Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Kisah Pensiunan, Jalan yang Sepi di Hari Tua
27 April 2025 21:31 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Angin pagi menusuk kulit, membawa aroma aspal basah dan debu yang beterbangan. Di sudut pertigaan kota yang mulai terabaikan, warung kelontong di depan rumah Pak Wiryo terlihat sepi, seperti ia sendiri yang kini mulai tua, rapuh, tetapi tetap berdiri.
ADVERTISEMENT
Pak Wiryo sudah 68 tahun. Tubuhnya kini tidak seperti saat bekerja. Namun masih dipaksa bangkit setiap pagi untuk membuka warung. Tangannya gemetar sedikit saat menaikkan rolling door. Tulang-tulangnya berderak setiap kali ia jongkok dan berdiri. Tapi wajahnya tetap menampakkan sesuatu yang tidak mau dibilang tumbang: “harga diri”.
Di antara deru kendaraan yang lewat tanpa menoleh, ia menunggu warungnya. Setiap pembeli yang datang adalah rezeki kecil yang tidak boleh disia-siakan. Ia menunggui warungdengan sabar, merapihkan dagangan, menata, membuka dan menutup warung lagi di larut malam. Begitu terus, seakan waktu di sekelilingnya sudah berhenti, hanya suara anak-anak yang berlarian dan detak jantungnya yang mengisi dunia masa pensiun Pak Wiryo.
Dulu saat masih bekerja, hidupnya tidak seperti ini. Ada masa-masa ia pulang kerja dengan senyum lebar — naik motor, disambut anak-anaknya yang berlari dari pintu rumah. Dulu, tangannya kuat, mengangkat kursi, bahkan memasukkan motor ke dalam rumah setiap malam.. Dulu, tubuh Pak Wiryo kebal pada hujan dan panas. Tapi waktu beranjak tua melucuti semuanya secara perlahan, tanpa bisa dielakkan lagi.
ADVERTISEMENT
Tabungan? Pensiun? Semua itu terdengar mewah untuk seorang pegawai kecil seperti Pak Wiryo yang hidupnya habis untuk membayar cicilan dan biaya hidup itu sehari-hari. “Boro-boro siapin pensiun, untuk makan sehari-hari saja sudah pas-pasan” batin Pak Wiryo dulu saat masih bekerja.
Di usia pensiunnya kini, Pak Wiryo hanya bisa merenung. Di dalam sakunya kini, hanya ada receh dari barang dagangan yang laku di warngnya. Bahkan mungkin tidak cukup untuk membeli sekarung beras. Tapi ia tetap menutup warungnya setiap malam dengan rapi, menurunkan rolling door seperti biasa. Menata warung sebelum ditutup, seolah besok dunia masih membutuhkan tenaganya.
Ketika duduk di bangku di rumah, tatapan Pak Wiryo berat. Dia seperti ingin Kembali ke masa-masa bekerja dulu. Ngonbrol dengan kawan sambil ngopi. Seakan menggiring ke bayangan masa lalunya: tawa anak-anaknya yang kini telah menjauh, suara istrinya yang memanggil dari dapur. Rumah kecil itu kini terasa lebih sunyi. Istri Pak Wiryo, Bu Sarti terduduk duduk di dalam kamar, membungkus kakinya dengan selimut tipis, sesekali batuk kecil yang kering.
ADVERTISEMENT
Malam di kota itu begitu dingin. Pak Wiryo duduk di serambi, menatap bulan yang setengah tertutup awan. Dalam diamnya, ada pertanyaan yang selalu datang tapi tak pernah dijawab:
"Untuk apa aku terus berjalan, ketika yang kutuju tak lagi ada?"
Pak Wiryo di masa pensiun kini justru berjuang justru lebih keras dibandingkan saat masih belerja. Ia menyesal karena tidak mempersiapkan masa pensiunnya sejak dulu. Tidak punya tabungan untuk hari tua, sehingga terpaksa membuka warung untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, di samping mencari kesibukan di masa pensiun. Sampai-sampai Pak Wiryo selalu berpesan kepada anak-anaknya yang sudah bekerja.
“Jangan lupa Nak, selalu siapkan masa pensiun. Nabung untuk hari tua. Jangan sampai di hari tua seperti Bapak, tidak punya uang yang cukup untuk biaya hidup” katanya.
ADVERTISEMENT
Masa pensiun, benar-benar seperti jalan yang sepi. Tidak ada lagi canda, tidak ada lagi panggilan anak-anaknya. Semuanya sudah terlanjur, Pak Wiryo harus tetap menjalani hari tuanya Bersama istri sambil membuka warung. Begitulah hidup, mungkin cukup di waktu bekerja lalu kurang di saat pensiun.
Tapi Pak tetap percaya, mungkin esok pagi ada satu-dua pembeli di warungnya yang datang. Satu hari lagi untuk bertahan. Satu lagi alasan untuk tetap hidup dan menjalani masa tuanya. Karena bagi Pak Wiryo, berhenti bukan pilihan. Hidup di hari tua, meski sepahit apapun, harus diselesaikan dengan kepala tegak.
Di jalanan yang kian sepi itu, Warung pak Wiryo tetap berdiri, — menunggu pembeli, bertahan, dan melawan waktu yang terus bergulir. Ternyata kata Pak Wiryo, tidak ada yang bisa menikmati hari tua bila tidak punya uang cukup di masa pensiun. Ayo siapkan pensiun!
ADVERTISEMENT