Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Jejak Kolonialisme dalam Karya Sastra Indonesia : Pengaruh dan Perlawanan
13 Januari 2025 16:21 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Syahra Citra Dyah Mawarni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kolonialisme merupakan sebuah era dalam sejarah yang telah lama berlalu, namun meninggalkan jejak yang sangat membekas di setiap aspek kehidupan di Indonesia, termasuk sastra. Sebagai media ekspresif yang mencerminkan situasi sosial, politik, dan budaya, karya Sastra Indonesia pada masa kolonial tidak hanya berperan sebagai saksi sejarah, namun juga menyuarakan perlawanan dan platform kritik terhadap kolonialisme. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba menelusuri bagaimana kolonialisme tercermin dalam karya sastra Indonesia dan bagaimana para penulis tersebut menolak kolonialisme melalui tulisan mereka.
ADVERTISEMENT
Pengaruh Kolonialisme dalam Karya Sastra
Hal ini berlangsung selama lebih dari tiga abad, yang telah membentuk dan membentuk kembali seluruh lanskap sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Hal ini tercetak dalam karya itu sendiri dalam tema, bahasa, dan cara pandang dalam menulis. Misalnya, pada masa awal kolonial, karya sastra mempunyai banyak narasi yang benar-benar mendukung tujuan hegemonik penjajah. Seringkali masyarakat menulis karyanya dalam bahasa Melayu rendahan atau bahasa Belanda murni karena cenderung mencerminkan citra rendahan.
Kolonialisme yang semakin berkembang mulai memberikan gambaran tentang struktur sosial baru dalam masyarakat dan sangat mempengaruhi pembentukan karakter dalam cerita. Kolaborasi bangsawan pribumi dengan penjajah, atau rakyat jelata yang terjebak dalam kemiskinan, biasanya muncul dalam karya-karya fiksi. Novel-novel populer seperti Siti Nurbaya karya Marah Rusli tidak secara terang-terangan memberikan kesaksian tentang dosa kolonialisme, namun dalam arti tertentu sangat mencerminkan realitas masyarakat yang bergejolak dengan nilai-nilai Barat.
ADVERTISEMENT
Sastra sebagai Media Perjuangan
Di sisi lain, sastra juga bisa menjadi instrumen perlawanan terhadap penjajahan. Oleh karena itu, para sastrawan menggunakan sastra sebagai media untuk mengartikulasikan aspirasi kemerdekaan, mengkritik ketidakadilan, dan memberikan dorongan bagi perbedaan pendapat. Salah satu nama penting dalam konteks ini adalah Multatuli dengan novelnya Max Havelaar. Meski pengarangnya orang Belanda, novel ini mengungkap kepada dunia eksploitasi dan penderitaan rakyat Indonesia akibat sistem tanam paksa.
Dari situlah teks-teks tersebut berupa penjelasan para penulis pribumi mengenai perjuangan jati diri dan nasionalisme. Salah satunya Armijn Pane dalam novel Belenggu yang merekam konflik internal tokohnya, dengan kata lain tradisi-modernitas yang dipaksa mengakomodir kekuatan kolonialisasi. Mereka juga tidak hanya mengubah sifat sistem kolonial, namun juga visinya, masyarakat di masa depan harus mandiri dan bebas.
ADVERTISEMENT
Warisan Kolonial dalam Sastra Modern
Hingga pasca kemerdekaan, dimensi kolonial masih diusung dalam karya sastra Indonesia modern. Tema ini banyak dipilih penulis untuk menggali lebih dalam masa lalu dan dampaknya terhadap jati diri bangsa. Misalnya, Pramoedya Ananta Toer yang mencoba menggambarkan pribumi bebas dari bayang-bayang kolonialisme dengan tetralogi Bumi Umat Manusia. Selain itu, koloni juga mempengaruhi evolusi bahasa dalam sastra. Perpaduan kosakata bahasa Belanda dan struktur bahasa Eropa dalam karya sastra akan membentuk suatu model yang unik dan menjadi ciri khas sastra Indonesia. Namun, struktur ini dirugikan oleh perselisihan bahwa sastra bukanlah gudang nilai-nilai lokal yang diakui di tengah tren asing.
Kesimpulan
Semua karya sastra Indonesia yang mencerminkan jejak kolonialnya tidak hanya realistis dari segi sejarah, tetapi juga menjadi saksi perjuangan kemerdekaannya. Sastra dengan kekuatannya sebagai media komunikasi dan sarana berekspresi, mengagung-agungkan segala inkarnasi perlawanan terhadap kolonialisme dan menghadirkan dampak-dampak yang ditimbulkannya. Hingga saat ini, berbagai macam perwujudan seni sastra tersebut terus mencerminkan dan mendidik secara sinergis, sekaligus mengingatkan akan kesadaran masa lalu untuk masa depan yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Syahra Citra Dyah Mawarni, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIPMA