Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Wabah dan Agama: Perspektif Ulama dan Umaro dalam Masyarakat Muslim
7 Mei 2020 12:48 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perihal ancaman penyakit menular yang diakibatkan COVID-19 atau virus Corona selalu menjadi tren perbincangan masyarakat dunia. Tidak saja soal bagaimana protokol kesehatan yang harus dijalani untuk mencegah masifnya pandemik ini, namun persoalan-persoalan lain sepertinya terus mengintai terutama apa yang akan terjadi pasca-pandemik nanti.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, bulan Ramadhan yang kebetulan harus dilalui bersamaan dengan masa pandemik, membuat umat Muslim di seluruh dunia harus membatasi diri atau bahkan meniadakan segala kegiatan sosial-keagamaan atau ibadah komunal yang terkonsentrasi di majelis-majelis atau masjid-masjid.
Banyak persoalan muncul kemudian—terutama terkait dengan bagaimana perspektif medis dihadapkan dengan kenyataan sosial-keagamaan—dalam menghadapi wabah yang mungkin saja tampak saling kontradiktif. Pandangan medis tentu saja umumnya mendahului berdasarkan pertimbangan rasional dan kesehatan, sedangkan respons agama umumnya disibukkan oleh penafsiran teks agama, baik yang berasal dari Kitab Suci atau teks otoritatif lainnya.
Dalam sejarah Islam, perbedaan sikap dalam menghadapi situasi wabah dapat ditemukan dalam berbagai literatur hadis, terutama cerita tentang Umar bin Khatab yang urung berkunjung karena wilayah yang akan didatangi sedang dilanda wabah. Imam al-Ghazali dalam “Ihya Ulumuddin” menuliskan sejarah ini, di mana ia menyebutkan bahwa Umar setelah sampai di al-Jabiyyah—sebuah wilayah dekat Damaskus—ketika hendak menuju Syam mendapat kabar bahwa Syam sedang dilanda wabah penyakit mematikan.
ADVERTISEMENT
Kabar ini telah memunculkan dua kelompok yang saling berbeda pendapat: mereka yang berkeyakinan harus menghindar dari kebinasaan sehingga harus kembali dan yang lain tetap keukeuh melanjutkan perjalanan dengan lagi-lagi meyakini bahwa takdir Tuhan tidak boleh dihindari, kecuali dengan kesabaran dan tawakal. Lalu, bagaimana dengan Umar? Tampak di sini sang Khalifah lebih moderat: tidak meneruskan perjalanan dengan alasan dirinya menghindar dari suatu takdir untuk menuju ke takdir Tuhan lainnya yang lebih baik.
Cerita ini paling tidak, telah memberi gambaran yang cukup relevan dalam melihat dua perbedaan pendapat di antara masyarakat Muslim, terutama dalam menyikapi kondisi wabah COVID-19 yang saat ini tengah melanda dunia. Perbedaan pendapat di kalangan masyarakat muslim tetap mewarnai perjalanan panjang pandemik ini yang hampir sulit ditemukan demarkasinya: sampai sebatas apa disebut wabah ini berakhir?
ADVERTISEMENT
Sementara wilayah yang diduga penyebar wabah pertama kalinya saat ini telah menyatakan diri telah bebas dari pandemik. Melihat pada berbagai literatur yang ditulis para sarjana Muslim—salah satu yang cukup baik ditulis oleh Ibnu Hajar al-Asqallani: “Badzlu al-Ma’un fi Fadhl at-Tha’un”—hampir dipastikan wabah terkait dengan hal-hal yang fisik dan metafisik, sehingga wabah terkait dengan azab Tuhan atas suatu kaum atau penyakit menular tertentu yang secara fisik tampak dan akan dalam waktu tertentu berakhir dengan sendirinya.
Itulah kenapa, bahwa sebuah hadis riwayat Muslim menyebutkan di mana Nabi menyatakan, “Jangan kalian memasuki wilayah yang terkena wabah, tetapi jika kebetulan kalian berada di dalamnya, janganlah kalian lari meninggalkan wilayah tersebut”.
Terkadang, hadis di atas ada saja yang menyimpulkan atau dijadikan argumentasi “pembenaran” atas kondisi “jangan menuju zona merah wabah, tetaplah tinggal di rumah”. Sekilas anggapan ini tampak benar, walaupun pada kenyataannya apa yang dikategorikan sebagai zona merah, hijau, atau kuning tampak absurd dan cenderung dipandang sama oleh banyak pihak. Akibatnya, persoalan muncul di tengah realitas masyarakat Muslim, terutama dalam konteks ritual bersifat komunal yang dilarang atau dibatasi, sekalipun wilayah mereka disebut dalam kategori zona hijau yang relatif bebas wabah COVID-19. Sejauh ini, berbagai kebijakan mengenai kondisi pandemik—dalam batas tertentu—memang kontras terutama jika membandingkan penanganan wabah di negara-negara muslim yang terkait juga dengan kebijakan peribadatan dan pada saat yang sama juga berbeda kondisi penangananya sebagaimana yang dilakukan berbagai negara Barat.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks masyarakat religius seperti Indonesia, kita tentu akan mendapatkan berbagai pertanyaan teologis terkait wabah pandemik ini yang berkisar seperti, apakah wabah ini merupakan kehendak ilahi, sehingga kita dituntut pasrah atau justru bangkit melawannya? Apakah wabah ini erat kaitannya dengan hukuman Tuhan atau sebaliknya ini rahmat-Nya? Apakah wabah ini melibatkan hal yang metafisik ataukah memang akibat virus yang dapat diketahui asal-muasalnya yang terpisah sama sekali dengan urusan gaib?
