Kenapa Santri Kopiahan dan Sarungan?

Syarif Yunus
Dosen Unindra - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) - Konsultan - Mhs S3 MP Unpak - Pendiri TBM Lentera Pustaka
Konten dari Pengguna
22 Oktober 2020 18:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi santri pesantren. Foto: REUTERS/Willy Kurniawan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi santri pesantren. Foto: REUTERS/Willy Kurniawan
ADVERTISEMENT
Jujur saya pengagum gaya santri. Santri itu sederhana, apa adanya. Buktinya, santri doyan kopiahan dan sarungan. Bahkan lengseran hingga mayoran saat khatam Al Quran sudah jadi kebiasaan para santri. Bukan kaum santri, gaya hidup dan jiwa konsumtif hanya kesia-siaan.
ADVERTISEMENT
Maka sejatinya, santri bukan hanya perilaku, bukan soal pondok pesantren. Tapi santri itu adalah sikap, bahkan jadi gaya hidup bagi sebagian orang. Selain pelopor kebaikan, santri juga dilatih untuk bertumpu pada maslahat. Mereka percaya bahwa semua sudah diatur-Nya. Maka santri hanya ikhtiar dan doa yang baik. Tanpa perlu berprasangka buruk kepada siapa pun, apalagi meremehkan orang lain. Santri memang is the best-lah …
Saat di pondok, santri bukan hanya taklim. Tapi juga takzim. Belajar ilmu hingga tinggi tapi tetap menjaga sopan santun. Menyalami dan mengecup tangan kiai atau ustaz itu tradisi kaum santri. Bila perlu, sandal kiai pun disiapkan sesaat mau pulang dari majelis ilmu. Santri begitu hormat, santun, dan sangat menghargai orang lain. Apalagi orang yang dituakan. Maka wajar, santri zaman now terkesan anti-mainstream. Karena memang hidupnya di pesantren “tidak biasa” tapi “luar biasa”. Nyuci pakaian sendiri, mandi selalu antre, salat selalu berjemaah. Menyimak ceramah kiai di masjid, merenungi lalu muhasabah diri. Sungguh, indahnya jadi seorang santri. Itulah santri pondokan.
ADVERTISEMENT
Santri pondokan bila punya medsos pun hanya dipakai untuk menebar berprasangka baik. Bukan untuk menebar kebencian. Kata santri pondokan, memang jangan terlalu mudah percaya pada orang. Apalagi yang tidak bisa dipercaya. Tapi bukan berarti sebab itu boleh berprasangka buruk. Lebih baik muhasabah saja. Agar tetap eling dan selalu ikhtiar membersihkan hati. Untuk tidak menjauhi kebaikan lalu mendekati prasangka buruk. Santri pondokan hanya istikamah dalam kebaikan. Katanya itu sudah cukup.
Kenapa santri kopiahan dan sarungan?
Beda dengan santri google. Sebutan buat mereka yang belajar agama dari Google. Doyan belajar tapi sayang "kiainya dipilih sendiri”. Tidak suka pada kiai yang tidak sepaham, tidak sealiran. Kebaikan, di mata santri Google, sangat eksklusif. Hanya untuk orang-orang sepaham dan seperasaan, bukan sepenanggungan. Tidak jarang santri Google menjadikan pesan agama lebih banyak larangannya. Jangan pilih ini, jangan suka dia, jangan begini jangan begitu. Semuanya larangan. Begitu ditanya pedomannya apa? Jawabnya, yah pokoknya begitu saja. Ehh, giliran ada berita hoaks dan kebencian, inginnya paling pertama menyebarluaskan. Emang juara santri Google dah….
ADVERTISEMENT
Memang tidak ada yang salah dengan santri Google. Tapi harusnya, bila mau tahu kebaikan versi Google ya cukup untuk dirinya sendiri. Jangan dipilih-pilih lalu disebarluaskan. Apalagi sampai pilih konten yang sepikiran dan seperasaan si santri Google. Santri Google kadang lucu. Cari di Google tapi habis itu dibagi-bagi ke orang lain untuk memengaruhi lalu memprovokasi. Pantas, akhirnya santri Google kerap mendominasi kebenaran. Asal dari si santri Google pokoknya semua benar. Giliran kata orang yang tidak disukainya, semuanya salah. Lucu santri Google mah. Bila tidak sama, kenapa tidak boleh beda?
Santri Google sering lupa. Bila ada orang salah itu diberi tahu yang benar. Bila ada orang yang tidak tahu diberi tahu. Bila ada orang yang tidak paham ya diajarkan biar paham. Tentu dengan cara-cara yang elegan. Cara-cara yang taklim dan takzim, kata santri pondokan. Bukan malah sebaliknya. Orang salah orang tidak tahu malah dijadikan momen untuk menyerang dan merendahkan. Dan langsung memvonis “salah yang tidak termaafkan hingga hari kiamat…”.
ADVERTISEMENT
Jadi di momen Hari Santri kali ini. Saatnya kita muhasabah dalam hidup. Bahwa kita tidak lebih baik dari apa yang kita sangkakan. Kita juga tidak lebih baik dari apa yang kita tudingkan ke orang lain. Maka di situlah, makin penting arti belajar, makin penting toleransi untuk bisa membedakan yang baik dan tidak baik.
Sungguh, tidak sama antara santri pondokan dan santri Google. Agar jadi santri yang sebenar-benarnya. Santri yang berpijak pada kebenaran dan kebaikan secara sekaligus. Santri yang tetap taklim tapi menjaga takzim. Karena tiap santri tahu. Bahwa dunia ini ada untuk pergi ke akhirat …. Selamat Hari Santri!