Konten dari Pengguna
QRIS Jadi Sorotan AS: Menjaga Kedaulatan Digital atau Menghambat Dagang Bebas?
24 April 2025 15:19 WIB
·
waktu baca 3 menitKiriman Pengguna
QRIS Jadi Sorotan AS: Menjaga Kedaulatan Digital atau Menghambat Dagang Bebas?
QRIS Indonesia dikritik AS sebagai hambatan dagang. BI tegaskan QRIS sebagai simbol kedaulatan digital, bukan diskriminasi. Simak polemiknya di sini.Syahrul Amri

Tulisan dari Syahrul Amri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di tengah isu arus digitalisasi sistem keuangan nasional yang semakin masif, Indonesia sudah lama memperkenalkan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) sebagai jalan penting menuju sistem pembayaran yang lebih inklusif dan efisien. Namun, siapa sangka, upaya ini justru memicu perdebatan internasional, terutama dari Washington (AS).
ADVERTISEMENT
Kritik itu muncul ke permukaan melalui laporan tahunan bertajuk National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers (NTE) 2025 yang dirilis oleh Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR). Dalam laporan tersebut, sistem QRIS dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) dikritik sebagai hambatan perdagangan non-tarif. Alasannya? Karena dianggap menyulitkan akses perusahaan asing seperti Visa dan Mastercard untuk bersaing di pasar pembayaran digital Indonesia.
AS Menilai QRIS Hambat Kompetisi
Washington menilai sistem QRIS dan GPN membatasi ruang gerak perusahaan pembayaran asing untuk masuk ke dalam ekosistem transaksi digital Indonesia. Mereka juga mengkhawatirkan potensi menurunnya dominasi dolar AS dalam transaksi lintas negara jika sistem pembayaran lokal seperti QRIS terus diperkuat tanpa celah.
Dengan arti lain, sistem pembayaran yang dikembangkan oleh Indonesia ini dinilai dapat menghambat jalannya prinsip pasar bebas dan liberalisasi ekonomi yang selama ini didorong oleh negara Barat.
ADVERTISEMENT
Bank Indonesia Tegas Mengatakan Ini Soal Kedaulatan, Bukan Diskriminasi
Menanggapi sorotan tajam dari AS yang tertuju kepada Pemerintah Indonesia, Bank Indonesia selaku bank sentral angkat suara. Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono, menegaskan jika QRIS dan GPN bukanlah bentuk penutupan diri, apalagi diskriminasi terhadap perusahaan asing. Justru sebaliknya, sistem ini di-develop untuk menciptakan infrastruktur pembayaran yang aman, inklusif, dan terbuka terhadap kolaborasi internasional—selama tetap sejalan dengan peraturan dalam negeri.
Antara Mandiri Digital dan Tekanan Global
Polemik QRIS ini mempertontonkan benturan dua kepentingan besar: di satu sisi, Indonesia berusaha memperkuat kedaulatan digital serta meminimalisasi ketergantungan pada sistem asing; di sisi lain, Amerika Serikat mendorong agar pasar tetap terbuka bagi semua pelaku global—termasuk korporasi mereka.
ADVERTISEMENT
Yang menjadi pertanyaan, apakah setiap bentuk perlindungan terhadap data maupun transaksi domestik otomatis dianggap hambatan dagang? Ataukah ini memang saatnya negara berkembang seperti Indonesia punya kuasa lebih atas infrastruktur digitalnya sendiri?
Imbas ke Hubungan Dagang
Tak bisa dipungkiri, kritik AS terhadap QRIS dan GPN muncul di tengah ketegangan dagang yang lebih luas. Washington sedang menegosiasikan tarif dan kebijakan ekonomi dengan Jakarta, dan sistem pembayaran lokal jadi salah satu titik tekan mereka.
Jika Indonesia bergeming dan tetap pada jalurnya, maka ketegangan ini bisa merembet ke ranah diplomatik dan ekonomi. Namun, jika terlalu longgar, dikhawatirkan kedaulatan data dan transaksi nasional akan kembali bergantung pada sistem luar.
QRIS dan GPN sejatinya bukan hanya media transaksi. Tapi merupakan simbol upaya Indonesia untuk berdiri di kaki sendiri dalam dunia digital. Tapi, tantangan dari AS memperlihatkan bahwa setiap langkah kemandirian digital harus ditempuh dengan cermat, tanpa membakar jembatan kerja sama internasional dengan negara lain.
ADVERTISEMENT
Di sinilah peran utama pemerintah yakni menjaga kedaulatan, tapi tetap membuka ruang dialog global. Karena pada akhirnya, sistem pembayaran nasional tak hanya bicara soal teknis, tapi juga soal geopolitik dan arah masa depan ekonomi digital Indonesia.