Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Semangat Positif RUU Sisdiknas di Tengah Pro-Kontra Pengesahan
16 September 2022 15:23 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Muhammad Syaikhul Islam, SHI, MHI, CHt, CI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perbincangan sekaligus perdebatan mengenai rencana pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) sepertinya belum berada pada titik kulminasi. Deretan argumentasi berupa dukungan dan penolakan terhadap rancangan undang-undang tersebut muncul dari berbagai kalangan pemangku pendidikan (stakeholders) di tanah air, baik dari kalangan masyarakat umum, organisasi profesi guru dan dosen, penggiat pendidikan, hingga organisasi kemasyarakatan.
ADVERTISEMENT
Pihak pendukung pengesahan RUU Sisdiknas berargumentasi bahwa banyak pengaturan dalam UU Sisdiknas serta UU Guru dan Dosen yang sudah tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat dan tuntutan zaman. Misal, pengaturan tentang cakupan wajib belajar dan jumlah jam mengajar. Sedangkan, sudah banyak pelajaran yang dapat diambil dari UU Pendidikan Tinggi (Dikti), sebagai contoh pengaturan tentang perguruan tinggi negeri berbadan hukum.
Dukungan terhadap pengesahan RUU Sisdiknas di antaranya datang dari Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia (HIMPAUDI) yang mengapresiasi atas RUU Sisdiknas yang disusun dengan cermat dan berbasis data untuk menjawab problematika di lapangan. Salah satu poin positif menurut mereka adalah adanya pengakuan PAUD yang melayani pedidikan anak-anak usia 3-5 tahun sebagai lembaga pendidikan formal. Dalam konteks tersebut, pemerintah memberikan pengakuan kepada pendidik di PAUD beserta hak-haknya. Pendapat senada juga disampaikan oleh Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia (AKSI) yang menilai bahwa pemerintah memiliki semangat mengangkat martabat guru dan dosen melalui upaya peningkatan kesejahteraan yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Pihak penolak mengkritisi adanya beberapa pasal yang dinilai mereduksi makna pendidikan Islam yakni dengan dihilangkannya frasa ‘madrasah’ padahal dalam UU yang berlaku saat ini lembaga pendidikan Islam mendapat porsi dan akomodasi yang baik dalam sistem pendidikan nasional. Pihak penolak juga memiliki kecurigaan tentang pasal yang membahas tentang kesejahteraan guru dan dosen. Rancangan yang ada sekilas seakan-akan berpihak pada kesejahteraan guru dan dosesn, namun dicurigai juga mengandung maksud menyamakan profesi guru dan dosen seperti buruh di pabrik.
Di antara pihak yang menolak RUU Sisdiknas tersebut adalah Aliansi Penyelenggara Pendidikan Indonesia (APPI) dengan argumentasi tidaknya adanya penyebutan frasa 'madrasah' dalam RUU tersebut. Penghapusan frasa ‘madrasah’ dalam RUU Sisdiknas dianggap tidak sesuai dengan teks dan spirit UUD 1945 pasal 31 ayat 3 dan 5 juga sebagai bentuk penegasian lembaga pendidikan bercorak Islam tersebut yang telah eksis sejak sebelum Republik ini berdiri. Penolakan tegas juga datang dari Forum Pendidikan Tenaga Honorer Swasta Indonesia (FPTHSI) dengan salah satu argumentasinya bahwa guru non-ASN akan dikelola berdasarkan UU Ketenagakerjaan yang dinilai tidak lebih baik dibandingkan dengan UU Guru dan Dosen, terutama dalam kontrak kerja dan upah.
ADVERTISEMENT
Meski memantik reaksi beragam, pemerintah telah resmi mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Perubahan Tahun 2022 kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Usulan tersebut disampaikan dalam pada Rapat Kerja Pemerintah dengan Badan Legislasi, pada Rabu (24/8/2022) lalu. RUU ini pun telah beberapa kali mengalami revisi atas saran dan masukan elemen pendidikan di Indonesia.
Jika dicermati, RUU Sisdiknas membahas penggabungan 3 Undang-Undang terkait pendidikan, yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang dianggap pada sebagian konten sudah tidak lagi relevan dengan kebutuhan pendidikan saat ini. Di samping itu, dengan rencana disahkannya RUU tersebut, maka secara otomatis juga akan mencabut ketiga UU tersebut yang telah berlaku sejak 2003 lalu.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari pro dan kontra tentang pembahasan dan pengesahan RUU Sisdiknas, penulis menelaah setidaknya ada 10 aspek positif yang diusung dalam RUU ini. Pertama, perluasan program wajib belajar. Pada UU Sisdiknas cakupan wajib belajar adalah pendidikan dasar 9 tahun. Pada praktiknya, perluasan wajib belajar ke pendidikan menengah kerap dilakukan di daerah tanpa memastikan kualitas pendidikan dasar. Pada RUU Sisdiknas, program wajib belajar menjadi 13 tahun dimulai dari 10 tahun pendidikan dasar (prasekolah dan kelas 1-9) lalu 3 tahun pendidikan menengah. Perluasan ke pendidikan menengah dilakukan secara bertahap pada daerah yang kualitas pendidikan dasarnya telah memenuhi standar.
Kedua, nomenklatur satuan pendidikan dapat disesuaikan. Pada UU Sisdiknas yang berlaku saat ini, penamaan satuan pendidikan seperti sekolah dasar, madrasah ibtidaiyah, sekolah menengah pertama, madrasah tsanawiyah, sekolah menengah pertama, madrasah aliyah, dan lainnya terdapat di dalam UU, sehingga nomenklatur yang ada tidak dapat diubah. Sedangkan, pada RUU sekolah, madrasah, pesantren, dan satuan pendidikan keagamaan tingkat dasar dan menengah diatur sebagai bentuk satuan pendidikan tingkat dasar dan menengah dalam batang tubuh RUU Sisdiknas. Nomenklatur sekolah dasar, madrasah ibtidaiyah, sekolah menengah pertama, madrasah tsanawiyah, sekolah menengah pertama, madrasah aliyah, dan lainnya menjadi contoh dalam penjelasan, sehingga pemerintah dapat menyesuaikan nomenklatur tersebut jika diperlukan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, definisi guru menjadi lebih inklusif. Pada UU yang berlaku saat ini, pendidik pada PAUD, pendidikan kesetaraan, dan pendidikan pesantren formal tidak mendapat pengakuan sebagai guru. Pada RUU yang baru, individu yang menjalankan tugas selayaknya guru dan memenuhi persyaratan akan diakui sebagai guru. Dengan demikian, pendidik pada PAUD 3-5 tahun, pendidik pada pendidikan kesetaraan, dan pendidik dalam pesantren formal mendapat pengakuan dan haknya sebagai guru.
Keempat, penghasilan layak bagi guru dan dosen. Pada UU Sisdiknas, hanya guru dan dosen yang sudah memiliki sertifikasi yang berhak mendapatkan tunjangan profesi. Sedangkan pada RUU Sisdiknas, guru dan dosen yang sudah mengajar, tetapi belum memiliki sertifikat pendidik berhak langsung mendapakan penghasilan yang layak. Guru dan dosen ASN juga berhak mendapatkan penghasilan yang layak sesuai Undang-Undang ASN. Sedangkan guru dan dosen lainnya berhak mendapatkan penghasilan yang layak sesuai Undang-Undang Ketenagakerjaan.
ADVERTISEMENT
Kelima, pendidikan Pancasila menjadi mata pelajaran wajib. Pada UU Sisdiknas, Pancasila bukan merupakan muatan maupun mata pelajaran wajib di kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Pada RUU Sisdiknas, pendidikan Pancasila menjadi mata pelajaran wajib bersama dengan pendidikan agama, dan Bahasa Indonesia. Selain mata pelajaran tersebut, juga ada muatan wajib matematika, IPA, IPS, seni budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kecakapan hidup, dan muatan lokal.
