Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.1
Konten dari Pengguna
Representasi Anak Muda setelah Revolusi dalam Novel Awal dan Mira
8 Mei 2022 10:37 WIB
Tulisan dari Syaimah Kusnari Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam kehidupan bermasyarakat tentunya tidak lepas dari lika-liku perjalanan. Salah satunya adalah revolusi pasca kemerdekaan yang dialami oleh bangsa Indonesia. Revolusi adalah perubahan penyelenggaraan negara (pemerintahan atau kondisi sosial) yang dilakukan dengan kekerasan (seperti dengan perlawanan bersenjata). Tidak bisa dipungkiri ketika sebuah negara yang baru merdeka akan mengalami banyak masalah yang harus segera diselesaikan. Hal ini tidak hanya dihadapi oleh pemerintah, tetapi masyarakat juga banyak membuat asumsi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Situasi pasca-revolusioner terjadi pada 1950-an. Masa ini menjadi semangat kaum muda dan tua untuk mengambil pelajaran dari setiap peristiwa kelam yang mereka alami. Ini adalah kesempatan bagi para penulis untuk menciptakan berbagai karya sastra dengan latar belakang revolusioner.
ADVERTISEMENT
Karya sastra merupakan hasil penggambaran suatu peristiwa pada masanya. Dalam hal ini karya sastra berupa novel berjudul Awal dan Mira karya Utuy Tatang Sontani yang menceritakan tentang kondisi kaum muda pasca revolusi. Utuy Tatang Sontani dikenal sebagai penulis drama sastra, penulis cerita pendek, dan novelis. Ia lahir di Cianjur, Jawa Barat pada 31 Mei 1920. Utuy Tatang Sontani disebut sebagai pembaharu dalam penulisan drama di Indonesia, karena ia adalah seorang penulis yang produktif dan menghasilkan karya-karya yang berkualitas.
Dalam hal ini, penulis akan fokus pada kondisi yang dihadapi para tokoh dalam novel Awal dan Mira. Novel ini menceritakan kisah cinta seperti Romeo dan Juliet, jika kisah cinta mereka terhalang oleh konflik keluarga, cinta Awal dan Mira dihadapkan pada kenyataan pahit akibat peperangan. Namun, di balik kisah cinta Awal dan Mira, novel ini juga menggambarkan kondisi anak muda pasca revolusi.
ADVERTISEMENT
Novel ini diawali dengan gambaran kondisi tempat tinggal Mira setelah perang dan di depannya dibangun kedai kopi yang terbuat dari bambu kecil, di bawahnya diletakkan puing-puing reruntuhan pasca perang. Mira terkenal sebagai pedagang kopi yang cantik. Oleh karena itu, kedai kopi Mira selalu dikunjungi para pria. Tak jarang para pria yang berlama-lama di kedai kopi Mira tidak hanya untuk minum kopi, tapi juga untuk melihat segarnya pemandangan kecantikan Mira.
Kecantikan Mira membuat tokoh Awal ingin segera memilikinya. Namun, Mira selalu menghindar saat Awal datang ke kedai kopi miliknya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Mira! Orang itu kiranya Den Awal.”
“Katakan saja saya tidak ada!”
Awal kemudian duduk membelakangi kedai kopi, dan dia langsung mendengar suara radio. Awal menyuruh Ibu Mira mematikan radio, setelah mendengar penyiar mengatakan hal berikut.
ADVERTISEMENT
“adalah sudah menjadi kewajiban kita kaum wanita, supaya zaman sekarang ini, setelah kita banyak kehilangan sebagai akibat peperangan, kita kaum wanita mesti lebih giat berjuang berdampingan dengan kaum laki-laki guna membangun masyarakat damai di tanah air kita Indonesia…”.
Kondisi tersebut menggambarkan bagaimana kesulitan dan kesengsaraan perempuan pasca perang. Jadi perempuan harus berjuang untuk bisa berdampingan dengan laki-laki.
