Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Edisi Kritik Obral Gelar Akademik
2 Agustus 2024 11:41 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Syamsul Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Syamsul Kurniawan (Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam, IAIN Pontianak)
ADVERTISEMENT
Gelar akademik, dalam masyarakat modern, sering kali dianggap sebagai tolok ukur utama kompetensi dan kredibilitas seseorang. Seiring dengan perkembangan dunia pendidikan, semakin banyak orang yang berlomba-lomba mengejar gelar tinggi, baik itu S1, S2, hingga S3. Namun, di balik maraknya perolehan gelar akademik, muncul sebuah dilema: apakah gelar-gelar ini benar-benar mencerminkan kualitas kepemimpinan yang diperlukan dalam menghadapi berbagai tantangan kontemporer? Sebagaimana dimafhumi, kualitas kepemimpinan selayaknya melekat pada profil-profil penyandang gelar akademik. Alih-alih memiliki integritas selayaknya cendekiawan, malah yang terjadi “berdiri angkuh” di menara gading.
Baru-baru ini, isu mengenai obral gelar profesor mencuat ke permukaan, dan semakin marak dibincangkan ketika Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid, mengambil sikap tegas dengan meminta agar gelar profesornya tidak dicantumkan sebagai bentuk protes terhadap fenomena ini. Langkah ini ia ambil sebagai bentuk sikap kritisnya terhadap krisis integritas di kalangan pemilik gelar akademik. Gelar profesor, yang seharusnya menjadi simbol pencapaian akademik tertinggi, justru menjadi komoditas yang diperdagangkan, merusak nilai integritas dan kredibilitas akademik.
ADVERTISEMENT
Mengapa terjadi?
Untuk memahami lebih dalam dilema ini, kita dapat merujuk pada teori habitus dari Pierre Bourdieu. Habitus, menurut Bourdieu, adalah sistem disposisi yang dimiliki individu sebagai hasil dari internalisasi struktur sosial dan pengalaman hidup. Habitus membentuk cara berpikir, bertindak, dan merasa seseorang, serta menentukan cara mereka memahami dunia dan berinteraksi di dalamnya.
Dalam konteks gelar akademik dan krisis kepemimpinan, habitus akademik yang terbentuk di lingkungan pendidikan tinggi sering kali menekankan pentingnya pencapaian formal dan status sosial yang menyertainya. Ini menciptakan budaya di mana gelar akademik dianggap sebagai simbol prestise dan otoritas, terlepas dari apakah pemiliknya memiliki integritas moral dan kemampuan kepemimpinan yang memadai. Fenomena obral gelar profesor adalah manifestasi dari habitus ini, di mana nilai intrinsik pendidikan dan pengetahuan dikorbankan demi pencapaian simbolis.
ADVERTISEMENT
Kualitas integritas penyandang gelar akademik selayaknya mengacu pada profilnya yang mengedepankan nilai-nilai luhur, keadilan, dan keberanian untuk menyuarakan kebenaran, meskipun itu berarti harus menghadapi risiko besar. Penyandang gelar akademik dengan integritasnya selayaknya bukan hanya mengandalkan pengetahuan dan keterampilan teknis, tetapi juga memiliki integritas moral dan visi yang jelas tentang kebaikan bersama. Sayangnya, banyak pemilik gelar akademik yang terjebak dalam formalitas dan birokrasi, sehingga kehilangan esensi dari integritas yang selayaknya dari penyandang gelar akademik itu sendiri.
Mengubah Atmosfer
Habitus akademik yang terbentuk dalam atmosfer pendidikan tinggi memang perlu diubah untuk mendorong munculnya para penyandang gelar akademik yang tidak hanya kompeten secara akademis, tetapi juga memiliki integritas dan komitmen terhadap nilai-nilai luhur. Kurikulum pendidikan harus dirancang untuk tidak hanya menekankan pengetahuan teknis, tetapi juga mengembangkan karakter dan moralitas mahasiswa. Pendidikan karakter harus menjadi bagian integral dari proses pembelajaran, sehingga lulusan tidak hanya memiliki gelar, tetapi juga siap menjadi profesional yang berintegritas di bidangnya.
ADVERTISEMENT
Kasus di sebagian perguruan tinggi pada hari ini menunjukkan bahwa gelar akademik bisa disalahgunakan dan menjadi alat pencitraan semata, tanpa diiringi dengan tanggung jawab moral. Rektor UII, Fathul Wahid, dalam hal ini perlu diapresiasi, sebab berusaha mengembalikan esensi dan kehormatan gelar akademik dengan menolak mencantumkan gelar profesornya, menekankan bahwa integritas dan kualitas lebih penting daripada gelar itu sendiri. Ini adalah contoh nyata dari kepemimpinan profetik yang kita butuhkan, di mana keberanian untuk menentang ketidakadilan dan penyalahgunaan kekuasaan menjadi prioritas. Model kepemimpinan ini kian langka di tengah-tengah kita.
Selain itu, civitas akademika juga harus lebih kritis dalam menilai kepemimpinan di perguruan tingginya. Gelar akademik seharusnya bukan satu-satunya parameter dalam menilai kemampuan seorang pemimpin atau calon pemimpin di perguruan tinggi. Pengalaman, track record, dan terutama integritas moral harus menjadi pertimbangan utama. Dengan demikian, kita dapat mendorong lahirnya pemimpin-pemimpin yang tidak hanya pintar secara akademis, tetapi juga memiliki jiwa profetik yang mampu memandu kita menuju masa depan yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, gelar akademik memang penting, tetapi ia bukanlah segalanya. Penyandang gelar akademik membutuhkan lebih dari sekadar pengetahuan; ia membutuhkan hati yang tulus, keberanian untuk bertindak benar, dan komitmen untuk melayani masyarakat dengan integritas. Mari kita bersama-sama mendorong perubahan atmosfer ini, demi masa depan perguruan tinggi di Indonesia yang lebih cerah.***