Konten dari Pengguna

Relaksasi Kredit: Sudah Tepat atau Jauh Melesat?

Syana Nisrina
Malang, Indonesia
26 Juni 2020 16:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syana Nisrina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penulis: Syana Nisrina
zoom-in-whitePerbesar
Penulis: Syana Nisrina
Penulis: Syana Nisrina
Mahasiswa PKN STAN
Corona tak kunjung hilang, perekonomian makin meradang. SARS-CoV-2 atau yang sering kali kita sebut sebagai Virus Corona berhasil mengubah secara keseluruhan tatanan masyarakat di seluruh penjuru dunia selama enam bulan terakhir. Sejak Desember tahun lalu, virus yang pertama kali muncul di Kota Wuhan, China ini menyebar dengan cepat, termasuk Indonesia. Di saat negara lain sudah menemui titik akhir perjumpaannya, angka kasus positif di negara kita makin merajalela. Terhitung terdapat 50.187 kasus positif yang sudah terkonfirmasi di Indonesia per 26 Juni 2020. Keberadaan virus yang masih satu kelompok dengan MERS ini berimbas ke banyak bidang, terutama ekonomi, sosial, dan kesehatan. Hal ini menuntut pemerintah untuk memutar otak dan memberi kebijakan yang dapat meminimalisir kerugian serta menyelamatkan perokonomian nasional.
ADVERTISEMENT
Berbagai upaya dalam menanggulangi dampak pandemi Covid-19 dilakukan oleh pemerintah. Kenaikan total anggaran belanja yang difokuskan untuk kesehatan dan dukungan dunia usaha menyebabkan jumlah uang beredar atau likuiditas berkurang. Dalam merespon hal ini, Bank Indonesia berusaha memberi suntikan dana untuk menambah likuiditas ke perbankan melalui kebijakan quantitative easing, yaitu pelonggaran kebijakan moneter non konvensional di mana bank sentral membeli surat berharga negara berjangka panjang dari pasar terbuka untuk meningkatkan jumlah uang beredar dan mendorong pinjaman serta investasi. Saat ini, Perry Warjiyo, Gubernur Bank Sentral, beranggapan jika cucuran dana sebesar Rp503,8 triliun ini sudah cukup dan likuiditas perbankan dapat dikatakan aman. Nantinya, jika memang dibutuhkan, maka akan sangat memungkinkan bagi bank sentral untuk menambah jumlah tersebut.
ADVERTISEMENT
Kebijakan quantitative easing Bank Indonesia salah satunya diwujudkan dalam bentuk penurunan Giro Wajib Minimum (GWM). Secara harfiah, giro wajib minimum adalah dana atau simpanan minimum yang harus dipelihara oleh bank dalam bentuk saldo rekening giro yang ditempatkan di Bank Indonesia. Dalam penerapannya, GWM merupakan instrumen moneter yang penting untuk mengatur uang beredar di masyarakat yang tentunya akan berdampak secara langsung pada indeks inflasi. Berdasarkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) Nomor 22/10/PADG/2020, giro wajib minimum bagi Bank Umum Konvensional (BUK) turun dari 5,5% menjadi 3,5%, turun dari 4,0% menjadi 3,5% bagi Bank Umum Syariah (BUS), dan giro wajib minimum rata-rata masing-masing masih tetap sebesar 3,0%. Akibat dari penurunan GWM ini, maka akan ada penambahan likuiditas sebesar proporsi penurunan GWM tersebut.
