Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.0
Konten dari Pengguna
Kenapa Belum Mau Membaca Buku?
11 Februari 2025 8:31 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Suatu kali, pikiran bilang pengen makan gado-gado siang ini. Tapi perasaan menyangkal, kayaknya nggak enak makan gado-gado mendingan bakso. Jadi siapa yang lebih dominan di situ, pikiran atau perasaan? Tunggu siang nanti, apa yang akan dimakan.
ADVERTISEMENT
Pikiran siapapun, bisa jadi lebih buruk dari perasaan, Dan sebaliknya, perasaan pun bisa lebih gelap dari pikiran. Realitas itu mengajak kita untuk merenungkan hubungan antara pikiran dan perasaan. Siapa lebih memengaruhi perilaku kita, pikira atau perasaan? Bahkan keduanya, pikiran dan perasaan, sering kali memerintah cara kita memandang dunia dan diri kita sendiri. Di situlah pentingnya melatih sekaligus menyembingkan pikiran dan perasaan.
Pikiran datangnya dari proses intelektual, rasionalisasi otak kita sendiri. Sementara perasaan bersifat lebih emosional dan intuitif. Hanya saja, dalam banyak hal, perasaan menjadi lebih kimpleks karena melibatkan pengalaman pribadi dan batin yang terkadang susah ditebak. Sedangkan pikiran sering kali menyaring dengan argumentasi yang logis walau terkadang tidak sepenuhnya benar. Lagi-lagi, seimbangkan pikiran dan perasaan itu perlu!
ADVERTISEMENT
Siapapun, pasti punya perasaan yang lebih berwarna. Di dalamnya ada emosi dan nafsu. Cinta, benci, bahagia, sedih, bahkan marah selalu mengisi perasaan seseoarang. Sayangnya, perasaan yang disaring oleh pikiran sering kali kehilangan kehilangan sebagian besar kedalaman dan kompleksitasnya. Pikiran cenderung mereduksi perasaan menjadi sesuatu yang lebih sederhana dan lebih rasional. Pikiran sering membatasi perasaan. Tapi perasaan pun sering kali mengacaukan pikiran. Selalu terjadi distrosi anatar pikiran dan perasaan. Maka keduanya harus dilatin untuk diseimbangkan.
Kembali ke soal makan siang tadi. Pikiran yang menyuruh makan gado-gado. Tapi perasaan menyangkal dan lebih enak makan bakso daripada gado-gado katanya. Bila itu terjadi, maka ada pergulatan antara pikiran dan perasaan. Perasaan kurang sreg menjalin hubungan spesial dengan seseorang. Tapi pikiran sering kali memberi argumen, kapan lagi bila tidak sekarang punya hubungan spesial? Maka bertikailah perasaan dan pikiran kita. Fakta, pikiran dan perasaan sering tidak seiring sejalan. Hanya butuh diseimbangkan.
Pada praktiknya, pikiran memang memberi Solusi tapi sering gagal menangkap esensi persoalan dari perasaan. Perasaan pun begitu, sering lebih kacau padahal tidak serumit yang dipikirkan. Jadi hati-hati, pikiran dan perasaan terbukti sama-sama rumit. Keduanya, bisa jadi lebih rumit, lebih gelap dari kenyataannya. Maka siakp penting di tengah pergulatan pikiran dan perasaan, hanyalah bersikap realistis. Apa adanya, bukan ada apanya.
ADVERTISEMENT
Seperti berkiprah di taman bacaan, seperti berada di dekat buku-buku. Pikiran menyuruh kita untuk membacanya karena ada banyak ilmu pengetahuan di dalamnya, Tapi di saat yang sama, perasaan meminta untuk tidak usah membaca karena lagi malas, lagi sibuk dan sebagainya. Jadi lebih baik, seimbangkan pikiran dan perasaan. Kenapa belum mau membaca buku?
Dan satu lagi, berusaalah menjadi manusia yang objektif dan professional di mana pun. Karena manusia yang subjektif dan amatir, di hatinya hanya menyimpan dendam dan di otaknya hanya berisi kebencian, lalu pura-pura amnesia ketika mengingat kebaikan. Salam literasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #PegiatLiterasi