Reiligi Kaharingan: Jejak Bangsa Austronesia di Asia Tenggara Pada Orang Dayak

Ade Syalung Maisyah Putri
Mahasiswa Universitas Jember, Pendidikan Sejarah
Konten dari Pengguna
1 April 2024 14:29 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ade Syalung Maisyah Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Orang Dayak, sebagai penduduk tertua di Kalimantan, masih mempertahankan dengan kuat tradisi nenek moyang mereka. Dari berbagai data etnografi yang masih ada, kepercayaan kepada roh leluhur menjadi salah satu tradisi yang menonjol di tengah arus modernisasi. Penulisan ini bertujuan untuk menyelidiki evolusi agama Kaharingan sebagai bagian dari warisan budaya Austronesia yang masih terus berlanjut di wilayah Kalimantan. Kehadiran perahu sebagai alat transportasi air dan lambang perjalanan roh telah ada sejak berabad-abad bahkan mungkin ribuan tahun yang lalu. Di Kalimantan, motif perahu terlihat pada lukisan gua di Pegunungan Meratus bagian tenggara, seperti yang terdokumentasi di Gua Jauhari 1 di Kalumpang Hulu, Kotabaru. Berdasarkan temuan arang dari ekskavasi di Gua Jauhari 1 yang diperkirakan bersamaan dengan lukisan perahu, perkiraan usianya mencapai 1500 BP atau sekitar tahun 500 Masehi. Selain di Kotabaru, di wilayah Pegunungan Meratus sisi tenggara, lukisan perahu juga ditemukan di Liang Kacamata, Kecamatan Mentewe, Kabupaten Tanah Bumbu. Di pantai timur Kalimantan, jejak lukisan perahu ditemukan di Gua Jeriji Saleh di Tanjung Mangkalihat, Kutai Timur, yang diperkirakan dibuat sekitar 40.000 BP, menandai kedatangan orang Austronesia ke wilayah Indonesia.
Sumber: dokumentasi pribadi
Sebagian besar masyarakat Dayak saat ini telah mengadopsi agama Kristen, namun di beberapa daerah pedalaman masih banyak yang mempertahankan kepercayaan pada leluhur mereka. Istilah untuk kepercayaan ini bervariasi antara daerah, seperti Hedon, Telon, atau hanya disebut sebagai agama leluhur atau agama asli. Orang Dayak Ngaju, Maanyan, Lawangan di Kalimantan Tengah, menyebut kepercayaan turun-temurun mereka sebagai Kaharingan. Nama ini berasal dari kata dasar "haring" dengan awalan "ka-" dan akhiran "-an," yang secara harfiah mengartikan keberadaan yang abadi atau sesuatu yang ada tanpa asal yang jelas tetapi selalu hadir di sekitar. Istilah Kaharingan mulai digunakan pada abad ke-20 oleh pemimpin adat dan intelektual Dayak Ngaju sebagai identitas keagamaan bagi masyarakat Dayak, khususnya di Kalimantan Tengah.
ADVERTISEMENT
Salah satu tradisi unik masyarakat Dayak Ngaju yang memeluk Kaharingan adalah dalam memandang kematian. Dalam konsep Kaharingan, kematian dianggap sebagai fase peralihan di mana roh yang meninggal harus disiapkan dan dipandu menuju alam roh. Kematian dipandang sebagai proses kelahiran kembali menuju kehidupan baru, bersatu dengan roh leluhur di "lewu tatau" yang dipercayai sebagai tempat yang damai, sejahtera, dan penuh kebahagiaan. Untuk mencapai tujuan ini, roh harus melewati serangkaian perjalanan panjang dan penuh rintangan, sehingga keluarga yang ditinggalkan harus melakukan ritual untuk memandu roh agar mencapai tempat yang dituju.
Perjalanan roh dimulai setelah kematian seseorang, ketika mereka dikuburkan dalam tanah menggunakan raung atau peti mati berbentuk perahu. Orientasi kuburan primer masyarakat Dayak adalah barat-timur, dengan kepala di sisi timur yang menghadap ke barat (arah matahari terbenam), sebagai simbol awal kehidupan baru, seperti matahari terbenam di barat yang akan muncul kembali di timur. Kehidupan dalam kuburan ini disebut "lewu pasahan raung." Dari sana, roh melanjutkan perjalanan ke "lewu nalian lanting" sebagai tempat penantian. Dari tempat ini, roh menunggu untuk dipandu menuju alam roh (lewu tatau) melalui upacara penguburan kedua yang disebut "tiwah."
ADVERTISEMENT
Upacara Tiwah biasanya diadakan oleh mereka yang mampu, tetapi bagi yang kurang mampu, ada versi kecil dari upacara tersebut yang disebut "nyorat." Dalam Tiwah kecil, inti dari ritualnya adalah mengantarkan arwah menuju negeri asalnya, yang disimbolkan dengan kehadiran "banama tingang," yaitu perahu yang memiliki ujung berbentuk kepala burung enggang dan ekor naga. Dengan kehadiran perahu banama tingang, pemimpin upacara, yang biasa disebut sebagai balian atau pesor, menceritakan kembali kehidupan si mati serta perjalanan rohnya menuju negeri asalnya.