Konten dari Pengguna

Mental Miskin

Syarif Yunus
Dosen Unindra - Ketua Dewas DPLK Sinarmas AM - Edukator Dana Pensiun - Konsultan - Dr. Manajemen Pendidikan - Pendiri TBM Lentera Pustaka - Penulis 54 buku
8 April 2025 11:54 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kemarin saat lebaran, ada kasus pemotongan uang kompensasi terhadap sopir angkot di kawasan Puncak Bogor. Kompensasi itu diberikan oleh Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat agar sopir angkot tidak beroperasi sewaktu arus mudik lebaran. Tapi akhirnya berkembang isu “uangnya disunat” oleh oknum. Kadang suka nggak habis pikir, kok bisa ya? Begitulah mungkin yang disebut “mental miskin”.
ADVERTISEMENT
Hati-hati dengan mental miskin. Karena pola pikir atau cara pandang kita cenderung terjebak pada rasa kekurangan. Bawaannya pengen “dapat jatah” cuma urusan uang doang. Akhirnya jadi lupa bersyukur, lupa kalua rezemi itu sudah dijamin sama Allah. Mental miskin itu lupa, asal niat baik dan ada ikhtiar, insya Allah dicukup. Apa masih nggak yakin? Sederhana sih, harusnya focus bukan pada kekuarangan tapi pada apa yang sudah dimiliki. Si oknum itu kan sudah kerja, nah supir angkot nggak boleh beroperasi maka dikasih kompensasi untuk biay hidup selama nggak narik. Kok kepikir untuk “nyunat” uang orang?
Mental miskin, biasanya terjado pada orang-orang yang suka membandingkan dirinya dengan orang lain. Lebih senang melihat kesuksesan orang lain daripada mensyukri apa yang dimiliki. Apalagi ditambah perilaku konsumtif dan bergaya hidup, jadilah mental miskin kia membabi buta. Mulailah untuk “mengusi” mental miskin, yang bawaannya minta-minta atau mengambil yang buka hak-nya.
ADVERTISEMENT
Coba deh belajar dari kisah ini. Suatu kali seorang miskin bertanya, “Mengapa aku menjadi orang yang sangat miskin dan selalu mengalami kesulitan hidup? Lalu, sang guru menjawab, ”Karena engkau tidak pernah berusaha untuk memberi pada orang lain".
"Tapi saya tidak punya apapun untuk diberikan pada orang lain?”, kata si miskin lagi.
Sang guru pun menjawab, ”Sebenarnya kamu masih punya banyak untuk kamu berikan pada orang lain"
"Apakah itu hai guru bijak ?" kata si miskin.
Sang guru dengan bijak menjawab sederhana. Lah, kita ini puya mulut, kenapa tidak dipakai untuk bisa memberikan senyuman dan pujian ke orang lain. Kita punya mata yang bisa memberikan tatapan yang lembut. Kita punya telinga yang bisa memberikan perhatian. Kita punya wajah yang bisa memberikan keramahan. Kita pun punya tangan yang bisa memberikan bantuan dan pertolongan kepada orang lain yang membutuhkan. Dan masih banyak lagi kok.
Jangan punya mental miskin
"Jadi sesungguhnya kamu bukanlah miskin hanya saja tidak pernah mau memberi pada orang lain. Itulah yang menyebabkan orang lain dan alam semesta juga tidak pernah mau memberikan apapun pada kamu" ujar sang guru.
ADVERTISEMENT
"Ketahuilah, kamu akan terus miskin seperti ini jika kamu sama sekali tidak mau memberi dan berbagi pada orang lain. Siapapun akan merasa kekurangan dan tidak memiliki apapun dalam hidupnya karena tidak mau memberi, sekalipun hanya senyuman."
”jadi, sekarang pulanglah dan berbagilah pada orang lain dari apa yang masih kamu punya. Agar orang lain dan alam semesta juga mau berbagi kepadamu dan hidupmu bisa berubah menjadi lebih baik."
Maka hindari mental miskin. Agar lebih mudah bersyukur atas apa yang dimiliki. Latih bersyukur setiap hari dan dari yang kecil-kecil. Lalu ubah cara pandang kita tentang uang, tentang kesuksesan. Bergaulah dengan orang-orang yang sederhanan dan tidak mempertontonkan kemewahan. Rileks saja, karena apapun di dunia ini, semuanya sudah pantas dan cocok untuk kita. Jangan pelihara mental miskin. Salam literasi!
ADVERTISEMENT