Dan yang terpenting barang kali, adakah hukum bersama yang dapat dipergunakan untuk penanggulangan wabah, terlepas dari setiap keyakinan individu yang justru berbeda-beda di seluruh negara? Dalam konteks globalisasi, wabah yang pada awalnya endemik lalu menjadi pandemik adalah suatu keniscayaan, namun kenyataannya cara penanganan atas penyebarannya tampak tidak seragam di berbagai wilayah yang terdampak.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini hanya melihat wabah (tha’un) dalam perspektif agama, khususnya Islam, mengingat bahwa terdapat serentetan peristiwa pembatasan ibadah umat muslim, termasuk penutupan masjid dan pelarangan salat Jumat atau peribadatan tertentu yang melibatkan banyak orang. Di berbagai negara mayoritas Muslim, otoritas keagamaan telah mengeluarkan fatwa yang secara tegas “melarang” kegiatan beribadah bersifat komunal, termasuk melakukan “penutupan” terhadap masjid-masjid.
Sebagaimana kita lihat dari fatwa Syekh Abdullah bin Bayyah dari UEA atau Dar al-Ifta Mesir yang telah lebih dahulu memfatwakan untuk menutup sementara masjid dan meniadakan salat Jumat atau ibadah komunal lainnya. Walaupun terdapat juga perspektif berbeda dari ulama lain yang menolak penutupan tempat ibadah dan membatasi ritualitasnya dalam konteks apa pun, sebagaimana yang diajukan oleh Syekh Hakim al-Mathiri yang kemudian diikuti oleh beberapa negara Muslim seperti Suriah dan Kuwait. Perbedaan pendapat seperti ini tentu saja terjadi di Indonesia, namun, fatwa MUI secara resmi merespons perbedaan ini, dengan tidak melarang beribadah secara berjemaah ataupun memfatwakan agar menutup masjid-masjid.
Dalam konteks Ramadhan, fatwa-fatwa keagamaan tentu saja sangat dibutuhkan terkait bagaimana soal peribadatan yang sejauh ini sangat masif terkonsentrasi di beberapa masjid ditambah oleh tradisi komunal yang umum terjadi pada bulan ini, seperti kerumunan orang membeli makanan untuk berbuka terlebih menjelang Lebaran di mana pusat-pusat perbelanjaan dipenuhi pengunjung untuk memenuhi hasrat kaum Muslim menyambut berakhirnya Ramadan. Setidaknya, pemerintah Indonesia telah memberlakukan aturan karantina wilayah merujuk aturan Kementerian Kesehatan yang diikuti kemudian oleh PSBB di semua wilayah di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Namun lagi-lagi, bahwa fatwa keagamaan sebagaimana yang dikeluarkan MUI tampaknya tidak lagi menjadi jaminan pembatasan aktivitas secara sosial-keagamaan bagi masyarakat muslim, sebab yang berlaku pada akhirnya tetap instruksi dari pemerintah dalam hal mengatur atau membatasi aktivitas sosial-keagamaan.
Menarik ketika mencermati Fatwa MUI No. 14 tahun 2020 tentang “Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Wabah COVID-19” yang mengatur dan membatasi ibadah umat Muslim di tengah wabah pandemik. Argumentasi fatwa MUI ini telah memenuhi suatu proses penggalian sumber-sumber hukum Islam yang dapat menjadi suatu landasan hukum, di mana tidak disebutkan adanya penutupan masjid atau larangan salat Jumat atau berjemaah dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi tertentu. Dalam ketentuan hukumnya, terutama dalam diktum nomor 3 poin b menyebutkan, “Dalam hal ia berada dalam satu kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia tetap wajib menjalankan ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar covid-19…”. Diktum ini memuat penjelasan substansi hukum yang difatwakan dari dalil-dalil hukum (adillatu al-ahkam) yang menjadi pertimbangan keagamaan terutama soal ibadah di masa wabah.
ADVERTISEMENT
Bagi umat muslim di Indonesia, sudah seharusnya tidak ada lagi perdebatan soal bagaimana seharusnya beribadah di masa pandemik ini, karena sejatinya dengan mengacu kepada Fatwa MUI, setiap muslim dapat menjadikannya rujukan otoritatif sehingga tidak lagi menjadi kebimbangan, keragu-raguan, atau kecemasan dalam praktik pelaksanaan ibadah. Jikapun terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat, tentu saja adalah hal yang wajar, selama satu sama lain tetap saling menghormati bukan dalam rangka memperebutkan klaim kebenaran pribadi atas pihak lainnya.
Walaupun kenyataannya, banyak cerita yang beredar mengenai betapa ritual ibadah berjemaah justru menjadi hal yang menakutkan. Banyak di antara masjid yang berada dalam wilayah potensi penularannya rendah (zona hijau) melakukan ibadah bersama secara sembunyi-sembunyi dengan mematikan lampu di malam hari atau mematikan pengeras suara di saat berlangsungnya ibadah.
ADVERTISEMENT
Ini merupakan fenomena baru di tengah wabah, yang tidak saja memberikan rasa kekhawatiran bagi mereka yang terbiasa berjemaah, tetapi ketakutan mereka terhadap aparat yang siap membawa mereka berhadapan dengan masalah hukum terkait pelanggaran ibadah di tengah wabah. Hal ini jelas menyulitkan, terutama karena minimnya data akurat yang dipublikasikan pemerintah, bahkan hampir tidak pernah dipetakan secara tepat mana zona merah, kuning, atau hijau dalam suatu wilayah. Kebanyakan yang tampak selalu “pukul rata” terhadap semua wilayah di manapun, terutama setelah aturan PSBB diberlakukan di suatu wilayah tertentu.