Agenda Besar di Balik Hari Aksara Internasional

Syarif Yunus
Dosen Unindra - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) - Konsultan - Mhs S3 MP Unpak - Pendiri TBM Lentera Pustaka
Konten dari Pengguna
8 September 2023 8:14 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak belajar ditemani ibu. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak belajar ditemani ibu. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hari Aksara Internasional diperingati tiap 8 September. Sebagai momentum untuk mengingatkan pentingnya budaya literasi dan memajukan agenda keaksaraan. Untuk mewujudkan masyarakat yang literat.
ADVERTISEMENT
Tapi bila mau introspeksi diri, berapa banyak bacaan yang bermanfaat kita lakukan? Lebih banyak mana aktivitas yang bermanfaat berbanding kegiatan yang sia-sia?
Berbagai predikat yang kurang bagus pun disematkan ke Indonesia. Riset World’s Most Literate Nations Ranked (2016) menyatakan Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand di peringkat ke-59 dan di atas Bostwana peringkat ke-61.
Sekalipun bisa diperdebatkan, apa sudah cukup akses bacaan di Indonesia untuk meningkatkan minat baca? Sementara WeareSocial (2017) mengungkap orang Indonesia mampu menatap layar gawai 9 jam sehari. Makanya orang Indonesia didaulat juara ke-5 di dunia sebagai negara paling cerewet di dunia.
Sejujurnya, persoalan keaksaraan dan rendahnya literasi di Indonesia bukanlah masalah baru. Selalu jadi diskursus yang selalu diekspose dan jadi topik seminar di mana-mana. Literasi selalu dibedah, minat baca selalu dipersoalkan.
ADVERTISEMENT
Tetapi akses bacaan dan dukungan konkret kepada pelaku literasi begitu-begitu saja. Literasi hanya didekati pada soal buku-buku. Bukan sebagai gerakan untuk memberdayakan masyarakat untuk membangun kultur literat di tengah gempuran era digital. Sebut saja, literasi yang masih sebatas seremoni belum menyentuh esensi.
Ilustrasi anak belajar di rumah Foto: Shutterstock
Narasinya, tahun 2045 nanti Indonesia menuju “Indonesia Maju” sebagai negeri dengan kekuatan ekonomi terbesar ke-6 di dunia. Secara literasi, apa iya masyarakat Indonesia siap? Dugaan saya, selagi persoalan literasi ditinggalkan berpotensi besar kemajuan menjadi kurang produktif.
Maka, atensi terhadap persoalan literasi harus mendapat prioritas. Karena tidak ada artinya kemajuan secara ekonomi yang tidak didukung tingkat literasi Masyarakat yang tidak memadai. Literasi yang rendah, pasti akan jadi “biaya tinggi” secara sosial dan psikologis ke depannya.
ADVERTISEMENT
Keaksaraan dan literasi hari ini, secara subjektif, mungkin masih “jauh panggang dari api”. Masih dihadapkan pada kendala besar yang belum terselesaikan, di antaranya persoalan “satu komando” yang menggerakkan literasi, kolaborasi di gerakan literasi yang masih minim, dan sikap tidak peduli terhadap gerakan literasi yang masih membelenggu.
Karena itu, ketiga hal di atas harus dicarikan solusinya. Agar literasi mampu jadi “obat mujarab” untuk menyeimbangkan kemajuan ekonomi dan digitalisasi yang merasuk di masyarakat. Maraknya judi online atau pinjol bisa jadi bukti rendahnya tingkat literasi masyarakat.
Sementara persoalan literasi dasar belum selesai, muncul lagi literasi digital. Jago digital tapi untuk belanja, media sosial, bahkan bikin konten yang tidak mendidik. Disuruh baca e-book tanpa diimbangi ketersediaan akses baca secara manual. Maka wajar, literasi kian terpinggirkan.
ADVERTISEMENT
Maka momen Hari Aksara Internasional, ada baiknya menjadi refleksi bersama. Untuk mengecek kembali, seberapa besar pertumbuhan tingkat literasi masyarakat? Apa sudah sesuai track-nya atau belum? Apa saja yang harus dibenahi untuk tegaknya literasi di bumi Indonesia?
Agenda besar di balik Hari Aksara Internasional. Foto: Istimewa
Geliat literasi memang sudah terasa. Berbagai seminar, diskusi, hingga festival literasi ada di mana-mana. Semua kalangan pun “berebut tempat” soal literasi. Data riset dan program meningkatkan literasi sudah dirancang.
Taman bacaan di mana-mana, perpustakaan ke mana-mana, komunitas literasi pun ada di mana-mana. Tapi sayangnya, masih berjalan sendiri-sendiri. Membuat “panggung literasi” sendiri-sendiri. Sehingga belum ada jawaban pas, sebenarnya literasi harus dimulai dari mana? Siapa yang eksekusi dan bagaimana hasilnya?
Dan akhirnya, setelah enam tahun berkiprah menjadi pegiat literasi di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor, menjalankan aktivitas taman bacaan masyarakat, gerakan berantas buta aksara, belajar calistung kelas prasekolah, motor baca keliling, dan koperasi simpan-pinjam—dengan 200 orang pengguna layanan setiap minggu dan mencakup 4 desa di Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor dengan dukungan 12 wali baca dan relawan—ternyata dapat disimpulkan bahwa “literasi dan taman bacaan masih tetap jadi jalan sunyi pengabdian”.
ADVERTISEMENT
Belum banyak yang peduli, belum optimal perhatian terhadap gerakan literasi. Mau ke mana gerakan literasi itu melangkah ke depan?
Salam literasi!