news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kaum Matik, Dikasih Medsos untuk Berkata Buruk

Syarif Yunus
Dosen Unindra - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) - Konsultan - Mhs S3 MP Unpak - Pendiri TBM Lentera Pustaka
Konten dari Pengguna
9 April 2021 18:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perempuan sedang main media sosial  Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan sedang main media sosial Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Zaman now sering dibilang zaman matik. Semuanya serba matik.
Motor matik, mobil matik. Pengukur suhu tubuh matik, bahkan ada juga cewek matik. Survei membuktikan, 80% cewek zaman now pun lebih suka pakai barang yang matik. Karena lebih instan, lebih cepat.
ADVERTISEMENT
Matik, bolehlah diartikan otomatis. Bisa bergerak dengan sendirinya. Tanpa digenjot, tanpa diputar sudah bisa sendiri. Beda dengan yang manual. Tidak bisa bergerak bila tidak digerakkan. Maka wajar, banyak orang lebih memilih yang matik. Daripada yang manual. Konon katanya, matik lebih keren daripada manual. Apa iya?
Sejatinya, matik itu hanya simbol. Simbol sebuah era. Saat banyak orang ingin semuanya serba instan. Kalau perlu, tidak usah menanam pohonnya. Langsung buahnya saja. Tidak perlu kerja, uangnya saja. Itulah prinsip matik. Sebut saja, orang-orang yang tidak mau repot. Maunya, tinggal starter langsung ngacir. Matik banget.
Matik sudah jadi gaya hidup. Bahkan orientasi hidup. Semua hal dipandang mudah. Kalau bisa cepat, kenapa harus lambat? Kalau bisa nyogok, kenapa harus ikut prosedur? Akhirnya jadi gerabak-gerubuk. Hantam kromo. Main gadget tiap hari tapi menganggap paling sibuk sedunia. Kata orang-orang matik. Tidak usah belajar asal dapat ijazah. Tidak usah kuliah yang penting wisuda. Tidak usah kerja yang penting dapat duit. Enak banget, hidup kaum matik ya.
Taman bacaan itu manual, tidak bisa matik. Baca buku proses bukan hasil
Berbeda dengan pegiat literasi di taman bacaan. Membaca buku saja masih manual. Buka tutup taman bacaan hanya untuk melayani anak-anak yang membaca. Isi kartu baca, kartu pinjam buku, dan antre bawa buku. Semuanya manual di taman bacaan. Maka taman bacaan, pasti tidak cocok untuk kaum matik. Terlalu tradisional. “Bisa gak sih langsung pintar tanpa baca buku” begitu kata kaum matik.
ADVERTISEMENT
Cara pikir matik, perilaku pun matik. Jadi salah jalan.
Dikasih teknologi media sosial, malah dipakai untuk menghujat, mencaci dan berkata-kata kotor. Dikasih pengetahuan agama malah dipakai untuk “menyalahkan” orang lain. Dikasih hidup nyaman malah dipakai untuk “mengecilkan” orang lain. Begitulah sifat matik.
Matik itu belum tentu baik. Karena matik sering bikin manusia jadi berpikir dangkal. Tidak produktif bahkan melupakan cara-cara yang benar dan etik. Sifat matik pula yang mampu menghilangkan manusia dari rasa peka dan cinta. Makin tidak peduli, makin tidak punya empati. Karena berjiwa matik.
Kaum matik, bisa jadi “gagal” merasakan apa yang dirasakan orang lain. Ingin baik tapi tidak melakukan apa pun. Kaum matik lupa. Kesalehan itu bukan hanya ritual. Tapi juga butuh kesalehan sosial dan kesalehan emosional.
ADVERTISEMENT
Matik sangat salah. Bila ingin besar tapi lupa hal-hal kecil. Salam literasi #KampanyeLiterasi #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka