Era Digital Kian Banyak Kaum 'Ngalor Ngidul'

Syarif Yunus
Dosen Unindra - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) - Konsultan - Mhs S3 MP Unpak - Pendiri TBM Lentera Pustaka
Konten dari Pengguna
17 Januari 2020 7:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Bermain Handphone Foto: Thinkstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bermain Handphone Foto: Thinkstock
ADVERTISEMENT
Salah satu hobi kaum digital sekarang, mungkin doyan 'ngalor ngidul'. Ngomong atau ngobrol tapi ngalor ngidul. Berbicara tentang segala hal. Apa saja dikomentari. Seolah-olah sudah ahlinya, seperti tahu banyak segala hal.
ADVERTISEMENT
Istilah 'ngalor ngidul' tidak ada hubungannya dengan Laut Kidul. Ngalor ngidul, segala kejadian diomongin. Banjir diomongin, Jiwasraya dikomentari, keraton agung sejagat dibahas. Segala arah mata angin pun bisa dibicarakan. Sebut saja, kaum ngalor ngidul.
Dulu, setahu saya yang suka ngalor ngidul itu mereka yang suka nongkrong di warung kopi atau tukang ronda alias begadang. Tapi zaman now, ngalor ngidul sudah jadi hobi.
Apalagi pegiat media sosial, bisa jadi juara ngalor ngidul. Sesuatu yang sudah jelek makin dijelek-jelekin, sesuatu yang bagus pun dijelek-jelekin. Sing ngalor ya ngalor, sing ngidul ya ngidul.
Saking doyan ngalor ngidul. Orang zaman now, makin jauh dari realitas. Harapan kian bertentangan dengan kenyataan. Omongannya bertolak belakang dengan perilakunya. Komentarnya justru berselisih dengan kebiasaannya. Namanya 'ngalor ngidul'.
ADVERTISEMENT
Zaman boleh maju, tapi hobby naglor ngidul
Ada benarnya ungkapan “manusia butuh waktu dua tahun untuk belajar bicara, tetapi butuh waktu berpuluh-puluh tahun untuk belajar diam”. Biar tidak ngalor ngidul, apalagi di media sosial.
Semua orang terlalu gampang komentar tentang apa pun. Biar semuanya viral, biar kawannya banyak yang komentari. Hingga akhirnya, berita yang tidak benar alias bohong pun disebar-luaskan. Terdorong untuk segera men-sharing berita, sambil bertanya “ini benar gak ya?”.
Komentar atau omongan yang dibangun bukan atas ilmu dan keahlian. Maka wajar, akhirnya makin gaduh makin keruh suasananya. Komentar yang negatif, bikin dampak lebih buruk dan jauh dari solusi. Kaum ngalor ngidul.
Kaum ngalor ngidul itu sudah hilang sifat hati-hatinya. Gagal menahan diri bahkan gemar memperkeruh suasana. Mereka lupa, terlalu banya bicara itu justru bisa mengeraskan hati. Lupa, bahwa lisan bisa berbuah petaka atau syarat masuk neraka.
ADVERTISEMENT
Kaum ngalor ngidul lupa, berita benar yang berdampak negatif saja tidak boleh asal-asalan menyebar-luaskan ke publik. Karena apa pun, harus dipertimbangkan baik buruknya; cek maslahat atau mudharat.
Ngalor ngidul, memang tidak butuh orang kaya atau miskin. Orang pintar atau bodoh. Bahkan membuat rancu antara orang salah atau benar. Karena yang penting, kaum ngalor ngidul harus bicara, wajib komentar. Biar tenar, biar kesohor sekalipun tekor.
Maka jangan sampai hidup larut dalam ngalor ngidul, karena bagusnya dunia itu justru ketika terpisah antara yang bagus dan jelek. Sebaliknya jeleknya dunia itu saat kita mencampur-adukkan antara bagus dan jelek.
Maka berhentilah ngalor ngidul. Seperti nasehat Nabi Muhammad SAW, “Cukuplah sebagai bukti kedustaan seseorang bila ia menceritakan segala hal yang ia dengar.” (HR. Muslim). #KaumNgalorNgidul #BudayaLiterasi
ADVERTISEMENT