Konten dari Pengguna

Jalan Eco-Sufisme Menjaga Bumi

Syamsul Kurniawan
Syamsul Kurniawan yang merupakan dosen IAIN Pontianak ini, merupakan lulusan tercepat dan terbaik Program Doktoral (S3) Studi Islam, Konsentrasi Kependidikan Islam, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2021.
29 September 2024 15:29 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syamsul Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh: Syamsul Kurniawan (Dosen dan Peneliti di IAIN Pontianak)
KRISIS ekologis tidak lagi sebuah ancaman spekulatif yang jauh di depan sana, tetapi telah hadir nyata di depan mata kita. Bukan hanya sebuah fenomena, tetapi sebuah kenyataan yang memengaruhi kehidupan jutaan manusia di seluruh dunia. Laporan terbaru dari Mongabay yang dirilis pada Hari Lingkungan Hidup 2024 menggarisbawahi betapa gentingnya situasi ini. Degradasi lahan semakin meluas, menciptakan efek berantai yang mengancam keberlanjutan ekosistem sekaligus menempatkan kehidupan masyarakat dalam bahaya besar. Laporan tersebut mengungkapkan bahwa penurunan kualitas lahan tidak hanya menghancurkan mata pencaharian, tetapi juga menyebabkan krisis pangan yang akut serta memperburuk kemiskinan, terutama di negara-negara berkembang.
ADVERTISEMENT
Membaca laporan ini, saya tak bisa menahan rasa khawatir yang mendalam. Kita, sebagai penghuni bumi, tampaknya telah terjebak dalam jalan yang salah. Krisis yang sedang kita hadapi bukan hanya sekadar masalah teknis atau ekologi, tetapi juga mencerminkan krisis spiritual yang lebih mendalam—sebuah keterasingan manusia dari alam dan Tuhan. Di sinilah Eco-Sufisme menawarkan perspektif alternatif, yang memungkinkan kita melihat krisis ekologis ini dari lensa spiritual dan ekologis sekaligus, memberikan jawaban yang lebih holistik dan mendalam.
Krisis Ekologis dalam Perspektif Sufisme
Dalam pandangan sufisme, krisis ekologis ini bukan hanya sekadar hasil dari kesalahan teknis atau kebijakan yang salah. Ada dimensi yang lebih mendalam, yakni krisis spiritual yang telah mencabut manusia dari akar mereka. Seyyed Hossein Nasr, dalam karyanya Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man (2007), menegaskan bahwa masalah ekologis yang kita hadapi hari ini berakar pada krisis spiritual manusia modern. Materialisme yang berlebihan dan eksploitasi tanpa batas telah membuat manusia lupa bahwa alam adalah refleksi dari Yang Maha Kuasa. Alam tidak lagi dilihat sebagai ayat Tuhan, tetapi semata sebagai objek yang bisa dieksploitasi tanpa henti.
ADVERTISEMENT
Pandangan sufistik menawarkan kebijaksanaan yang berbeda. Dalam sufisme, alam dipahami sebagai tanda-tanda kehadiran Tuhan, sebagai manifestasi dari Rahmat-Nya. Merusak alam berarti merusak hubungan spiritual kita dengan Tuhan. Dalam konteks ini, krisis ekologis juga adalah krisis spiritual, di mana manusia telah kehilangan pemahaman bahwa mereka adalah khalifah—wakil Tuhan di muka bumi—dengan tanggung jawab untuk menjaga kelestarian alam. Degradasi lahan, penggundulan hutan, serta pencemaran lingkungan yang kita saksikan hari ini hanyalah cerminan dari hilangnya hikmah dalam tindakan manusia. Sebagaimana yang sering ditekankan oleh para sufi, manusia sejati tidak hanya tahu apa yang benar, tetapi juga bertindak sesuai dengan pengetahuan tersebut.
Jalaluddin Rumi, dalam renungannya, mengingatkan kita akan keterikatan manusia dengan alam dan Tuhan:
ADVERTISEMENT
"Bukan hanya sungai-sungai yang mengalir, tetapi juga rahmat Tuhan mengalir ke setiap sudut jiwa manusia yang terbuka kepada-Nya."
~ (Masnawi, Buku 5)
Rumi menegaskan bahwa alam bukan hanya entitas fisik, melainkan saluran bagi rahmat Ilahi. Manusia yang sadar akan hakikat ini tidak akan merusak alam, karena ia memahami bahwa menjaga alam adalah bagian dari menjaga rahmat yang diberikan Tuhan kepada makhluk-makhluk-Nya.
