Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Problematika Trump dan Media Pers Amerika Sebelum, Saat, & Sesudah Masa Jabatan
4 Juli 2022 14:34 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Syahra Salsabila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Media merupakan sebuah wadah aspirasi bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi mereka. Adapun jenis dari media massa yaitu media elektronik dan media cetak. Media cetak diantaranya yaitu televisi dan radio. Dari sekian banyaknya media massa di berbagai negara, Amerika merupakan salah satu negara penghasil media massa yang namanya berhasil dikenal oleh masyarakat dunia. Ada beberapa media massa yang namanya sudah tidak asing lagi di masyarakat yaitu New York Times, NBC Times, ABC, CBS, dan CNN. Benar jika media menjadi sebagai wadah untuk menyalurkan pendapat dari masyarakat, namun saat ini pemerintah tanpa disadari memegang kendali media di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Lalu Bagaimakah keadaan media pers Amerika pada saat itu?
Bicara tentang Amerika Serikat, Donald trump yang saat itu merupakan presiden Amerika dengan banyak kontroversi yang sering kali menjadi sorotan media pada saat dia menjabat. Media massa sendiri telah menjadi bagian penting dari kampanye pemilu hingga kepresidenan Trump sejak 2015. Pengaruhnya dalam media membawa Donald Trump ke dalam beberapa masalah. Terkadang dia menunjukkan hubungannya yang kurang baik dengan pers Amerika melalui tindakannya termasuk pidato, tweet, dan saat wawancara.
Tercatat bahwa tidak sedikit kasus kontroversi yang berkaitan dengan tokoh Donald Trump, presiden AS yang ke-45 dan media massa di Amerika Serikat. Adapun selama masa jabatannya terdapat beberapa isu yang berkaitan dengan media. Trump memainkan peran besar dengan menjadikan media sebagai salah satu senjata dalam berpolitik. Kekuasaan Trump bersimpangan dengan dinamika produksi, distribusi, dan penerimaan informasi dalam berita. Hal tersebut membentuk hubungan antara Trump dan media menjadi konteks historis yang akan mempersiapkan skenario pada masa yang akan datang.
ADVERTISEMENT
Kembali pada masa di mana kemenangan Donald Trump atas Hillary Clinton dalam pemilu presiden Amerika Serikat yang menjadi salah satu pusat sorotan di seluruh dunia pada tahun 2016. Dilansir oleh Reuters, berdasarkan laporan Associated Press, dari penghitungan suara saat itu menunjukkan Trump telah meraih 304 suara pemilih kolase. Sorotan mata dunia tentunya tertuju kepada Trump sebagai kandidat utama, dan melalui liputan media maupun berita yang beredar tentunya meningkatkan visibilitas Trump dan ikut andil dalam tingkat popularitas dirinya. Keadaan sebelum masa jabatan Trump sudah memengaruhi perusahaan media dan berita yang meliputnya, khususnya televisi, menuai banyak keuntungan berupa materi maupun rating yang tinggi dari liputan pemilu mereka. Obsesi media berita terhadap liputan Trump termasuk gejala dari sistem publik yang sangat komersial. Melansir dari CNN Indonesia, Trump mengakui bahwa kemenangannya tak terlepas dari peran media sosial yang selama ini dia manfaatkan untuk bersuara kepada masyarakat.
