Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Jaminan Hukum terhadap Istri dan Anak Pasca-Nikah Siri dalam Hukum Positif
28 Juni 2021 12:34 WIB
·
waktu baca 7 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 13:42 WIB
Tulisan dari Syahrir Roudhi Hadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mayoritas masyarakat Indonesia memiliki stigma yang negatif terhadap nikah siri. Pasalnya banyak sekali kasus ataupun permasalahan hukum, sosial, psikologis, pendidikan bahkan ketidakjelasan tanggung jawab dalam rumah tangga yang timbul setelah melakukan praktik nikah siri.
ADVERTISEMENT
Terdapat pengertian yang berbeda antara agama dan negara dalam mendefinisikan nikah siri. Menurut pandangan ulama’ nikah siri adalah pernikahan yang tidak diumumkan atau sengaja disembunyikan akan tetapi tetap memenuhi syarat dan rukun nikah, sehingga hukum pernikahan siri dikatakan sah.
Sedangkan menurut hukum positif di Indonesia, sah tidaknya sebuah perkawinan berdasarkan kepada UU No.1 tahun 1974 dalam bab 1 pasal 2 ayat (1) dan (2) yaitu pernikahan akan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan sekaligus setiap perkawinan harus dicatatkan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. (Achmad Dodi Haryadi, 2018)
Dalam agama Islam tidak dijelaskan secara langsung oleh Al-Quran, Hadits dan Ijtima ulama’ terkait pencatatan pernikahan sebagaimana yang direalisasikan dalam UU No.1 Perkawinan tahun 1974. Akan tetapi bukan berarti umat Islam harus anti dan melawan ketentuan pasal tersebut.
ADVERTISEMENT
Aturan pencatatan pernikahan berkaitan dengan kemaslahatan dalam bernegara karena berkaitan erat dengan administrasi perdata dalam jangka panjang. Jika ditinjau dari segi muamalat, regulasi pencatatan pernikahan sangat sesuai dengan konsep dan tujuan syariah yaitu untuk kemaslahatan keluarga dalam bernegara.
Berdasarkan fatwa Majelis Ulama’ Indonesia tahun 2006 pernikahan siri hukumnya sah apabila syarat dan rukun nikah telah terpenuhi, menjadi haram apabila menimbulkan mudarat dan dampak negatif. Menurut pendapat MUI nikah siri sering kali menimbulkan kerugian bagi istri dan anak yang dilahirkan yaitu berkaitan terhadap hak-hak istri dan anak.
Seperti pemberian nafkah dan pembagian harta waris. Dengan melihat risiko dalam pernikahan siri MUI sepakat bahwa setiap pernikahan harus dicatatkan secara resmi kepada instansi yang berwenang yaitu KUA dan PPN. (Mau, 2016)
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian praktik nikah siri masih tetap dilestarikan di Indonesia. Banyak dari masyarakat Indonesia baik seorang artis, tokoh agama, tokoh masyarakat, mahasiswa hingga masyarakat desa yang tidak memahami aturan perkawinan yang terdapat dalam hukum positif.
Menurut Edi Gunawan dalam jurnalnya “Nikah Siri Dan Akibat Hukumnya Menurut UU Perkawinan” di antara faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan siri, yaitu: Pertama, disebabkan oleh hubungan yang tidak direstui orang tua, karena orang tua sudah mempunya calon untuk dijodohkan dengan anaknya. Kedua, disebabkan karena hubungan terlarang atau dengan kata lain perselingkuhan.
Ketiga, disebabkan karena alasan tidak mendapat kebahagiaan dengan pasangan sah. Keempat, disebabkan ingin menjaga diri dari perzinaan, kebanyakan yang melakukan praktik nikah siri dengan alasan ini adalah pemuda yang masih bujang.
ADVERTISEMENT
Kelima, disebabkan untuk menghindari prosedur administrasi yang dianggap ribet dan menghindari beban tanggungan biaya (Gunawan). Dan masih banyak faktor lain yang menyebabkan masyarakat Indonesia memilih untuk melakukan pernikahan siri.
Apakah ada Jaminan Perlindungan Hukum Terhadap Istri dan Anak ?
Sanksi yang diberikan oleh negara terkait pelaku nikah siri yaitu pernikahan tersebut dinyatakan tidak sah secara bernegara. Akibatnya, negara tidak menjamin administrasi seperti pembuatan KK dan KTP juga masalah perdata seperti penyelesaian masalah warisan dan gugat cerai pada pelaku nikah siri. Lantas bagaimana negara yang seharusnya berkepentingan di dalam melindungi seluruh rakyatnya ? apakah para hakim akan menolak kasus yang diajukan kepadanya jika diajukan oleh pelaku nikah siri? Tentu tidak. Negara tetap memberikan hak-haknya kepada masyarakat dan menjalankan kewajibannya.
ADVERTISEMENT
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Nasab Anak Di Luar Kawin.
