Buruh Itu Buat Kemaslahatan Umat, Bukan Buat Pangkat

Syarif Yunus
Dosen Unindra - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) - Konsultan - Mhs S3 MP Unpak - Pendiri TBM Lentera Pustaka
Konten dari Pengguna
1 Mei 2019 8:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi buruh. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi buruh. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Semua libur kok; pekerja, pegawai, karyawan juga pada libur. Jadi saya ini, buruh atau pekerja atau pegawai atau karyawan?
Terus, kalo saya ini “pekerja sosial”, kenapa saya enggak boleh disebut “buruh sosial”? Kalo ada si mbak yang “pekerja seks komersial (PSK)”, kenapa kita enggak boleh panggil dia sebagai “buruh seks komersial (BSK)”?
Namun giliran “buruh tani” boleh, tapi enggak boleh disebut “pegawai tani”. Kalau “karyawan bank” mau enggak dipanggil “buruh bank”? Katanya “pegawai negeri” tapi kerjanya buat negara, ya harusnya “pegawai negara” dong. Ahhh, jadi pusing nih buruh.
Kenapa beda? Bila ukurannya; jam kerja, upah atau gaji, cuti, pesangon, atau lainnya, kan semuanya sama. Apa karena soal status sosial? Atau karena soal materialisme? Atau soal kapital, soal uang? Bisa jadi.
ADVERTISEMENT
Sebab dalam filsafat bahasa, tidak ada diksi atau istilah bebas nilai. Semuanya ada maunya, ada kepentingannya. Mau disebut buruh, pegawai, pekerja, atau karyawan, atau apapun.
Buruh itu buat umar bukan pangkat
uruh itu makin pusing.
Sebab, sudah puluhan tahun kerja, tapi tetap saja masih khawatir akan masa pensiunnya. Apalagi kalau tiba-tiba diberhentikan, buruh pasti pusing banget. Mau hidup sehari-hari pakai apa?
Mungkin, rasa khawatir, rasa takut buruh jauh melebihi anak sekolah yang mau lanjut ke sekolah idaman. Rasa cemasnya enggak kalah dibandingkan menunggu “hasil pilpres” kali ya. Buruh lagi-lagi pusing.
Hari ini, banyak buruh yang pengen jadi pengusaha. Banyak pekerja pengen jadi majikan. Namun di saat yang sama, banyak pengusaha pusing ngurusin buruhnya. Banyak pemberi kerja pusing karena pegawainya banyak. Tapi produktivitasnya rendah. Nah kalau udah gini, buruh pusing pengusaha pusing. Sama-sama pusing.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan sederhana, jadi di “Hari Buruh” kita sedang menghormati apa? Atau mau lakukan apa? Jawabnya relatif. Hanya masing-masing buruh yang tahu jawabnya.
Maka penting hari ini, semuanya refleksi diri.
Siapa pun; baik buruh, pekerja, pegawai, atau karyawan patut berpikir ulang. Untuk menggeser orientasi.
Tapi bekerja adalah aktualisasi diri; lebih kepada moralitas kepada spiritualitas. Sebab, bekerja adalah anugerah sekaligus amanah yang patut disyukuri. Selebihnya, biar Allah SWT yang “bekerja” untuk si buruh.
Buruh itu pusing. Karena hidupnya diukur dari untung-rugi. Karena hidupnya lebih banyak mengeluh daripada bersyukur. Karena gaya hidupnya melebihi biaya hidupnya.
Maka selagi masih jadi buruh, cukup terima apa adanya sambal terus bersyukur. Sementara yang jadi majikan atau bos, ya tidak boleh sewenang-wenang. Dengan begitu, buruh atau pengusaha bisa bersinergi, bisa “bertemu di jalan yang sama”.
ADVERTISEMENT
Dan satu lagi. Apa pun sebutannya, baik itu buruh, pekerja, pegawai, atau karyawan, enggak usah ngurusin negara. Sebab, bisa bikin terpecah-belah.
Kata buruh, negara harus gini. Kata pekerja, negara harus gitu. Kata pegawai, negara harusnya gini. Kata karyawan, negara harusnya gitu. Jadi deh empat negara. Lha, menyamakan istilah saja enggak bisa, apalagi bikin negara.
Jadi, buruh itu hanya status hanya simbol. Tapi keadaannya seperti apa, hanya si buruh yang tahu.
Selamat Hari Buruh #TGS #HariBuruh #MayDay