Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
4 Ramadhan 1446 HSelasa, 04 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Ramadan di Gaza: Antara Reruntuhan dan Ketegaran Iman
3 Maret 2025 16:08 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Syahrain Fatharany tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kami telah kehilangan orang-orang tercinta. Begitu pula dengan rumah, masjid, dan kehidupan kami. Namun, kami tetap tegar dalam keimanan.

ADVERTISEMENT
(Artikel ini merupakan terjemahan dari tulisan opini berjudul "Ramadan in Gaza: Ruins and unshakable faith," yang ditulis oleh penulis asal Palestina bernama Esraa Abo Qamar yang dimuat di laman Aljazeera pada 1 Maret 2025. Esraa juga merupakan seorang pelajar jurusan sastra Inggris di Universitas Islam Gaza.)
Ramadan akhirnya tiba juga di Gaza yang telah hancur lebur. Saat seluruh dunia menyambut bulan ibadah ini dengan suka cita, kami justru menghadapinya dengan rasa sedih dan haru.
ADVERTISEMENT
Bayang-bayang perang masih kuat menghantui kami. Tidak ada kejelasan apakah gencatan senjata yang berlangsung akan bertahan lama. Orang-orang merasa gelisah atas apa yang mungkin terjadi selanjutnya. Mereka khawatir jika perang kembali pecah.
Ingatan dan trauma atas apa yang telah kami saksikan dan alami dalam setahun terakhir masih membebani benak kami.
Tahun lalu bukanlah pertama kalinya bagi kami menjalani Ramadan saat perang berlangsung. Pada (perang di Gaza) 2014, saat usia saya masih sembilan tahun, masih segar di ingatan saya bagaimana malam-malam Ramadan kami diwarnai dengan gempuran udara yang berdampak kehancuran.
Saat itu kami harus bergegas menyelamatkan diri keluar dari rumah pada gelap malam untuk menghindari serangan rudal yang menyasar lingkungan kami.
ADVERTISEMENT
Namun, Ramadan tahun lalu ternyata berbeda. Keadaannya malah jauh lebih buruk. Orang-orang yang merasakan kelaparan ada di mana-mana.
Kami seperti melakukan saum sepanjang hari lalu berbuka dengan sekaleng humus atau kacang-kacangan yang kami bagi lagi untuk enam orang.
Kami pun mengunyah makanan kaleng yang hambar itu dengan bergelap-gelapan karena tidak ada listrik. Sampai-sampai kami tak bisa melihat dengan jelas siapa orang yang duduk di hadapan kami.
Kami juga terpisah jauh dari sanak famili. Nenek, bibi-bibi, dan sepupu-sepupu saya yang biasanya meramaikan suasana saat Ramadan saat ini terpencar-pencar di lokasi yang berbeda. Beberapa di antara mereka ada yang mengungsi di tenda, dan sebagian lagi terjebak di bagian utara Gaza. Bulan yang biasanya menjadi momen kumpul keluarga justru menjadi momen berpisah dan terisolasi dari orang-orang tercinta.
ADVERTISEMENT
Tidak ada semarak kegembiraan khas Ramadan. Padahal kami rindu mendengar kumandang azan Magrib yang menandakan bolehnya kami berbuka, atau azan Fajar yang menandakan dimulainya saum di hari itu. Namun, suara itu kini tak lagi terdengar. Setiap masjid telah hancur lebur.
Memang, ada sebagian orang yang ingin mengumandangkan azan, namun ada kekhawatiran hal itu justru akan membuat mereka menjadi target serangan udara.
Alih-alih berbuka dengan diiringi kumandang azan dari masjid-masjid terdekat, momen iftar kami justru dibarengi dengan latar suara menakutkan dari tembakan rudal dan berondongan senjata.
Sebelum terjadinya perang, saya biasa pergi ke masjid selepas iftar dengan ditemani keluarga, guna melaksanakan shalat dan bertemu dengan kerabat.
Setelah itu kita akan melalui jalanan di Gaza, merasakan hidupnya suasana Ramadan, sebelum pulang untuk menyicipi kue qatayif yang masih fresh baru jadi.
ADVERTISEMENT
Namun, pada Ramadan tahun lalu, kami tidak bisa merasakan nikmatnya pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat tarawih akibat dampak aksi genosida.
Bahkan, Masjid Agung Omari--yang merupakan salah satu masjid paling bagus dan bersejarah di Gaza, di mana ayah dan abang-abang saya biasa beritikaf selama sepuluh hari terakhir Ramadan di sana, lalu mendengarkan lantunan Al-Quran dibacakan dengan suara yang indah--juga tak lagi berdiri akibat dibom hingga luluh lantak menjadi puing-puing, hancur hingga tak berbentuk. Masjid yang sebelumnya menjadi tempat shalat yang penuh dengan kedamaian itu kini berubah menjadi reruntuhan berdebu.