Keenam, perguruan tinggi makin fokus mencapai visi dan misi lembaga. Pada UU Sisdiknas saat ini, Tridarma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat) diterapkan secara seragam pada semua perguruan tinggi. Sedangkan, pada RUU Sisdiknas, perguruan tinggi dapat menentukan proporsi pelaksanaan Tridarma sesuai dengan visi, misi, dan mandate lembaga masing-masing.
ADVERTISEMENT
Ketujuh, penguatan otonomi perguruan tinggi negeri. Pada UU Sisdiknas saat ini, perguruan tinggi negeri (PTN) memiliki tingkat otonomi yang berbeda-beda, yaitu satuan kerja badan layanan umum dan badan hukum. Pada RUU Sisdiknas, semua PTN akan berbentuk PTN Badan Hukum untuk mengakselerasi transformasi layanan dan kualitas pembelajaran. Hal ini tidak mengurangi dukungan pembiayaan dari pemerintah dan afirmasi terhadap calon mahasiswa dari keluarga tidak mampu.
Kedelapan, mobilitas pelajar pesantren formal dengan satuan pendidikan lain semakin mudah. Pada UU saat ini, pesantren diatur secara terpisah dari sistem pendidikan nasional. Lulusan pesantren formal seringkali kesulitan jika ingin pindah ke sataun pendidikan lain di luar pesantren. Pada RUU yang diusulkan, standar nasional pendidikan berlaku pada keseluruhan jalur pendidikan formal, termasuk pesantren formal. Lulusan pesantren formal bisa lebih mudah pindah ke sekolah, madrasah, maupun perguruan tinggi. Hal ini juga berlaku sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Kesembilan, pendanaan wajib belajar semakin jelas. Pada UU Sisdiknas, satuan pendidikan negeri seringkali menghadapi masalah jika masyarakat ingin berkontribusi secara sukarela, misalnya dapat diklaim sebagai pungutan liar. Sedangkan, pada RUU Sisdiknas pemerintah berkomitmen mendanai penyelenggaraan wajib belajar, sehingga satuan pendidikan negeri tidak perlu memungut biaya, namun, masyarakat dapat berkontribusi secara sukarela tanpa paksaan dan ikatan.
Kesepuluh, Standar Nasional Pendidikan (SNP) lebih sederhana. Pada UU Sisdiknas saat ini, SNP diatur secara rinci ke dalam 8 standar sehingga peraturan turunannya terlalu mengikat dan cenderung bersifat administratif. Pada pendidikan tinggi, SNP yang berlaku berjumlah 24, yaitu 8 standar untuk masing-masing darma pada Tridarma perguruan tinggi. Sedangkan pada RUU Sisdiknas, SNP disederhanakan menjadi 3 standar, yaitu input, proses, dan capaian. Pada pendidikan tinggi, SNP yang berlaku berkurang dari 24 menjadi 9, yaitu 3 standar untuk masing-masing darma pada Tridarma.
ADVERTISEMENT
Meski penulis dalam tulisan ini lebih banyak mengulik aspek positif pada RUU Sisdiknas, namun sebagai produk manusia yang akan dipersembahkan untuk mengatur sistem pendidikan nasional tentu tak luput dari kekurangan. Maka, sikap terbuka pemerintah, dalam hal ini Kemendikbudristek, perlu diperluas untuk menerima masukan sebanyak mungkin dari para pemangku pendidikan di tanah air untuk menyempurnakan aspek yang dinilai masih kurang dan tidak relevan. Kejujuran dan ketulusan semua pihak dalam ikhtiar menghadirkan UU Sisdiknas baru yang komprehensif dan berorientasi pada kemaslahatan bangsa dan negara sangat diperlukan agar pendidikan tanah air semakin maju dan menghasilkan generasi Indonesia yang bermutu. Semoga.