news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Ketika Budaya Baca Terpinggir, Mutu Pendidikan Jadi Kian Nyinyir

Syarif Yunus
Dosen Unindra - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) - Konsultan - Mhs S3 MP Unpak - Pendiri TBM Lentera Pustaka
Konten dari Pengguna
7 Juni 2019 19:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi baca buku. Foto: Rathish Gandhi/unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi baca buku. Foto: Rathish Gandhi/unsplash
ADVERTISEMENT
Percaya, enggak? Kalau mutu pendidikan itu sebetulnya sangat bergantung pada budaya membaca. Harusnya sih begitu.
ADVERTISEMENT
Sebab, membaca kan memang untuk menambah ilmu dan pengetahuan, bahkan wawasan. Buku-buku yang dibaca, tentang apapun, pastinya dapat memberikan informasi kepada si pembacanya. Jadi, tak bisa dibantah bahwa membaca sangat menentukan mutu pendidikan.
Sebut saja negara Finlandia. Negara di Benua Eropa itu dikenal sebagai negara dengan sistem dan mutu pendidikan terbaik di dunia.
Tiap kali ada rating terkait pendidikan, Finlandia selalu mampu mengungguli Amerika Serikat dalam literasi membaca, sains, dan matematika. Finlandia selalu menempati skor terbaik dalam survei penilaian siswa internasional (PISA).
Padahal, sekolah di Finlandia memiliki jam pelajaran sekolah yang lebih singkat jika dibandingkan dengan sekolah di negara lain. Bahkan, sekolah Finlandia tidak melakukan ulangan atau ujian standar.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Finlandia memang sangat membudayakan kegiatan membaca. Anak-anak usia sekolah di sana sangat antusias atau ketagihan membaca. Buktinya, meski bukan negara kaya, tetapi untuk kualitas pendidikan, Finlandia tergolong tidak tertandingi. Jadi sangat jelas, budaya membaca pastinya menjadi alasan meningkatnya mutu pendidikan.
Mari kita tengok di Indonesia. Hari ini, berapa banyak anak-anak Indonesia yang gemar membaca? Faktanya tidak banyak. Bila merujuk pada survei UNESCO (2012), indeks tingkat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, hanya ada satu orang dari 1.000 penduduk yang masih ‘mau’ membaca buku secara serius.
Alhasil, sangat wajar Indonesia ditempatkan pada posisi 124 dari 187 negara dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM), karena budaya membacanya sangat rendah. Budaya literasi pun baru sebatas didengung-dengungkan, belum diimplementasi secara nyata, masif, dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Bahkan di era digital seperti sekarang, budaya membaca semakin terpinggirkan. Minat baca anak-anak makin rendah. Beragam jenis hiburan, game, smartphone, tayangan TV, dan internet yang kurang mendidik makin menjauhkan anak-anak dari buku bacaan.
Bahkan, guru atau pendidik pun ikut terbawa arus. Karena faktanya, guru dan pendidik di Indonesia saat ini pun makin 'jauh' dari aktivitas membaca dan menulis.
Ketika budaya baca terpinggir, maka mutu pendidikan pun kian nyinyir.
Kata banyak orang, waktu itu sangat penting. Tapi di Indonesia, bisa jadi, banyak waktu yang terbuang percuma untuk kegiatan yang sia-sia. Waktu untuk membaca justru habis digunakan untuk kebiasaan yang tidak baik, seperti mengobrol, main handphone, nonton, dan sebagainya.
Sangat jelas, antusiasme membaca orang Indonesia sangat rendah. Lebih senang aktivitas yang instan dan sedikit manfaatnya. Maka wajar, mutu pendidikan di Indonesia pun masih rendah. Alih-alih, mutu pendidikan membaik malah jadi menurun karena budaya membaca sudah semakin langka. Membaca itu penting hanya sebatas diskusi dan seminar, tanpa perlu benar-benar dibudayakan dalam perilaku.
ADVERTISEMENT
Terbukti, budaya membaca berpengaruh pada mutu pendidikan. Riset PISA dan Litbang Depdiknas (2003) menyebutkan kemahiran membaca anak usia 15 tahun di Indonesia sangat memprihatinkan. Sekitar 38% hanya bisa membaca tanpa bisa menangkap maknanya dan sekitar 25% hanya bisa mengaitkan teks yang dibaca dengan satu informasi pengetahuan. Itu pertanda bahwa membaca bukan budaya di negeri ini.
Karena itu, upaya meningkatkan tradisi baca dan budaya literasi anak-anak usia sekolah harus digalakkan dalam aksi nyata. Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang sudah dicanangkan harusnya jangan sebatas gerakan tanpa aksi nyata atau sebatas seremoni tanpa program berkelanjutan.
Maka hari ini, suka tidak suka, kegiatan tradisi baca dan budaya literasi harus disajikan ke tengah-tengah masyarakat. Karena semakin ke sini, makin banyak orang Indonesia yang malas membaca dan malas menulis. Sementara bermain gawai bisa menghabiskan 5,5 jam sehari. Luar biasa!
ADVERTISEMENT
Dan jangan sampai, kebiasan hidup anak-anak kita 'dikendalikan' oleh gawai. Apalagi masa depan anak-anak hanya ada di dunia maya, sungguh sangat bahaya.
Berangkat dari realitas itu, TBM (Taman Bacaan Masyarakat) Lentera Pustaka yang berlokasi di Desa Sukaluyu, Kaki Gunung Salak, Bogor, sangat peduli untuk membangun tradisi baca dan budaya literasi di kalangan anak-anak usia sekolah. Sebab dengan membaca, anak-anak akan menambah pengetahuan, di samping memperbanyak kosakata, termasuk membentuk karakter. Bahkan bila membaca jadi kebiasaan, anak-anak pun akan dapat lebih 'sedikit ngomong' daripada membaca.
ADVERTISEMENT
Di zaman serba instan begini, aktivitas membaca anak-anak tidak boleh kalah dari gawai. Dengan membaca, anak-anak pun tidak jadi manusia yang banyak omong. Karena itu, membaca harus dijadikan gaya hidup sehari-hari. Nah, taman bacaan harus mengambil peran penting dalam menegakkan tradisi baca dan budaya literasi di kalangan anak-anak kita. Karena tanpa baca, kita merana.
Oleh karena itu, TBM Lentera Pustaka akan terus mengampanyekan pentingnya membaca bagi anak-anak daripada bermain, menonton TV, atau main gawai. Inilah saatnya, semua pihak membangun kesadaran kolektif untuk bersinergi dalam membangun tradisi baca dan budaya literasi di lingkungan masing-masing. Harus ada aksi nyata untuk mengubah niat baik dalam membiasakan anak-anak untuk membaca.
Mutu pendidikan Indonesia pasti hebat bila anak-anaknya gemar membaca.
ADVERTISEMENT
Inilah momentum untuk menegakkan tradisi baca dan budaya literasi anak-anak. Dekatkan anak-anak pada buku, perbanyak membaca bukan bermain. Dan yang terpenting, jangan jadikan anak-anak terlalu banyak omong tanpa pernah membaca di masa depan.
#TGS #TBMLenteraPustaka #BacaBukanMaen #BudayaLiterasi