ADVERTISEMENT
Tak mau kalah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) turut membantu meringankan beban masyarakat terutama terkait restrukturisasi kredit yang ada di sektor perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non bank. Dalam sektor perbankan, kebijakannya antara lain memberi penilaian kualitas kredit/pembiayaan/penyediaan dana lain hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga untuk kredit s.d 10 miliar, peningkatan kualitas kredit/pembiayaan sehingga setelah direstrukturisasi menjadi lancar, relaksasi untuk debitur Non-UMKM dan diberlakukan sampai dengan satu tahun setelah ditetapkan, serta restrukturisasi kredit/pembiayaan dengan cara penurunan suku bunga, perpanjangan jangka waktu, pengurangan tunggakan pokok dan bunga, penambahan fasilitas kredit/pembiayaan, dan konversi kredit/pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara. Selama pandemi, batas waktu penyampaian beberapa laporan perbankan dengan posisi 31 Desember 2018 seperti laporan publikasi tahunan, laporan keberlanjutan, laporan pelaksanaan tata kelola, dan laporan keuangan publikasi triwulanan serta laporan hasil evaluasi Komte Audit terhadap pelaksanaan pemberian jasa audit atas informasi keuangan historis tahunan diperpanjang selama dua bulan dari batas waktu berakhirnya kewajiban penyampaian laporan.
ADVERTISEMENT
Meskipun pemerintah telah mengeluarkan POJK 11/POJK 03/2020 sebagai payung hukum kebijakan stimulus perekonomian nasional untuk meringankan beban masyarakat, namun ternyata masih terdapat persoalan dalam pengimplementasiannya. Kendala pertama mengenai kebijakan tersebut adalah pengaturan yang hanya memfasilitasi layanan jasa perbankan seperti bank konvensional dan bank syariah, padahal jika kita dalami lebih lanjut akan terlihat penurunan kemampuan masyarakat dalam membayar kredit lewat perusahaan leasing dan pinjaman online. Perbedaan bisnis model berbasis peer-to-peer (P2P) pada pinjaman online menyebabkan pengaturan mengenai kredit pada perusahaan leasing dan pinjaman tidak dimuat di POJK. Menanggapi hal tersebut, seharusnya dilakukan evaluasi lebih lanjut oleh pemerintah agar pendistribusian bantuan pada masyarakat dapat dilakukan secara merata sehingga semua merasa teringankan bebannya.
ADVERTISEMENT
Permasalahan lainnya adalah bank dan leasing dapat menetapkan kebijakannya sendiri terkait pemberian relaksasi kredit pada debitur. Kebanyakan persetujuan diberikan hanya pada masyarakat yang dikategorikan sebagai pasien dalam pemantauan (PDP) atau sudah merupakan pasien positif Covid-19. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa masyarakat yang tidak terkena Covid-19 atau bukan merupakan pasien dalam pemantauan (PDP) masih mampu menangani kebutuhan keuangan mereka sendiri untuk membayar cicilan dan angsuran. Kriteria seleksi ditentukan agar keputusan yang dianggap OJK sebagai moral hazard tersebut dapat meminimalisir pemberian relaksasi kredit yang tidak tepat. Berdasarkan pelaksanaan di lapangan, ada banyak sekali orang yang terkena imbas dari pandemi, bukan hanya orang yang terkonfirmasi PDP atau positif Covid-19, misalnya terkena PHK, terpaksa menutup toko atau sumber usaha yang menjadi ladang rezekinya karena harus mengikuti prosedur dirumahkan, turunnya pendapatan karena lesunya perekonomian, dan orang-orang yang upahnya harian seperti pedagang kaki lima, pengemudi ojek online, dan banyak lainnya. Pihak-pihak tersebut juga sangat membutuhkan bantuan dari pemerintah sehingga seharusnya terdapat peraturan yang jelas untuk menjamin mereka mendapatkan relaksasi kredit dari bank.
ADVERTISEMENT
Persoalan lainnya adalah pengajuan debitur atas relaksasi kreditnya yang sudah memenuhi peraturan dan persyaratan seperti debitur dengan kredit maksimal 10 miliar dan memiliki kualitas kredit yang lancar namun mendapatkan penolakan dari pihak BUK, BUS, UUS, BPR, dan BPRS. Terkait kasus tersebut, maka dapat terlihat jika mekanisme pengawasan yang ditetapkan untuk OJK belum dilaksanakan sepenuhnya. POJK 11/POJK 02/2020 memang tidak menegaskan fungsi OJK yang seharusnya melakukan pengawasan dan diharapkan pemerintah dapat memperbaiki serta menambahkan hal-hal yang diperlukan dalam peraturan agar kasus seperti itu tidak terjadi lagi.