Filosofi Nanas, Tetaplah Berdiri Tegak

Syarif Yunus
Dosen Unindra - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) - Konsultan - Mhs S3 MP Unpak - Pendiri TBM Lentera Pustaka
Konten dari Pengguna
9 Maret 2020 14:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Siapa yang tidak tahu buah nanas?
Pasti semua tahu kan. Bahkan banyak orang suka buah nanas. Sekalipun daunnya berduri. Tapi buahnya terasa manis. Asal tahu cara mengupasnya. Apalagi nanas madu, wow nikmatnya luar biasa. Nanas, ada yang menyebut buah nenas atau ananas. Ahh, tentu boleh-boleh saja.
ADVERTISEMENT
Tapi di zaman bow. Banyak juga orang yang tidak tahu filosofi nanas. Sebuah filosofi yang mengajarkan manusia untuk "berdiri tegak" dalam keadaan apapun. Dan memang buah nanas itu bentuknya selalu berdiri tegak. Saking tegaknya, buah nanas yang berwarna kuning itu jadi lebih kontras dengan daun-daun di sekitarnya. Warnanya cerah. Seolah jadi titik terang di antara dedaunan hijau gersang. Nanas itu tetap cantik meski berada di tempat gersang.
Seperti hidup manusia. Sikap untuk selalu berdiri tegak itu penting. Tetap fokus pada pekerjaan baik yang dilakukan. Tanpa pedulikan orang-orang yang nyinyir atau berprasangka buruk. Karena dalam hidup, pasti ada orang-orang yang gak suka atas sikap kita. Itu biasa. Lagi pula, gak mungkinlah kita harus entertain semua orang. Siapa sih orangnya yang bisa bikin semua orang senang. Maka, jalani saja yang baik dan tetaplah berdiri tegak. Itu yang orang bijak bilang "istiqomah", senantiasa konsisten dalam kebaikan. Buah nanas juga begitu. Nanas harus tetap tumbuh sekalipun berada di tempat yang tidak menyenangkan.
Filosofi nanas
Seperti mengupas nanas pun gak mudah. Karena mata-nya banyak. Bila tidak bersih, bisa bikin gatel. Jadi mengupas nanas itu, butuh ketelitian dan kewaspadaan. Bila tidak, ehmm bisa tersayat pisau. Sakit jadinya. Virus corona juga butuh waspada bukan panik atau hoaks. Buah nanas juga bisa jadi simbol. Bahwa rasa manisnya harus sebanding dengan perjuangan mengupasnya.
ADVERTISEMENT
Seperti saya yang mengelola Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak Bogor. Sejak didirikan 3 tahun lalu, kini setidaknya ada 60 anak usia sekolah yang akti membaca. Secara rutin, mereka 3 kali seminggu membaca di taman bacaan. Bahkan bisa mencapai 5-8 buku per minggu. Sebagai pegiat literasi, saya hanya ingin tidak ada lagi anak-anak putus sekolah di desa itu. Dengan rajin baca, maka mind set dan pengetahuan bertambah. Sehingga tidak mau putus sekolah. Maklum, selama ini di Kampung Warung Loa Kaki Gunung Salak rata-rata tingkat pendidikannya 81% ada di level SD.
Ada banyak tantangan mengelola taman bacaan. Sebut saja misalnya. Orang tua yang kemudian melarang anaknya membaca di taman bacaan padahal di anak sudah pernah membaca di situ. Belum lagi, orang-orang yang tidak suka adanya taman bacaan di wilayah tersebut. Belum lagi soal sulitnya "ringan tangan" untuk peduli dan bersosial demi taman bacaan. Maka siapapun yang mengelola taman bacaan atau jadi pegiat literasi, tetaplah berdiri tegak. Demi terciptanya tradisi baca dan budaya literasi anak-anak di kampung.
ADVERTISEMENT
Filosofi nanas. Ajakan untuk kita berdiri tegak dalam keadaan apapun. Tapi di negeri ini, aneh. Kenapa buah nanas dikonotasikan untuk menggugurkan kandungan? Aneh, kalo mau digugurin kenapa dibikin ya. Ada juga orang yang makan gorengan baru mateng, bilangnya "nanas". Kayak orang pelo. Udah tahu panas, main langsung telan aja jadilah "nanas".
Tapi makan buah nanas pun harus hati-hati. Karena ada juga nanas yang manis tapi gatel. Seperti manusia pun ada yang "manis mukanya gatel hatinya".
Jadi, belajarlah dari nanas. Buah yang selalu berdiri tegak sekalipun ada di antara dataran gersang. Nanas itu manis asal jangan gatel. Tabikk, salam literasi #TBMLenteraPustaka #BudayaLiterasi