Adapun pada tahun ini, Ramadan dimulai saat gencatan senjata berlangsung. Tidak ada serangan udara yang mengguncang tanah kami selagi kami berbuka. Tidak pula ada dentuman ledakan yang merobek keheningan Fajar. Tidak ada kekhawatiran untuk mendekorasi rumah kami, atau ketakutan menjadi target karena memasang lampu-lampu yang penuh warna.
ADVERTISEMENT
Di tengah luka dan kehancuran, denyut kehidupan mulai terasa di jalanan Gaza.
Toko-toko dan pasar yang tidak hancur kembali buka, dan para pedagang kaki lima mulai beraktivitas.
Bahkan, toko swalawan besar di Nusairat bernama Hypermall pun buka kembali. Sebelum Ramadan, ayah mengajak saya dan saudari saya ke sana. Kami hampir tak kuasa menahan kegembiraan saat pertama kali memasuki kembali mal yang penuh dengan lampu-lampu itu.
Rak-raknya kembali terisi dengan bermacam makanan yang kami sukai seperti cokelat, biskuit, dan keripik. Dekorasi Ramadan pun turut menghiasi, seperti lampu-lampu pijar dengan berbagai bentuk dan ukurannya. Kurma dan berbagai buah-buahan kering yang warna-warni juga dijajakan. Sesaat kami berpikir bahwa keadaan telah kembali seperti semula.
ADVERTISEMENT
Namun, ternyata semua itu hanyalah semu. Produk-produk yang dipajang di rak-rak tersebut berasal dari truk-truk komersil yang datang dalam jumlah besar ke Gaza yang diizinkan masuk melalui kesepakatan distribusi bantuan kemanusiaan. Namun, produk-produk ini harganya tidak terjangkau oleh daya beli sebagian besar masyarakat yang telah kehilangan rumah dan kehidupan mereka.
Jadi, dengan apa keluarga-keluarga di Gaza berbuka puasa pada tahun ini? Setidaknya lebih baik dari sekaleng kacang-kacangan, yaitu makanan yang terbuat dari nasi, molokhia (sering disebut bayam mesir), atau dengan sejenis sayur-sayuran apapun yang masih mampu mereka beli.
Untuk iftar hari pertama, keluargaku berbuka dengan musakhan, yaitu makanan khas Palestina yang terdiri dari ayam, roti, dan banyak bawang bombay. Kami sadar, kami termasuk kelurga yang beruntung karena hal itu. Karena sebagian besar orang-orang Gaza tidak mampu membeli ayam potong segar yang mulai dijual di pasar namun dengan harga yang melonjak dua kali lipat dari harga sebelum perang berlangsung.
ADVERTISEMENT
Namun, tradisi iftar yang kaya dengan menu bukanlah hal utama yang hilang dari hidangan Ramadan di Gaza.
Lebih dari 48.000 orang telah terbunuh selama perang berlangsung. Banyak keluarga yang kehilangan anggota sanak familinya dan tak lagi bisa menjalani Ramadan tahun ini. Bakal ada banyak bangku yang kosong di meja makan keluarga-keluarga di Gaza.
Ada anak yang tidak lagi bisa mendengar suara ayahnya memanggil ke meja makan untuk iftar bersama. Ada pula orang tua yang tidak lagi bisa melihat anaknya bersikap tak sabar minta segera berbuka. Ada juga seluruh anggota keluarga yang tidak lagi bisa merasakan hidangan lezat, hasil kelihaian memasak sang ibu.
Saya pun termasuk orang yang merasakan kehilangan orang yang saya cintai. Suami bibi saya, yang biasanya mengundang iftar setiap tahunnya, terbunuh dengan cara yang keji. Teman-teman saya, Syaima, Lina, dan Rowa, yang biasa saya temui selepas tarawih ketiganya telah syahid.
ADVERTISEMENT
Meski semaraknya telah terenggut, namun, hakikat Ramadan tetaplah bertahan. Bulan ini menjadi kesempatan untuk menjauhkan diri kami dari berbagai distraksi dan kekhawatiran akan rutinitas sehari-hari, agar bisa menghidupkan kembali iman kami. Inilah waktu dibukanya pengampunan. Waktu untuk mendekatkan diri kita kembali ke Allah dan memperoleh keteguhan spiritual.
Masjid-masjid kami boleh saja hancur, namun tidak dengan iman kami. Kami masih bisa mendirikan shalat tarawih di rumah-rumah kami yang telah hancur sebagiannya atau di tenda-tenda. Di tempat-tempat itulah kami memanjatkan doa dengan lirih dan menenangkan diri kami dengan membaca Al-Quran, sembari meyakini bahwa Allah pasti akan memberikan kami ganjaran setimpal atas segala ujian yang kami alami.