Kok Bisa, Kamu Merasa Belum Cukup?

Syarif Yunus
Dosen Unindra - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) - Konsultan - Mhs S3 MP Unpak - Pendiri TBM Lentera Pustaka
Konten dari Pengguna
25 Januari 2021 22:58 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi ibu ajarkan anaknya berdoa dan bersyukur. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ibu ajarkan anaknya berdoa dan bersyukur. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Cukup. Kata yang gampang disebut. Tapi sulit dikerjakan.
Ketika bilang "cukup", berapa banyak orang yang buru-buru membantahnya. Katanya, manusia tidak akan pernah ada cukupnya. Karena cukup, hanya dilihat dari material, dari fisiknya. Maka wajar, banyak manusia lebih senang berbantah-bantahan tentang “cukup”.
ADVERTISEMENT
Jadi cukup itu seperti apa?
Cukup ya cukup. Tidak lebih dan tidak kurang. Serba cukup dan selalu bersyukur atas apa yang dimiliki, atas apa yang dipunya. Cukup tidak berlebihan tidak berkekurangan. Contohnya, gaji cukup, rezeki cukup, makanan cukup. Bahkan perasaan pun cukup, pikiran yang cukup. Bolehlah cukup disebut “seimbang”.
Lalu, kenapa ada orang yang merasa tidak cukup?
Mungkin sudah zamannya. Saling berebut menyebut kurang cukup atau tidak cukup. Tapi tentu tidak ada keadaan tidak cukup yang tanpa sebab. Karena sejatinya, tidak cukup itu hanya bisa terjadi pada mereka yang lupa bersyukur. Mereka yang gandrung pada gaya hidup dan nafsu konsumeris. Makin tidak cukup lagi bila hanya membandingkannya dengan orang lain. Hingga lupa, bahwa apa yang sudah dimilikinya bukan hanya cukup. Tapi pantas dan sesuai dengan porsi-Nya. Itu saja, sederhana kan.
ADVERTISEMENT
Jadi cukup itu harusnya soal hati Nurani, soal pikiran. Sama sekali bukan material apalagi perasaan. Cukup atau belum cukup itu soal hati. Siapa pun, ketika merasa "tidak cukup" maka nikmat sebesar apa pun akan kurang. Tapi sebaliknya, saat merasa "sudah cukup” maka itulah hak yang pantas untuk disyukuri. Tapi jangan pula merasa “lebih dari cukup" bila akhirnya jadi jumawa, apalagi angkuh dan takabur.
Maka tidak ada pilihan lain. Katakanlah “sudah cukup”. Apa pun dan dalam keadaan apa pun. Karena cukup adalah hal yang paling pantas dimiliki saat ini, untuk siapa pun. Tanpa perlu membandingkan, tanpa perlu lebih banyak melihat ke atas.
Kok bisa, kamu merasa belum cukup?
Jadilah manusia yang cukup. Seperti kata Pak Sindhunata, “Manusia itu harus rumongso karo ragane--tahu diri dengan raganya. Karena merasa besar itu salah, merasa kecil itu keliru. Yang baik itu sedhengan (cukupan). Maka cukup itulah yang pas di hati. Pas, artinya tidak kelebeihan dan tidak kekurangan.
ADVERTISEMENT
Selain soal hati, cukup pun perilaku. Karena cukup itu keadaan. Yang hanya bisa dirasakan dengan hati dan tercermin dalam perbuatan. Bukan semata-mata atas akal atau ego. Cukup atau tidak cukup itu dari hati.
Bila ada hari ini. Orang yang tidak bisa menikmati apa yang ada. Gagal menahan diri. Terlalu sering mengeluh. Apalagi membandungkan dirinya dengan orang lain. Lalu selalu terperangah ke atas, sulit menjenguk ke bawah. Itulah orang-orang yang tidak pernah cukup. Hingga hidupnya diperbudak waktu, diperintah materi.
Maka katakan cukup, cukup, dan cukup. Alhamdulillah. Terimalah apa adanya. Bersyukurlah dengan keadaan saat ini. Itulah tanda sudah cukup.
Dan ketahuilah, merasa kurang atau lebih itu pada akhirnya akan “membunuh” kamu sendiri …
ADVERTISEMENT