Konten dari Pengguna

Mudik: Perjalanan kembali ke Akar, Dosa atau Tidak?

Syaiful Abdy
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta
7 April 2024 9:23 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syaiful Abdy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Desain Penulis melalui Photoshop
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Desain Penulis melalui Photoshop
ADVERTISEMENT
“Saat malam telah larut dan angin berbisik di balik jendela, banyak dari kita masih terjaga, merenungkan keputusan apakah akan mudik atau tidak. Rasanya seperti ada perang batin yang terjadi di dalam diri kita, di antara kerinduan untuk bersama keluarga di kampung halaman dan pertimbangan yang mungkin masih mengganjal di hati”
ADVERTISEMENT
(Dy. 01/04/24)
Di tengah gemerlapnya lampu-lampu malam, kita sering kali mendengar kata "mudik" disebut-sebut di berbagai percakapan, terutama menjelang hari raya. Tetapi, apa sebenarnya yang dimaksud dengan "mudik"?
Secara bahasa, istilah "mudik" berasal dari kata "mudik" yang berarti kembali atau pulang. Jadi, secara harfiah, mudik dapat diartikan sebagai perjalanan kembali ke tempat asal atau kampung halaman. Ini adalah tradisi yang telah mengakar dalam budaya Indonesia, khususnya menjelang perayaan hari raya seperti Idul Fitri.
Selain dari segi bahasa, "mudik" juga melibatkan konsep dan istilah tertentu dalam kebiasaan masyarakat. Ini melibatkan perjalanan jauh dari tempat tinggal saat ini menuju kampung halaman di daerah asal atau di mana keluarga besar berkumpul. Perjalanan ini sering kali dilakukan dengan berbagai moda transportasi, mulai dari mobil pribadi, bus, kereta api, hingga pesawat terbang, tergantung pada jarak dan ketersediaan.
ADVERTISEMENT
Menurut teori Cocokologi, istilah "mudik" dapat diuraikan menjadi dua unsur kata, yaitu "MU" dan "DIK", atau secara alternatif "Kamu" dan "Adik". Dalam pandangan ini, "mudik" melambangkan momen penting di mana seseorang mempertemukan dirinya dengan saudara kandungnya atau saudara-saudara yang mungkin tidak memiliki hubungan darah, tetapi memiliki ikatan emosional yang kuat. Namun, esensi yang lebih dalam dari makna ini adalah bahwa "mudik" merupakan momen di mana seseorang bersatu kembali dengan orang-orang yang membentuk bagian integral dari kehidupannya: orang tua, baik itu bapak maupun ibu, serta anggota keluarga lainnya.
Tradisi mudik juga mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk persiapan sebelum berangkat, seperti menyiapkan barang bawaan dan perencanaan rute perjalanan. Selain itu, momen-momen di perjalanan, seperti berhenti untuk istirahat atau makan, juga menjadi bagian tak terpisahkan dari pengalaman mudik. Yang paling tak terlupakan adalah ketika War tiket gratis.
ADVERTISEMENT
Namun, lebih dari sekadar perjalanan fisik, mudik memiliki makna yang mendalam dalam budaya Indonesia. Ini adalah momen untuk bersatu kembali dengan keluarga dan sanak saudara, merayakan kebersamaan, dan merasakan kehangatan rumah di kampung halaman. Selain itu, mudik juga menjadi momen untuk merayakan akar budaya, tradisi, dan nilai-nilai luhur yang telah diturunkan dari generasi ke generasi.
Kepastian pertama yang belum terwujud adalah pencapaian. Mungkin ada rasa khawatir bahwa pulang kampung tanpa mencapai apa pun akan menimbulkan pertanyaan di benak orang-orang terdekat. Pemikiran itu menggelitik di antara keinginan untuk pulang dan keinginan untuk terus mengejar cita-cita.
Kemungkinan kedua menyentuh urusan yang lebih pribadi: belum mampu membelikan baju lebaran untuk orang tua. Merasa terpanggil oleh tanggung jawab untuk memberikan kebahagiaan pada orang-orang yang sangat dicintai, namun keterbatasan finansial terkadang menghalangi langkah tersebut.
ADVERTISEMENT
Perjanjian ketiga, yang mungkin belum sempat terpikirkan sebelumnya, adalah tentang keinginan untuk menorehkan cerita dalam hikayat Mudik. Menuliskan perjalanan pulang kampung, pengalaman di jalan, serta momen-momen berharga dengan keluarga menjadi sebuah janji pada diri sendiri yang masih terkatung-katung.
Mudik, pada hakikatnya, bukanlah sekadar soal kegembiraan bertemu keluarga atau rasa bangga karena hidup di luar kota. Lebih dalam dari itu, mudik adalah soal pencapaian, kontribusi, dan solusi. Pulang kampung bukan hanya tentang menerima kasih sayang, melainkan juga memberikan kasih sayang. Bukan hanya tentang menikmati, tetapi juga memberi. Bukan hanya tentang merayakan, tetapi juga memperkuat ikatan batin dengan keluarga dan akar budaya.
Jadi, apakah mudik adalah dosa atau tidak? Mungkin pertanyaan yang lebih tepat adalah: apakah kita melakukan mudik dengan sepenuh hati dan penuh penghargaan terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya? Segera, kita akan menemukan jawabannya ketika kita melangkah menuju perjalanan kembali ke akar, tidak hanya fisik, tetapi juga spiritual.
ADVERTISEMENT
Maka, ketika kita membicarakan tentang "mudik", kita tidak hanya berbicara tentang perjalanan fisik, tetapi juga tentang ikatan batin dengan keluarga dan akar budaya kita. Melalui tradisi ini, kita dapat memahami pentingnya menjaga hubungan dengan keluarga, menghormati tradisi nenek moyang, dan merayakan kebersamaan di tengah keramaian kampung halaman.
Saat kita merenungkan apakah akan mudik atau tidak, penting untuk mempertimbangkan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi ini. Pertimbangkanlah betapa berharganya momen bersama keluarga dan menyambut kembali akar budaya kita. Jadikanlah hati sebagai penuntun utama dalam membuat keputusan, dan mari kita sambut perjalanan kembali ke akar dengan penuh kebahagiaan dan rasa syukur.
Jadi, kapan kamu Mudik?