Hikmah sebagai Landasan Eco-Sufisme
Hikmah, dalam tradisi sufisme, adalah pengetahuan yang mendalam, yang tidak hanya mencakup apa yang benar, tetapi juga bagaimana kita harus bertindak dengan kebijaksanaan. Dalam konteks eco-sufisme, hikmah menjadi dasar yang sangat penting. Seperti yang dijelaskan dalam laporan Mongabay, degradasi lahan adalah hasil dari ketidakmampuan manusia untuk hidup dengan hikmah. Alam telah direduksi menjadi sekadar sumber daya, tanpa memahami bahwa ia juga merupakan cermin dari Rahmat Ilahi.
ADVERTISEMENT
Eco-Sufisme memanggil kita untuk melihat alam dengan cara yang berbeda, yakni sebagai amanah yang harus dijaga dengan tanggung jawab penuh, tidak hanya untuk kepentingan manusia saat ini, tetapi juga demi kelangsungan hidup generasi mendatang. Alam bukanlah milik kita untuk dieksploitasi, melainkan sebuah amanah yang harus dipelihara dengan penuh kesadaran spiritual. Dalam sufisme, takhalli (pengosongan diri dari sifat buruk), tahalli (pengisian diri dengan sifat baik), dan tajalli (penyinaran atau pencerahan spiritual) adalah proses spiritual yang dapat diterapkan dalam konteks ekologi. Melalui takhalli, kita membersihkan diri dari perilaku yang merusak alam. Melalui tahalli, kita mengembangkan sikap yang selaras dengan alam, dan melalui tajalli, kita mencapai pencerahan spiritual di mana kita memahami peran kita sebagai khalifah Tuhan di muka bumi.
ADVERTISEMENT
Bagaimana hikmah ini dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari? Salah satu cara yang sangat konkret adalah melalui aksi-aksi nyata seperti reboisasi, pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan, serta upaya-upaya lainnya yang mendorong pelestarian alam. Namun, apa yang membedakan pendekatan eco-sufisme dengan gerakan-gerakan ekologis lainnya adalah adanya dimensi spiritual yang mendalam dalam setiap tindakan ekologis. Misalnya, ketika masyarakat melakukan reboisasi atau menjaga kebersihan sumber air, mereka tidak hanya melakukannya demi kelestarian fisik lingkungan, tetapi juga sebagai bentuk ibadah kepada Tuhan.
Dalam perspektif eco-sufisme, menjaga alam adalah bagian dari ibadah kepada Sang Pencipta. Hal ini selaras dengan pandangan Sachiko Murata dalam The Tao of Islam (1992), di mana ia menekankan pentingnya harmoni antara Tuhan, manusia, dan alam. Harmoni ini tidak hanya merupakan kondisi ekologis, tetapi juga kondisi spiritual. Krisis ekologis yang kita hadapi hari ini adalah akibat dari hilangnya harmoni tersebut, di mana manusia tidak lagi hidup selaras dengan hukum-hukum alam yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Murata mengajarkan bahwa keseimbangan kosmis dapat dipulihkan jika manusia kembali ke jalan yang penuh hikmah dan keharmonisan.
ADVERTISEMENT
Eco-Sufisme menawarkan jalan yang memungkinkan kita untuk memperbaiki hubungan kita dengan alam, dengan Tuhan, dan dengan sesama manusia. Ini adalah jalan spiritual yang mengajak kita kembali kepada hikmah dan harmoni yang telah hilang, mengajarkan bahwa tindakan ekologis tidak bisa dipisahkan dari kesadaran spiritual. Kita tidak hanya bertindak untuk kepentingan duniawi, tetapi juga sebagai bagian dari tanggung jawab kita sebagai penjaga bumi.
Jalaluddin Rumi, dalam puisinya, juga mengingatkan kita tentang pentingnya menjaga alam sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan:
"Hati yang tercerahkan tidak akan menyakiti pohon atau bunga, karena ia tahu bahwa di sana berdiam Sang Pencipta."
~ (Divan-e Shams-e Tabrizi)
Kutipan ini memperdalam pesan eco-sufisme, yakni bahwa menjaga alam adalah tindakan spiritual yang membawa kita lebih dekat kepada Tuhan. Bagi Rumi, kesadaran ini adalah bagian penting dari perjalanan spiritual menuju kedamaian dan harmoni sejati.
