Konten dari Pengguna

UU Cipta Kerja dan Lanskap Baru Hubungan Industrial di Indonesia

Saiful Bahri
Mahasiswa Fakultas Hukum universitas Muhammadiyah surabaya.
23 April 2025 11:41 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Saiful Bahri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
istockphoto-2167095557-612x612: Ilustrasi orang bekerja
zoom-in-whitePerbesar
istockphoto-2167095557-612x612: Ilustrasi orang bekerja
ADVERTISEMENT
Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang kemudian mengalami dinamika legislasi hingga akhirnya disahkan kembali melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 dan kini berstatus sebagai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, menandai babak baru dalam konfigurasi hubungan industrial di Indonesia. Undang-undang yang digadang-gadang sebagai katalisator investasi dan pencipta lapangan kerja ini membawa serangkaian perubahan fundamental yang secara inheren memengaruhi relasi antara pekerja, pengusaha, dan negara. Artikel ini bertujuan untuk mengupas secara mendalam lanskap hubungan industrial pasca-UU Cipta Kerja, menyoroti implikasi dari perubahan-perubahan kunci, serta menimbang antara tuntutan fleksibilitas pasar kerja dengan imperatif perlindungan hak-hak pekerja.
ADVERTISEMENT
Salah satu pilar utama perubahan yang dibawa oleh UU Cipta Kerja adalah pergeseran paradigma menuju fleksibilitas pasar kerja yang lebih tinggi. Hal ini termanifestasi dalam beberapa regulasi krusial, terutama yang berkaitan dengan perjanjian kerja dan alih daya. Undang-undang ini merevisi ketentuan mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), menghapus batasan durasi perpanjangan yang sebelumnya diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003. Rasional di balik penghapusan ini adalah untuk memberikan keleluasaan yang lebih besar kepada pengusaha dalam menyesuaikan komposisi tenaga kerja dengan fluktuasi kebutuhan bisnis. Namun, konsekuensi dari kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pekerja mengenai potensi erosi kepastian kerja. Dengan tidak adanya batasan waktu perpanjangan, pekerja dengan status PKWT dapat berada dalam ketidakjelasan status untuk jangka waktu yang lebih lama, tanpa jaminan transisi menuju status pekerja tetap.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, UU Cipta Kerja memperluas cakupan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan (outsourcing). Pasal 66 UU Ketenagakerjaan sebelumnya secara eksplisit membatasi alih daya pada pekerjaan penunjang di luar kegiatan utama perusahaan. Penghapusan batasan ini membuka pintu bagi perusahaan untuk mengalihdayakan hampir seluruh spektrum pekerjaan, termasuk yang terkait langsung dengan proses produksi inti. Implikasi dari perluasan ini sangat signifikan bagi perlindungan pekerja alih daya. Potensi fragmentasi hubungan kerja dan ketidakjelasan tanggung jawab antara perusahaan pemberi kerja dan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja menjadi isu yang memerlukan pengawasan ketat dan regulasi yang komprehensif untuk mencegah praktik-praktik yang merugikan pekerja.
Selain perubahan dalam fleksibilitas pasar kerja, UU Cipta Kerja juga membawa reformasi dalam sistem pengupahan dan mekanisme pesangon, dua aspek yang sangat sensitif dalam dinamika hubungan industrial. Dalam hal pengupahan, undang-undang ini memperkenalkan formula baru untuk penetapan upah minimum yang mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Tujuan dari formula ini adalah untuk menciptakan kepastian dan objektivitas dalam penentuan upah. Namun, implementasi formula ini sempat menuai kritik dan penolakan dari serikat pekerja yang menilai bahwa formula tersebut kurang mengakomodasi kebutuhan hidup layak pekerja dan berpotensi menekan tingkat upah riil.
ADVERTISEMENT
Perubahan yang paling kontroversial mungkin terletak pada restrukturisasi mekanisme pesangon. UU Cipta Kerja mengubah beberapa ketentuan terkait besaran dan komponen pesangon yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Meskipun undang-undang ini memperkenalkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebagai kompensasi tambahan bagi pekerja yang di-PHK, perhitungan total pesangon dalam beberapa skenario menunjukkan penurunan dibandingkan dengan ketentuan sebelumnya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan pekerja dan serikat pekerja mengenai potensi berkurangnya perlindungan finansial bagi mereka yang kehilangan pekerjaan, terutama dalam kondisi ekonomi yang tidak pasti.
Dalam konteks lanskap hubungan industrial yang baru ini, peran serikat pekerja dan mekanisme dialog sosial menjadi semakin krusial. Serikat pekerja memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam mengawasi implementasi UU Cipta Kerja, mengadvokasi hak-hak anggotanya, dan memastikan bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil tidak mengorbankan kesejahteraan pekerja. Dialog sosial tripartit antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah menjadi instrumen penting untuk menyelesaikan perbedaan pandangan, mencapai kesepakatan yang adil, dan membangun hubungan industrial yang harmonis. Pemerintah memiliki peran sentral dalam memfasilitasi dialog ini, menyediakan platform negosiasi yang konstruktif, dan memastikan penegakan hukum ketenagakerjaan yang adil dan konsisten untuk menciptakan kepastian bagi semua pihak.
ADVERTISEMENT
Implementasi UU Cipta Kerja dalam ranah hubungan industrial tidak terlepas dari berbagai tantangan. Adaptasi terhadap regulasi baru memerlukan pemahaman yang mendalam dari semua pihak terkait. Serikat pekerja perlu meningkatkan kapasitasnya dalam menganalisis implikasi kebijakan dan bernegosiasi secara efektif. Pengusaha perlu mengedepankan praktik ketenagakerjaan yang bertanggung jawab dan menghormati hak-hak pekerja. Pemerintah, di sisi lain, memiliki tanggung jawab untuk melakukan pengawasan yang efektif, memberikan sosialisasi yang memadai, dan memastikan bahwa implementasi UU Cipta Kerja tidak menimbulkan ketidakadilan.
Meskipun demikian, UU Cipta Kerja juga membawa potensi untuk menciptakan hubungan industrial yang lebih dinamis dan responsif terhadap perubahan konstelasi ekonomi global. Dengan adanya fleksibilitas yang lebih besar, diharapkan perusahaan dapat lebih cepat beradaptasi dengan perubahan pasar dan meningkatkan daya saing. Namun, fleksibilitas ini harus diimbangi dengan mekanisme perlindungan sosial yang kuat dan penegakan hukum yang tegas untuk mencegah eksploitasi pekerja. Keseimbangan antara fleksibilitas pasar kerja dan perlindungan hak-hak pekerja adalah kunci untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif sekaligus menjamin kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh pekerja di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, UU Cipta Kerja telah mengukir babak baru dalam lanskap hubungan industrial di Indonesia. Perubahan-perubahan yang dibawa oleh undang-undang ini menuntut adaptasi dan pemahaman yang mendalam dari semua pihak terkait. Keberhasilan menciptakan hubungan industrial yang harmonis, produktif, dan berkeadilan sangat bergantung pada komitmen untuk berdialog secara konstruktif, menghormati hak dan kewajiban masing-masing, serta menegakkan supremasi hukum secara konsisten. Masa depan hubungan industrial di Indonesia akan sangat ditentukan oleh bagaimana semua stakeholder mampu menavigasi dinamika baru ini, menyeimbangkan antara tuntutan efisiensi ekonomi dan imperatif perlindungan sosial bagi seluruh pekerja.