Konten dari Pengguna

Filosofi Mudik

Syarif Yunus
Dosen Unindra - Edukator Dana Pensiun - LSP Dana Pensiun - Konsultan - Lulus S3 MP Unpak - Pendiri TBM Lentera Pustaka
31 Mei 2019 23:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Musim lebaran pastinya musim mudik.
Apalagi di Indonesia. Mudik, bisa jadi bukan hanya ritual tahunan. Namun sudah jadi “gerakan moral” yang melebihi fanatisme kepada seorang capres sekalipun.
ADVERTISEMENT
Mudik juga bukan soal orang kampung atau orang kota. Tapi mudik adalah sikap tentang cara menghargai kampung halaman; tanah kelahiran dan bumi pijakan para leluhur.
Maka wajar, hari-hari jelang lebaran. Jutaan manusia di pelbagai wilayah, berduyun-duyun untuk mudik. Tak peduli macet, tak peduli panas terik matahari. Mudik, sepertinya telah memberi energi tersendiri. Sebuah kerinduan akan kampung halaman dan segala kenangan yang ada di dalamnya.
Mudik itu artinya pulang kampung. Sebuah tradisi yang selalu melekat di masyarakat. Mudik, sebuah kebiasaan yang sama sekali tidak terpengaruh oleh kemajuan teknologi. Mau secanggih apapun otak manusia, sehebat apapun teknologi. Mudik tetap jadi pilihan banyak orang. Apalagi jelang lebaran. Mudik ibarat simbol “lonceng disuruh pulang” bagi kaum perantauan; kaum urban yang telah berjuang mengembara di kota yang bukan tanah kelahirannya. Entah karena pekerjaan, karena pendidikan atau demi status sosial. Mudik itu sebuah panggilan psikologis untuk pulang. Pulang ke kampung halamannya, kembali ke pangkuan ibu pertiwi.
ADVERTISEMENT
Mudik juga jadi tanda, bagi siapapun yang hidup di perantauan, pasti merasakan ada yang “hilang” dalam dirinya, dalam hidupnya. Maka mudik dianggap dapat “menemukan” kembali jati diri manusia, seperti aslinya.
Mudik, perjalanan ritual untuk kembali ke kampung halaman
Setiap tahun jutaan manusia mudik.
Ada sesuatu yang sacral dari ritual mudik. Tentu, tidak bisa diungkap dengan kata-kata. Mudik, sebuah semangat untuk “pulang”.
Tidak masalah berdesak-desakan di kereta, berjubel-jubel di bis, bermacet ria di jalan, hingga menempuh ratusan kilometer hanya berbekal sepeda motor. Karena mudik sebuah panggilan batin, untuk mengingatkan manusia. Tentang “dari mana ia berasal dan mau ke mana ia menuju …”.
Mudik, persis seperti orang yang sehari-hari bekerja,
Orang bekerja sehari-hari di kantor pun butuh pulang. Kemana pun kita pergi dan berjalan, pasti ingin “pulang”. Pulang ke tempat yang membahagiakan; pulang ke orang tua, pulang ke kampung halaman, pulang ke rumah. Jadi, mudik bisa jadi ritual untuk selalu ingat “pulang”. Pulang ke tempat asal kita, termasuk nanti pulang ke hadirat Allah SWT.
ADVERTISEMENT
Maka siapapun dan di mana pun kita, suatu saat kita akan kembali ke asalnya. Mudik hanya simbol, bahwa kita pasti akan pulang. Karena setiap manusia, pasti suatu saat nanti akan kembali ke tempat sang pencipta. Hingga saatnya tiba, bisa kembali ke tempat terbaik di sisi-Nya.
Mudik adalah proses untuk mencapai tujuan, cara untuk kembali ke kampung halaman.
Karena saat ini, makin banyak orang yang tidak tahu dari mana ia berasal dan mau ke mana menuju. Mudik, setidaknya mengingatkan manusia. Bahwa dulu ia “tiada”, sekarang “ada” dan esok akan kembali menjadi “tiada”. Hakikatnya, manusia berasal dari Allah SWT dan akan kembali kepada Allah. Itu pelajaran terpenting dari mudik.
Mudik adalah ritual sederhana, irtual untuk pulang kampung. Untuk mengenali siapa sebenarnya kita, dari mana kita berasal. Mudik lebaran adalah momentum untuk mencapai kesucian lahir dan batin. Sebuah proses tazkiyatun nafs, membersihkan jiwa yang pernah dikotori oleh diri kita sendiri. Di tempat mudik, kita melapangkan hati untuk menemui orang tua dan orang-orang yang berjasa pada kita. Lalu berani meminta maaf dan memaafkan kesalahan orang lain. Mudik itu mengajarkan kita untuk jujur mengakui kesalahan, lalu saling memaafkan.
ADVERTISEMENT
Maka mudik hari ini, harusnya bukan cuma seremoni. Tapi mudik adalah esensi.
Esensi moral ada pada ritual mudik. Untuk mereposisi kembali hakikat HIDUP-nya. Mudik yang berpegang pada 4 filsafat hidup manusia.
1. LEBARAN sebagai tanda “selesainya” kewajiban kita dalam berpuasa, tarawih, dan zakat.
2. LUBERAN sebagai tanda “melimpahnya” rezeki kita untuk dibagikan kepada mereka yang membutuhkan.
3. LEBURAN sebagai tanda “melebur kesalahan” dengan cara saling bermaafan.
4. LABURAN sebagai tanda “memutihkan” diri untuk senantiasa menjaga kebersihan diri lahir dan batin.
Mudik atau pulang kampung memberi pesan pentingnya manusia "sadar diri". Sadar ketika lahir, tak bawa apa-apa, tak kuasa apa-apa. Karena dalam mudik, ada simbol bahwa manusia bukan apa-apa, bukan siapa-siapa.
ADVERTISEMENT
Jadi mudik, tentu bukan hilir-mudik. Bukan ritual yang tidak jelas.
Mudik bukanlah “kepergian” untuk memamerkan kekayaan. Apalagi menebar kesombongan dan keangkuhan. Justru mudik, harus dilandasi keihklasan dan kesabaran sambil tetap menjaga kesederhanaan. Karena mudik adalah perjalanan ke kampung halaman, pengembaraan ke tempat asal.
Mudik bukan lahir tapi batin. Batin yang selalu siap untuk kembali, untuk pulang.
Karena hari ini, sudah terlalu banyak manusia yang lupa “jalan untuk pulang”. Akibat terlalu cinta pada dunia, pada pangkat pada jabatan.
Mudiklah sekarang, agar kita masih bisa mengingat senja. Agar kita selalu rindu untuk pulang… #TGS #Mudik2019 #MudikLebaran