Konten dari Pengguna

Literasi #KaburAjaDulu

Syarif Yunus
Dosen Unindra - Edukator Dana Pensiun - LSP Dana Pensiun - Konsultan - Lulus S3 MP Unpak - Pendiri TBM Lentera Pustaka
14 Februari 2025 7:38 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tiba-tiba #KaburAjaDulu meramaikan jagad media sosial belakangan ini. Kaum milenial dan Gen Z menyuarakan #KaburAjaDulu, sebagai ekspresi atas kekecewaan dan keprihatinan anak-anak muda terhadap kondisi Indonesia, yang dianggapnya justru makin banyak kesenjangan. Antara harapan dan kenyataan semakin “jauh panggang dari api”. Hari-hari ini, masalah Indonesia dianggap dianggap makin kompleks, makin memprihatinkan.
ADVERTISEMENT
Paling sederhananya, anak-anak muda hari ini merasakan semakin tidak mudah mencari kerja, seolah-olah makin tidak punya masa depan yang lebih baik di negerinya sendiri. Belum lagi ditambah “ketidak-beresan” yang melukai hati nurani masyarakat, mulai dari masalah gas elpiji 3kg, pagar laut, korupsi, hingga harga-harga kebutuhan pokok yang kian memberatkan. Apapun alasannya, keadaan Indonesia dianggap tidak makin baik. Indonesia memang tidak sedang baik-baik saja, maka muncullah #KaburAjaDulu. Itulah realitas yang beredar di berbagai platform media sosial.
Anggaran berbagai instansi pemerintah diketatkan dan dipotong. Kabarnya mencapai Rp. 300 triliun. Ramai pula di mana-mana berita pemotongan anggaran, bahkan menyebut gaji pegawai membaga negara hanya bisa dibayar sampai dengan Oktober 2025. Tapi di sisi lain, Deddy Corbuzier baru saja diangkat sebagai staf khusus Menhan. Kabinetnya gemuk, ada 48 menteri, 56 wakil menteri, dan 5 Kepala Badan. Lebih dari itu, pemotongan anggaran pun bisa berdampak signifikan terhadap terjadinya PHK tenaga honorer di instansi pemerintah. Bahkan bukan tidak mungkin, biaya UKT mahasiswa di kampus-kampus “terpaksa” dinaikkan gara-gara pemotongan anggaran.
ADVERTISEMENT
Pemotongan anggaran, kabarnya, untuk kasih makan anak-anak Indonesia melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG). Tapi di sisi lain, malah menjadikan kondisi ekonomi penuh ketidak-pastian, ekonomi justru stuck. Ekonomi Indonesia dianggap lebih lambat tumbuhnya daripada negara tetangga seperti Singapura, Malaysia atau Vietnam. Masih tingginya angka pengangguran, ancaman PHK, dan sulitnya mencari kerja kini menjadi realitas yang harus dihadapi. Maka beredar ajakan #KaburAjaDulu, mungkin karena apa yang dinarasikan dan realitas yang terjadi seakan tidak nyambung.
Kita memang harus mengerti. Apa yang dirasakan anak-anak muda Indonesia hari ini adalah aspirasi sekaligus ekspresi kegelisahan akan bangsanya sendiri. Mencari kerja semakin susah. Sudah bekerja pun merasa jurang dihargai, bahkan gajinya dianggap tidak sebanding dengan biaya hidup yang kian mencekik. Status pekerjaan kian tidak pasti, kapanpun bisa diganti atau diberhentikan sehingga ancaman PHK selalu menghantui. Kelas menengah kian menurun, kini hanya tinggal 17% dari sebelumnya 21%. Pekerja formal yang katanya ada 40% dari total angkatan kerja pun bila ditelisik secara dokumentatif mungkin hanya 24%. Selebihnya bekerja di sektor informal, yang lebih bersifat tidak pasti dari segi pendapatan maupun pekerjaannya.
Memaknai #KaburAjaDulu
ILO merekomendasikan apa yang disebut “kerja layak”. Yaitu bekerja yang nyaman, produktif, bermartabat, bebas diskriminasi, ada perlindungan sosial, dan punya gaji yang memadai. Bukan bekerja yang kondisinya tidak nyaman, dihantui ketakutan oleg PHK, atau sehhari-hari mebgeluh akibat gajinya tidak cukup. Maka #KaburAjaDulu semestinya dipahami sebagai aspirasi kaum Gen Z dan milenial yang menuntut negara untuk menciptakan iklim ekonomi dan dunia kerja yang layak, yang selalu tumbuh dan membangkitkan optimisme. Gen Z dan milenial menyuarakan #KaburAjaDulu sebagai bentuk perlawanan moral untuk mengajak semua pihak berpikir objektif, mengatasi kesenjangan antara harapan dan kenyataan.
ADVERTISEMENT
#KaburAjaDulu, tentu harus dimaknai bukan ajakan secara harfiah untuk “bekerja di luar negeri”. Akan tetapi sebagai metafora atas realitas dan harapan yang semestinya, di samping menjadi pesan moral untuk pemimpin dan negara akan pentingnya memperkecil kesenjangan sosial yang terihat semakin melebar. Ekonomi global memang sedang melambat, ekonomi bangsa pun tidak seang baik-baik saja. Namun kebijakan dan program nyata pemerintah pun jangan sampai malah kian menyusahkan masyarakat. Harus ada kesesuaian antara yang dinarasikan dengan apa yang dilakukan. Di saat kondisi tidak baik-baik saja, harus jelas perbadaan antara yang pantas dilakukan dengan yang tidak pantas dilakukan. Intinya, harus nyambung.
Kita semua menyadari, tidak ada negara yang tanpa masalah. Tidak ada negara tanpa ketimpangan sosial. Tapi spirit dan perilaku untuk meningkatkan kualitas hidup Masyarakat harus nyambung antara yag dikatakan dengan yang diperbuat. Dari hati yang paling dalam dan dari pikiran yang jernih, jelas yang dirasakan menjadi “lebih baik”, bukan “tidak lebih baik” atau “biasa-biasa saja”. Ajakan #KaburAjaDulu, harus dimaknai sebagai kontrol sosial anak-anak muda terhadap bangsanya sendiri. Untuk mengajak semua elemen bangsa, termasuk pemerintah melalukan introspeksi diri dan memperbaiki keadaan menjadi lebih baik dari sebelumnya.
ADVERTISEMENT
#KaburAjaDulu, tentu bukan ajakan kabur ke luar negeri. Tapi jeda untuk berpikir ulang dan menata kebijakan untuk mendekatkan harapan dan kenyataan, untuk menjadikan bangsa Indonesia lebih baik ke depannya. Itulah suara konkret tentang cinta terhadap bangsa Indonesia, memberikan pesan moral bukan membiarkan ketidak-beresan yang terjadi. Sejatinya #KaburAjaDulu memberi makna, ayo kita bikin rakyat happy, cari kerja gampang, dan ekonomi stabil. Baru kita bisa sama-sama makan siang bergizi, di mana pun. Sebuah literasi #KaburAjaDulu. Salam literasi!