Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Cuan dari Limbah, Sisi Gelap Budaya Thrifting
27 November 2024 20:41 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari syakara febina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Budaya thrifting yang kini semakin populer kerap dipandang sebagai solusi atas masalah konsumerisme yang ditimbulkan oleh industri fast fashion. Namun, di balik narasi hijau tersebut, muncul dilema: apakah thrifting benar-benar menyelamatkan kita dari konsumsi berlebihan, atau justru menjadi ladang cuan baru dengan memanfaatkan limbah pakaian dari luar negeri? Ketika pakaian bekas impor membanjiri pasar lokal, apakah kita sedang merayakan keberlanjutan atau secara tidak sadar menyuburkan masalah lingkungan dan sosial yang lebih kompleks?
ADVERTISEMENT
Dampak Thrifting terhadap Pasar Lokal dan Lingkungan
Pro dan kontra tentang budaya thrifting terus berkembang. Para pendukungnya berpendapat bahwa thrifting dapat mengurangi produksi fast fashion sekaligus menjadi solusi bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk mendapatkan pakaian yang masih layak pakai dengan harga terjangkau.
Namun, kritik terhadap thrifting juga semakin nyaring. Seorang kreator di TikTok, @mfgcustom, menyebutkan bahwa impor pakaian bekas tidak hanya “merusak harga pasar fashion lokal,” tetapi juga menjadi “sarana penyebaran penyakit, berkontribusi pada jejak karbon dan pencemaran lingkungan, serta mengurangi kesempatan kerja di industri garmen lokal.”
Pakaian bekas impor yang berlimpah di pasar lokal memang menawarkan harga murah, tetapi efeknya terhadap industri lokal tidak bisa diabaikan. Daya saing produk dalam negeri menjadi terganggu, dan industri garmen domestik kehilangan momentum untuk berkembang. Akibatnya, pekerja lokal yang mengandalkan sektor ini sebagai mata pencaharian semakin terdesak.
ADVERTISEMENT
Selain itu, tujuan awal thrifting sebagai pilihan berkelanjutan kini mulai dipertanyakan. Beberapa orang membeli barang thrift dengan tujuan berburu merek “branded” dengan harga miring. Fenomena ini menciptakan ketidakadilan di pasar thrift. Barang-barang yang sebelumnya dapat dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah kini menjadi lebih mahal karena tingginya permintaan terhadap barang bermerek.
Tingginya permintaan terhadap barang bermerek menciptakan efek kupu-kupu, di mana penjual barang thrift ikut menaikkan harga jual mereka dengan alasan “barang branded.” Kenaikan harga ini justru menghilangkan esensi thrift sebagai solusi ekonomi bagi masyarakat menengah ke bawah.
Upaya Mempertahankan Esensi Thrifting Sebagai Solusi Berkelanjutan
Bagaimanapun, thrifting tidak sepenuhnya salah. Ia tetap menawarkan alternatif yang lebih ramah lingkungan dibandingkan fast fashion. Namun, dengan semakin banyaknya penjual yang menaikkan harga, menimbulkan pertanyaan: Bagaimana cara mengatasi masalah ini?
ADVERTISEMENT
Solusinya adalah konsumen harus mulai mengadopsi pola pikir yang lebih kritis dan bertanggung jawab. Saat membeli barang thrift, sebaiknya fokus pada kegunaannya, bukan sekadar merek atau nilai jual. Pastikan hanya membeli barang yang benar-benar dibutuhkan. Dengan cara ini, konsumen dapat menjaga esensi thrifting sebagai solusi berkelanjutan, bukan penyebab baru ketimpangan harga atau ketergantungan pada pakaian bekas impor.
Selain itu, upaya memperkuat industri garmen lokal juga penting. Dukungan terhadap produk lokal, inovasi daur ulang limbah tekstil domestik, serta kebijakan untuk mengurangi impor pakaian bekas adalah langkah nyata yang dapat diambil. Dengan ini, thrifting dapat tetap menjadi solusi yang ramah lingkungan tanpa menghancurkan industri lokal atau menciptakan pasar yang terlalu berorientasi pada konsumerisme.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, thrifting adalah tentang bagaimana kita, sebagai konsumen, mengambil keputusan yang bijak dan bertanggung jawab. Dengan tetap menjaga esensinya sebagai solusi berkelanjutan, budaya ini dapat menjadi bagian dari upaya menciptakan gaya hidup yang sadar lingkungan tanpa mengorbankan kesejahteraan industri lokal dan masyarakat yang membutuhkan.
Syakara Febina, mahasiswa Sastra Inggris UIN Jakarta.