Alasan Awal tidak mau mendengar kelanjutan suara dari radio tersebut, karena menurutnya yang disampaikan penyiar hanyalah omong kosong, omongan badut. Badut adalah komedian (dalam pertunjukan dan sebagainya). Istilah badut juga digunakan bagi mereka yang datang ke kedai kopi Mira yang hanya ingin menikmati kecantikannya dan merayu Mira. Seperti figur Si Baju Putih dan Si Baju Biru. Mereka sering datang ke kedai kopi Mira.
ADVERTISEMENT
Kebetulan Si Baju Putih dan Si Baju Biru datang setelah Awal hendak meninggalkan kedai kopi. Mereka tampak terkejut melihat kondisi Awal yang seperti orang gila. Awal digambarkan sebagai pria kurus, pintar, dan berasal dari kelas atas. Si Baju Putih dan Si Baju Biru tidak mempercayai fakta ini, karena mereka menganggap celaka orang-orang kelas atas yang hidup di zaman sekarang ini. Menurutnya, zaman sekarang sudah berubah, tidak seperti zaman perang yang selalu dijunjung tinggi kelas atas. Pada zaman dahulu ketika negara berperang melawan penjajahan, orang-orang kelas atas hanya bersembunyi dan takut mati, tiba-tiba zaman sekarang harus muncul dengan posisi yang besar, karena terlalu besar untuk membutuhkan lebih dari satu istri. Si Baju Putih dan Si Baju Biru mengeluh mengapa orang-orang dari kelas mereka yang bertarung, membawa senjata, dan sering hampir mati karena peluru musuh masih harus hidup dengan kesulitan, tetapi kelas ataslah yang selalu diberikan kesenangan.
ADVERTISEMENT
Belum lama Awal kembali ke kedai kopi Mira dan dia tidak senang, karena para badut membaca suratnya untuk Mira, sehingga perkelahian pun tak terhindarkan. Awal kesal karena Mira tega melihatnya dihina oleh mereka dan tidak membelanya. Awal merasa tidak memiliki pegangan hidup jika bukan karena Mira. Namun, Mira selalu tidak percaya dengan ketulusan cinta Awal untuknya. Alasan Mira tidak menerima niat baik Awal adalah kondisi Mira yang hanya memiliki satu kaki akibat perang. Mira takut jika Awal mengetahui kondisi Mira yang sebenarnya, Awal akan mengubah karakternya. Hingga akhir cerita ketika terjadi perkelahian antara Awal dan Mira yang menghancurkan kedai kopi Mira karena perlakuan Awal, dan kondisi Awal sudah sesak nafas dengan tangannya yang terluka, disanalah Awal mengetahui kondisi Mira yang sebenarnya dan pada akhirnya Awal menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuan Mira dan meninggalkan Mira untuk selamanya, tersisa Mira yang menangis dengan kondisi itu.
ADVERTISEMENT
Melalui novel Awal dan Mira dapat dilihat bagaimana kondisi anak muda pasca revolusi, memang rasa suka cita masih ada karena kemerdekaan namun tidak sedikit kesengsaraan masih dihadapi oleh para tokoh novel. Bagaimana karakter Mira yang merasa minder karena kehilangan satu kaki akibat perang. Karakter awal yang tidak memiliki pegangan hidup kecuali mereka tinggal bersama Mira, dan karakter Si Baju Putih dan Si Baju Biru yang tidak menerima situasi mereka yang selalu menyedihkan meskipun selama perang merekalah yang melepas senjata mereka untuk bertarung musuh dan hampir mati ditembak peluru.
Daftar Pustaka
Bahtiar, Ahmad, dkk. “Revolusi dalam Dua Novel Indonesia: Sebuah Bandingan”.
Buletin Al-Turas. Vol. 25. No. 2. November 2019. hlm. 178.
ADVERTISEMENT
Ensiklopedia Sastra Indonesia. Dalam
http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Utuy_Tatang_Sontani. Diakses pada 29 April 2022 pukul 23:57 WIB.
KBBI Online [Badut]. Dalam https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/badut. Diakses pada
30 April 2022 pukul 2:22 WIB.
KKBI Online [Revolusi]. Dalam https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/revolusi. Diakses
pada 29 April 2022 pukul 23:45 WIB.
Sontani, Utuy Tatang. Awal dan Mira. Jakarta: Balai Pustaka. 2013.