Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pilkada DKI Jakarta 2024 Sepi Pemilih: Siapa yang Salah, Sistem atau Kita?
1 Desember 2024 14:46 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Syalwa Kaifa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pilkada DKI Jakarta sepi partisipasi. Angka golongan putih (golput) diprediksi mencapai lebih dari 45 persen, yang artinya tertinggi di Jawa dan bahkan mencetak rekor sejarah sepanjang pesta demokrasi di ibu kota Indonesia. Diketahui, Pilkada Jakarta 2024, terdapat tiga paslon yang maju menjadi gubernur dan wakil gubernur, yakni nomor urut 1 Ridwan Kamil-Suswono, nomor urut 2 Dharma Pongrekun-Kun Wardana, dan nomor urut 3 Pramono Anung-Rano Karno.
ADVERTISEMENT
Menurut pakar hukum kepemiluan Universitas Indonesia, Titi Anggraini, rendahnya partisipasi pemilih pilkada serentak 2024 merupakan hasil dari berbagai masalah yang perlu diperbaiki dalam sistem.
Menurut Titi Anggraini faktor penyebab rendahnya partisipasi pemilih pada pilkada di DKI Jakarta pada tahun 2024 yaitu adanya kelelahan di antara pemilih serta penyelenggaraan pemilu dan partai politik serta pilkada ini terjadi dalam kurun waktu yang berdekatan. Sehingga menyebabkan kurangnya waktu yang diberikan kepada para pemilih untuk dapat mengevaluasi para calon Gubernur dan Wakil Gubernur.
Faktor kedua yaitu, banyak paslon kepala daerah yang mencalonkan diri belum sejalan dengan aspirasi atau mewakili pilihan rakyat. Bahkan, ada calon kepala daerah yang terkesan dipaksakan karena
diambil dari wilayah lain. Akibatnya, calon tersebut tidak sejalan dengan aspirasi daerah.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, Titi juga berpendapat bahwa penegakan hukum terkait pelanggaran pidana pilkada tidak dilakukan secara optimal oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Hal ini dianggap tidak menunjukkan progress penangan terkait pelanggaran yang terjadi selama masa pilkada. Dapat dilihat dari banyaknya politik uang yang semakin luas dilakukan dengan berbagai modus dan cara.
Sehingga dari faktor-faktor tersebut menyebabkan angka golongan putih (golput) atau kelompok yang tidak memilih semakin tinggi. Antara lain, jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang lebih sedikit dibanding Pemilu 2024.
Tahun 2024 adalah tahun yang sangat sibuk secara politik dengan pelaksanaan Pilpres dan Pileg yang penuh gejolak kemudian disusul dengan Pilkada. Rentetan agenda ini berpotensi membuat masyarakat merasa jenuh karena terus-menerus terpapar isu politik sehingga memunculkan usulan pemisahan tahun penyelenggaraan Pemilu dengan Pilkada.
ADVERTISEMENT
Titi Anggraini menjelaskan bahwa meskipun tingkat golput yang tinggi tidak mempengaruhi sahnya pemenang Pilkada Jakarta, hal itu memberikan pesan penting bagi pemimpin yang terpilih. Pemenang pemilu dihitung berdasarkan suara sah, bukan jumlah golput. Namun, angka golput yang tinggi bisa menjadi sinyal bahwa banyak pemilih yang tidak puas dengan pilihan yang ada.
Menurutnya, situasi seperti ini bisa merusak legitimasi pemimpin yang terpilih. Bagi politisi yang memiliki komitmen dan moralitas tinggi, hal ini akan menjadi masalah serius. Mereka akan berusaha memperbaiki kinerja dan reputasi mereka di masa depan untuk merespons ketidakpuasan tersebut.
Dalam hal ini tentunya pihak terkait harus melakukan evaluasi secara menyeluruh mengenai sistem untuk pemilihan. Titi berpendapat bahwa, setidaknya harus ada jeda dua tahun antara satu sama lain sehingga ada rentang untuk melakukan evaluasi atas pemilu sebelum kemudian melanjutkan penyelenggaraan tahapan pilkada.
ADVERTISEMENT
Untuk menanggulangi maraknya politik uang, Bawaslu dan pihak berwenang lainnya perlu meningkatkan pengawasan dan menindak tegas pelanggaran yang terjadi selama masa Pilkada. Kampanye anti-politik uang yang intensif di media sosial dan media massa juga penting agar masyarakat lebih sadar akan dampak negatif dari praktik tersebut .
Diperlukan upaya kolektif dari pemerintah, penyelenggara pemilu, kandidat, dan masyarakat untuk menciptakan iklim politik lebih segar, inklusif, dan berorientasi pada solusi. sehingga fenomena menurunnya partisipasi pemilihan dapat teratasi dengan baik.