ADVERTISEMENT
Selama empat tahun Amerika Serikat di bawah kepemimpinannya, Donald Trump pernah beberapa kali menunjukkan hubungan yang kurang baik dengan para jurnalis media massa. Tak jarang dia menuliskan cuitan melalui akun Twitter pribadinya @realDonaldTrump yang menunjukkan kebenciannya terhadap beberapa platform media massa ternama Amerika Serikat. Pada sebuah kesempatan Trump mengatakan,
Hal ini menunjukkan bagaimana Trump yang tidak menyukai media pers yang dianggap hanya menyebarkan berita-berita palsu. Tak ayal, pernyataan-pernyataan yang dilayangkan Trump tentang bagaimana kinerja pers Amerika membuat mereka geram. Media Amerika yang sering disebut sebagai penyebar berita hoaks, pembohong publik, pemicu perpecahan dan peperangan menyatakan sudah muak dengan pernyataan-pernyataan Donald Trump yang menyebut mereka berbahaya dan hanya melaporkan berita-berita palsu pada khalayak ramai. Melalui kejadian tersebut, awak media mulai berkoordinasi dengan dipimpin oleh pimpinan harian Boston Globe akan melakukan kampanye dengan menyatakan “perang kotor melawan pers bebas harus diakhiri.” Mereka ingin menyampaikan bahwa hal-hal buruk yang dikatakan Trump tentang media Amerika tidaklah benar. Mereka selalu memuat nilai-nilai yang terdapat pada undang-undang yang menyatakan kebebasan berpendapat dengan tetap berlaku sopan dan mewakili rakyat Amerika yang tidak mampu bersuara.
ADVERTISEMENT
Waktu kian bergulir hingga masa Trump tidak lagi menjabat sebagai presiden Amerika Serikat, namun pengaruhnya dalam media masih dirasakan oleh banyak pihak. Selama masa kepresidenannya, Donald Trump sering mendiskreditkan jurnalis dan menyebut kebanyakan media melakukan bias. Klaimnya tentang "berita palsu" telah menyebabkan sebagian besar masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap media pada umumnya. Menurut Seth Lewis, direktur program jurnalisme dalam bukunya yang berjudul “News After Trump,” menyatakan bahwa beberapa faktor telah mengubah kepercayaan publik terhadap media dan pengaruh jurnalisme terhadap opini publik. Trump pertama kali mencetuskan kata "palsu" melalui sebuah wawancara pada tahun 2017. Menurut postingan media sosial dan rekaman audio yang dipantau oleh Factbase, dia telah menggunakan frasa tersebut sebanyak 2.000 kali sejak dia pertama kali menuliskannya di postingan media sosial Twitter pada Desember 2016. Trump telah memengaruhi pandangan masyarakat Amerika Serikat terhadap media. Mereka meragukan dan sulit memercayai apa berita yang beredar karena istilah "berita palsu" yang telah dia cetuskan. Ditambah lagi Trump dan dorongannya untuk melakukan pembalasan terhadap lawan, dalam hal ini media, telah mempersulit wartawan untuk melakukan pekerjaan mereka dan muncul di banyak acara karena mencemaskan keselamatan mereka.
ADVERTISEMENT
Dapat kita simpulkan bahwa perang antara media dan Trump membawa dampak yang besar terhadap kepercayaan warga Amerika. Naskah dan cuitan yang dilontarkan Trump mampu memengaruhi pola pikir warga Amerika terhadap media pada saat itu. Bahkan setelah masa pemerintahannya, pengaruh yang dia berikan masih bertahan di tengah masyarakat. Tercatat bahwa terdapat penurunan tingkat kepercayaan publik dan akibatnya membentuk stigma media tidak dapat lagi dipercaya. Konsumsi dan minat masyarakat terhadap produk-produk yang disajikan media seperti berita dan produk lainnya menjadi berkurang akibat kecurigaan yang tinggi terhadap akurasi media. Akibatnya terjadi fenomena di mana media tidak lagi memprioritaskan penyampaian informasi politik secara akurat melainkan permintaan audiensi yang tinggi pada saat itu. Akibatnya, media tidak lagi dianggap sebagai pemberi informasi politik namun menjadi ladang iklan yang lebih mementingkan keuntungan.
ADVERTISEMENT
Ditulis oleh: Sayyidhatul Sofiyah, Syahra Salsabila, Winda Larasati Sinaga, Dewayu Raj’Putri, dan Salma Anisah Baqis.