Mempersoalkan Literasi Media Sosial

Syarif Yunus
Dosen Unindra - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) - Konsultan - Mhs S3 MP Unpak - Pendiri TBM Lentera Pustaka
Konten dari Pengguna
5 Januari 2019 19:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi media sosial (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi media sosial (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di media sosial. Bisa diprediksi, kita makin kenyang sama hoaks atau berita bohong. Ditambah ujaran kebencian, shaming, bullying, dan konten negatif lainnya. Maka lengkaplah "kelaparan" yang menghiasi jagat per-media sosial-an di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Riset "We Are Social" (Jan 2018) pun merilis rata-rata orang Indonesia menghabiskan 3 jam 23 menit sehari untuk mengakses media sosial. Kini, sudah 49 persen penduduk Indonesia tercatat sebagai pengguna aktif media sosial. Keren dan luar biasa.
Maka wajar, ketika ada "7 truk kontainer" keluar dari Tanjung Priok, siapa saja yang ada di dekat situ bisa bikin informasi apa saja. Bisa bilang "surat suara yang udah dicoblos", bisa juga "sertifikat tanah yang siap diedarkan". Termasuk "buka bengep" karena pengin awet muda dan cantik (barangkali bukan barang rongsokan) pun diplesetin "habis digebukin". Contoh kayak begitu, tentu hanya terjadi di media sosial. Media sosial emang keren bin ciamik.
Kita, pasti senang sama barang-barang konsumsi. Mulai dari makanan, fashion, buku bacaan, kosmetik, bahkan kendaraan. Maka untuk urusan itu semua, kita pun "sangat pandai" memilah dan memilih mana yang cocok mana yang tidak. Ada yang suka makanan pedas, ada yang tidak. Ada yang suka fashion motif batik ada yang tidak. Sudah pasti, tiap kita berbeda pilihan beda selera. Makanya, harus dipilah dan dipilih yang cocok. Biar nyaman dan enak buat kita, tentunya.
Mempersoalkan Literasi Media Sosial (1)
zoom-in-whitePerbesar
Tapi sayang, kita sering lupa.
ADVERTISEMENT
Hari ini dan ke depan, ada barang konsumsi yang kita santap tiap hari tiap menit tiap detik. Bahkan, dengan sangat rakusnya kita lahap. Itulah "informasi" atau "berita", apalagi yang ada di media sosial. Andai saja, informasi atau berita itu kita anggap sebagai obat-obatan. Tentu, kita gak bisa tenggak semua obat untuk semua penyakit.
Media sosial itu hebatnya, enggak kenal kasta. Apapun yang ada di medsos, berasal dari manapun, terlalu mudah dilahap oleh semua orang. Jangan orang enggak pintar, orang pintar saja bisa "hanyut" terbawa arus banjir informasi yang gak terbendung lagi di media sosial. Tiap informasi, gagal dipilah, gagal dipilih, apalagi cari tahu kebenarannya.
ADVERTISEMENT
Wajar kalau akhirnya, hoaks atau berita bohong jadi merajalela. Terus, siapa yang harus bertanggung jawab bila sudah begitu? Yang paling gampang sih, salahin saja pemerintah. Negara ini mau bagus mau gak, itu kerjaan pemerintahnya bukan rakyatnya. Cakep.
Hoax (Ilustrasi) (Foto: Shutter Stock)
zoom-in-whitePerbesar
Hoax (Ilustrasi) (Foto: Shutter Stock)
Hari ini dan esok, informasi itu makin gampang diperoleh. Informasi itu ada di mana-mana. Bahkan informasi itu pun terlalu mudah dibuat. Oleh siapapun, atas motif apapun. Tapi sayang, kita sering lalai. Kita justru malas dan tidak mau mengecek "kebenaran informasi itu sendiri". Terlalu gampang menebar informasi, yang belum tentu benar.
Bila mau jujur, saya dan teman-teman saya, mungkin sangat "literasi media sosial". Agar bisa memanfaatkan media sosial untuk kebaikan, untuk kemaslahatan umat. Bukan untuk menyesatkan, apalagi menjadi lebih bodoh dari sekolah dan ijazah yang bertahun-tahun dijalaninya. Literasi media sosial itu sangat penting, sangat perlu.
ADVERTISEMENT
Membaca itu perlu, tapi bukan untuk menjatuhkan. Menulis pun penting, tapi bukan untuk menyesatkan... Warga medsos, sangat butuh literasi media sosial ....
#TGS #LiterasiMediaSosial