Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Adil Gender Sedari Rumah, Sekolah, dan Masyarakat
11 Maret 2024 11:49 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari SYAIFUL BATO tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Rasa- rasanya, tidak tepat memang jika ada pendiskusian apapun tentang perempuan tapi justru dinarasikan oleh seorang lelaki. Harus diakui, bentuk ekspresi apapun yang diutarakan lelaki tidak cukup untuk mewakili apa yang dirasakan perempuan. Ini wajar, karena laki – laki sendiri tidak pernah merasakan pengalaman biologis dan sosial seperti yang dialami perempuan.
ADVERTISEMENT
Setidaknya, ada 5 hal yang akan dilewati perempuan sebagai bagian dari kodratnya. Mulai dari haid, hamil, melahirkan, nifas, sampai menyusui. Selain itu, secara sosial perempuan harus mengakui kenyataan bahwa mereka hidup dalam kultur patriarkis lebih lama daripada egaliter, yang itu sudah berlangsung selama berabad – abad lamanya .
Apalagi di indonesia, pembatasan terhadap aktivitas perempuan justru diperkuat oleh doktrin norma, adat atau budaya yang menganggap, selayaknya perempuan harus ditempatkan pada tugas -tugas domestik yang berkaitan dengan permasalahan rumah tangga seperti memasak,mencuci dan lain lain.
Sumur, dapur, dan kasur. Begitulah kira – kira ungkapan yang sering didengar di masyarakat kita. Istilah itu seakan menegaskan bahwa perempuan memang makhluk nomor dua yang tugas utamanya melayani laki – laki.
ADVERTISEMENT
Akan dianggap tidak wajar jika ada perempuan yang aktif dalam urusan public. Mereka akan dicap sebagai bagian dari sosok feminis, pro matriarki atau macam – macam. Celakanya label seperti itu sering dikonotasikan secara negative oleh sebagaian orang.
Sudah terlalu banyak diskursus yang membicarakan tentang keadilan gender dari satu forum akademik ke forum yang lain namun tetap belum menemukan titik terang bagaimana seharusnya memposisikan perempuan.
Harus diakui, kesetaraan gender tidak akan bisa tercapai hanya dengan memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan. Karena ini menyangkut hal yang lebih mendasar yaitu kesadaran atau pola pikir.
Kaitan nya dengan perubahan pola pikir masyarakat yang lebih adil gender maka, salah satu faktor penting yang menentukan ialah pendidikan. Penting diingat, bahwa maju – mundurnya peradaban suatu kelompok masyarakat, sangat ditentukan oleh sejauh mana kualitas pendidikan yang mereka rasakan.
ADVERTISEMENT
Penulis merasa, kesadaran akan keadilan gender perlu ditanamkan sejak dini karena di masa ini, seorang individu masuk dalam fase pertumbuhan dan perkembangan. Baik itu dalam aspek intelektual, emosional, sosial atau spiritual. Pengalaman yang didapat seseorang pada masa ini, akan berpengaruh besar bagi cara pandang, sikap, perilakunya ketika dewasa kelak.
Jika kita mau berkaca dari konsep Tri Pusat Pendidikan dari Ki Hajar Dewantara, beliau mengajarkan bahwa proses pendidikan bagi seseorang berlangsung di tiga tempat yakni rumah, sekolah, dan masyarakat.
Pertama, ketika di rumah perlu ada peran orang tua dalam menerapkan pola asuh yang membuat anak sadar akan peran antara laki – laki dan perempuan. Fitriana Herarti, Spesialis Perkembangan Anak Child Fund Internasional, menganggap kita perlu membangun disiplin positif dalam rumah. Maksud dari disiplin positif ialah dengan menempatkan peran ibu sama dengan peran ayah. Sebagai contoh, ketika di rumah sang ayah secara bergantian dengan ibu menyelesaikan tugas rumah tangga, seperti memasak, membersihkan rumah dan lain – lain.
ADVERTISEMENT
Walaupun hal ini sepertinya agak sulit dilakukan di indonesia karena sebagaian besar masyarakat kita masih mengamini sebuah pemahaman bahwa, ayah bertugas mencari nafkah, sedangkan ibu mengurusi rumah tangga. Tapi ketika itu dicontohkan oleh orang tua di rumah, seperti ayah membantu ibu mencuci atau memasak, besar kemungkinan si anak tidak akan terpengaruh oleh anggapan masyarakat yang naif dan bias gender tersebut.
Kedua, di sekolah yang merupakan tempat pendidikan formal berlangsung, perlu peran guru dan semua stake holder sekolah agar mengembangkan suasana belajar yang lebih adil gender. Sebagai contoh, guru tidak memberi label karakter atau peran khusus berdasarkan gender. Misalnya, laki – laki memiliki kecendrungan lebih berani dan perempuan yang lemah lembut.
ADVERTISEMENT
Lalu, untuk masalah peran, harusnya guru bisa memberikan ruang partisipasi yang adil. Misalnya dalam penentuan struktur kelas. Guru sebagai fasilitator harus bisa menggunakan skema yang seimbang sehingga pola kepemimpinan tidak hanya diduduki oleh laki - laki sebagai ketua dan sekretaris nya perempuan.
Usaha – usaha yang dilakukan guru tersebut mengingat suatu urgensi dasar, bahwa siswa harus mulai ditanamkan kesadaran akan adil gender sejak dari sekolah. Karena sekolah sendiri adalah rumah kedua bagi siswa yang dimana ia punya kesempatan untuk bersosialisasi dengan teman - teman yang notabene sebaya dengannya.
Selain itu, ia jadi punya kesempatan untuk belajar tentang berbagai nilai yang tidak ia dapatkan di rumah. Sehingga ia bisa selektif memilih nilai mana yang pantas dan mana yang tidak ia pilih untuk dijadikan pedoman hidup.
ADVERTISEMENT
Ketiga, di masyarakat yang dimana, bagi penulis merupakan tempat paling sering terjadi kesenjangan gender, agak sulit memang mengajarkan anak tentang adil gender sedangkan ia hidup dalam lingkungan yang rentan terjadi diskriminasi berdasarkan gender.
Disinilah diperlukan peran pemerintah untuk mensosialisasikan pada masyarakat tentang betapa pentingnya memberikan akses yang setara, mendorong partisipasi yang seimbang atau menjamin rasa aman bagi perempuan terkhusus bagi mereka yang aktif dalam urusan public.
Walaupun agaknya hal ini sudah dilakukan pemerintah, tapi diskursus tentang gender masih menjadi isu langitan yang hanya bisa dikonsumsi oleh masyarakat perkotaan dengan tingkat pendidikan tertentu. Bagi masyarakat pedesaan, umumnya menganggap wajar – wajar saja, bahkan tidak sedikit dari mereka yang mengamini memang sudah seharusnya ada dominasi laki– laki atas perempuan.
ADVERTISEMENT
Terakhir, penulis ingin berharap suatu hal bahwa suatu saat akan ada situasi adil gender bukan kesetaraan gender. Karena istilah kesetaraan gender sendiri bagi penulis terkesan kurang proporsional dan tidak mengindahkan sisi unik baik dari perempuan ataupun laki -laki
Syaiful Bato, Mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Indonesia