ADVERTISEMENT
Harmoni Antara Tuhan, Alam, dan Manusia: Solusi dari Eco-Sufisme
Pandangan sufistik tentang alam mengajarkan bahwa kehidupan yang seimbang hanya bisa dicapai jika kita hidup dalam harmoni dengan alam dan Tuhan. Ketika kita mengeksploitasi alam secara berlebihan, kita tidak hanya melanggar hukum-hukum ekologis, tetapi juga melanggar hukum-hukum spiritual. Krisis ekologis, sebagaimana diuraikan oleh Murata, adalah panggilan untuk kembali kepada hikmah. Dalam konteks ini, eco-sufisme menawarkan sebuah solusi yang menyeluruh, yakni dengan mengembalikan harmoni antara Tuhan, alam, dan manusia.
Eco-Sufisme mengajarkan bahwa kita harus melihat alam sebagai cerminan dari Rahmat Ilahi, dan bahwa tindakan kita terhadap alam harus selalu dipandu oleh hikmah dan tanggung jawab spiritual. Jalaluddin Rumi, dalam salah satu puisinya, mengatakan:
ADVERTISEMENT
"Lihatlah pohon, lihatlah bunga, dan ingatlah Tuhan yang telah menciptakannya."
~ (Masnawi, Buku 1)
Rumi mengingatkan kita bahwa alam adalah tanda-tanda dari Tuhan, dan bahwa kita harus selalu ingat bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah cerminan dari Rahmat Ilahi. Dalam tradisi sufisme, alam bukan hanya sesuatu yang pasif, tetapi sebuah entitas yang hidup, yang selalu mengingatkan kita akan kehadiran Tuhan.
Eco-Sufisme Sebagai Jawaban Holistik
Eco-Sufisme adalah panggilan untuk hidup dengan kesadaran penuh akan peran kita sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Dalam menghadapi krisis ekologis ini, marilah kita menjadikan hikmah sebagai pemandu utama, dan alam sebagai guru yang senantiasa mengingatkan kita akan kehadiran Sang Pencipta. Dengan demikian, eco-sufisme bukan sekadar teori filosofis, tetapi sebuah praksis yang menyatukan ilmu pengetahuan dan spiritualitas dalam satu kesatuan.
ADVERTISEMENT
Dengan menekankan pentingnya keseimbangan antara Tuhan, manusia, dan alam, eco-sufisme mengajarkan bahwa tanggung jawab kita terhadap lingkungan bukan hanya demi kelangsungan hidup generasi sekarang, tetapi juga sebagai bagian dari kewajiban spiritual kita. Jalaluddin Rumi berkata:
"Seribu jalan menuju Tuhan, aku telah menemukannya di dalam setiap bunga dan setiap pohon yang mekar di ladang-Nya."
~ (Masnawi, Buku 4)
Kutipan ini menyadarkan kita bahwa setiap aspek alam semesta adalah tanda-tanda kehadiran Tuhan, dan menghormatinya berarti kita telah menghormati Sang Pencipta. Eco-Sufisme dengan demikian memberikan cara untuk mempertemukan kembali manusia dengan alam, melalui lensa spiritual, yang tidak hanya akan menyelamatkan ekosistem tetapi juga menyembuhkan jiwa-jiwa manusia yang terasing.
Ketika kita mulai menerapkan prinsip-prinsip eco-sufisme dalam kehidupan sehari-hari—melalui tindakan kecil seperti menanam pohon, menjaga kebersihan lingkungan, dan mengurangi konsumsi sumber daya alam yang berlebihan—kita bukan hanya melindungi bumi ini. Kita juga sedang menjalani perjalanan spiritual menuju harmoni dengan alam dan Tuhan. Melalui jalan ini, kita mungkin menemukan kedamaian batin yang sejati, di mana dunia fisik dan spiritual tidak lagi terpisah, tetapi menyatu dalam satu harmoni kosmis yang sempurna.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, eco-sufisme mengajarkan kepada kita bahwa menjaga alam bukan hanya tanggung jawab ekologis tetapi juga panggilan spiritual. Dalam sebuah dunia yang terjebak dalam eksploitasi tanpa batas, eco-sufisme muncul sebagai jalan baru yang penuh makna—sebuah jalan yang memadukan ilmu pengetahuan, kebijaksanaan, dan cinta terhadap ciptaan Tuhan. Hanya dengan mengikuti jalan ini, kita dapat berharap untuk memulihkan kembali keseimbangan yang hilang dan menghadirkan masa depan yang lebih baik, baik untuk alam maupun untuk umat manusia.***