Dalam kasus nikah siri Mahkamah Konstitusi mengabulkan tuntutan yang diajukan oleh Hj. Aisyah Mochtar pada tanggal 20 Desember 1993 yang dinikahi oleh Moerdiono mantan Menteri Sekretaris Negara. Adapun hak uji materi terhadap UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan khususnya dalam Pasal 34 ayat (1).
Kemudian Mahkamah Konstitusi membuat putusan dengan kedudukan hukum bagi anak di luar kawin, yaitu Putusan MK Nomor 46/ PUU-VIII/2010. Putusan MK tersebut membawa dampak yang luas tidak hanya berlaku bagi Pemohon I dan II akan tetapi seluruh masyarakat Indonesia terkait nasab anak di luar pernikahan.
Definisi anak di luar pernikahan menurut UU Perkawinan adalah anak yang dihasilkan dari pernikahan yang tidak dicatatkan dan juga anak dari hasil zina.(Hamzani. 2015)
ADVERTISEMENT
Merujuk kepada Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 yang berbunyi “Anak yang dilahirkan di luar pernikahan mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya serta ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti akurat lain sehingga menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”(Hamzani. 2015).
Pernikahan yang dilakukan oleh Aisyah Mochtar dan Moerdiono merupakan pernikahan yang sah dilakukan secara agama dan ketentuannya sejalan dengan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan juga Pasal 4 Inpres Nomor 4 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Keputusan ini berlaku bagi semua masyarakat Indonesia yang memiliki kasus yang sama dengan Aisyah Mochtar dan Moerdiono terhadap anak yang dilahirkan dari pernikahan yang sah secara agama akan tetapi tidak dicatatkan.
ADVERTISEMENT
Putusan ini tidak berlaku bagi anak di luar pernikahan yang dihasilkan dari perzinaan, karena tidak sesuai dengan hukum agama Islam dan juga melanggar Pasal 2 ayat (1) tahun 1974 tentang perkawinan. Menurut hukum Islam anak hasil zina nasabnya dinisbahkan kepada ibu dan keluarga ibunya.
Jaminan Hukum Bagi Wanita Yang Melakukan Nikah Siri Berdasarkan PERMA Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Yang Berhadapan Dengan Hukum.
Dalam pernikahan siri wanita atau istri menanggung beban yang cukup berat selain dari tidak diakuinya pernikahan secara sah oleh negara. Potensi kesewenang-wenangan suami terhadap penafkahan dan kehidupan rumah tangga lainnya semakin meningkat. Kendati pun telah melakukan pernikahan normatif yang sah menurut agama Islam.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi penghayatan pernikahan sebagaimana yang disebutkan dalam QS An-Nisa’:21, bahwa akad atau perjanjian dalam nikah setara dengan perjanjian yang mengikat antara Rasul dan Allah Swt. Artinya agama Islam sangat memandang tinggi kesucian dan tujuan pernikahan. Namun dalam praktiknya tetap terjadi kekerasan dan kesewenang-wenangan terhadap istri yang dilakukan oleh suami.
Bagi wanita yang menikah secara siri apabila dalam perjalanannya merasa dirugikan, mendapatkan kekerasan, maka berhak untuk mengajukan kasus ataupun gugatan sebagaimana yang tertera dalam PERMA Nomor 3 Tahun 2017, Pasal 2 Poin (a)-(g) yang berbunyi “Hakim mengadili perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum berdasarkan asas-asas sebagaimana pada poin (a) penghargaan atas harkat dan martabat manusia, (b) tidak boleh ada diskriminasi, (c) kesetaraan Gender, (d) kedudukan yang sama di depan hukum, (e) keadilan, (f) kemanfaatan, dan (g) kepastian hukum. (Mahkamah Agung, 2017)
ADVERTISEMENT
Berdasarkan asas-asas yang tertuang dalam pasal tersebut wanita ataupun istri yang dinikahi secara siri dan berhadapan dengan hukum sebagai korban tetap dilindungi hak-haknya oleh hukum positif berdasarkan PERMA Nomor 3 Tahun 2017.
Kesimpulan.
Pernikahan siri adalah pernikahan yang sah secara agama apabila terpenuhi syarat dan rukunnya. Dalam UU Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, pernikahan yang diakui oleh negara sebagaimana yang tertulis pada pasal 2 ayat (1) dan (2) yaitu pernikahan dijalankan sesuai dengan hukum agama yang diyakini sekaligus harus dicatatkan pada lembaga berwenang yang ditunjuk oleh negara dalam hal ini adalah KUA atau PPN.
Hak-hak perdata anak dalam kasus pernikahan siri yang sah secara agama akan tetapi tidak dicatatkan tetap diakui oleh negara berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia dengan kasus yang serupa. Apabila wanita ataupun istri dalam pernikahan siri mendapat perlakuan yang tidak baik atau berhadapan dengan hukum sebagai korban maka negara tetap melindungi dan menjaga hak-haknya merujuk kepada PERMA No.3 Tahun 2017.
ADVERTISEMENT
Meskipun mendapatkan jaminan dan hak-hak perlindungan melihat banyaknya problem yang merugikan wanita dan anak pasca pernikahan siri, sebaiknya melakukan pernikahan yang sah secara agama dan negara.