah orang yang bertanggung jawab terhadap mereka”. (QS. Az-Zumar: 41)
ADVERTISEMENT
Kita yang telah diberi hidayah—jika memang benar Allah telah memberikannya—tentu tak memikul tanggung jawab atas kesesatan orang lain atau pihak lain, karena tugas manusia yang memperoleh hidayah adalah semata-mata untuk dirinya sendiri. Keberadaan manusia di muka bumi ini tentu saja untuk saling mengenal, saling bekerjasama, saling menasehati, bukan saling klaim atas kebenaran atau saling tuduh atas kesesatan. Justru ketika banyak orang yang masih memaksakan kepada pihak lain untuk mengakui “kebenaran” versi mereka, tak ubahnya mereka yang masih jauh dari hidayah-Nya, bahkan untuk mencapai “taufiq” Nya saja rasa-rasanya belum mampu.
Ternyata, orang-orang yang diberi petunjuk adalah mereka yang selalu sabar menghadapi segala apapun yang menimpa diri mereka, baik maupun buruk. Orang-orang yang diberi Allah hidayah adalah mereka yang sadar mengembalikan seluruh persoalan hanya kepada Allah, bukan wilayah manusia untuk memutuskan perkaranya. Karena, sesungguhnya kita semua milik Allah dan pasti akan kembali kepada-Nya. “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
ADVERTISEMENT