Renungan Jelang Puasa, Kenapa Masih Rajin di Media Sosial?

Syarif Yunus
Dosen Unindra - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) - Konsultan - Mhs S3 MP Unpak - Pendiri TBM Lentera Pustaka
Konten dari Pengguna
22 Maret 2023 16:29 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi lentera Ramadhan. Foto: JOAT/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi lentera Ramadhan. Foto: JOAT/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Ini hanya renungan seorang pegiat literasi. Jelang puasa, ada banyak pikiran berkecamuk. Tentang susahnya anak-anak diajak membaca buku. Susahnya orang tua mendamping anak-anaknya belajar. Hingga susahnya mengamalkan ilmu di era media sosial, di era serba internet. Akankah puasa bisa menjadikan kita lebih baik?
ADVERTISEMENT
Ada benarnya memang.
Zaman dulu, orang sulit mencari ilmu tapi mudah mengamalkannya. Tapi zaman sekarang, orang begitu mudah mencari ilmu tapi sulit mengamalkannya.
Zaman dulu, ilmu selalu dikejar, ditulis, dihafal, diamalkan, lalu diajarkan. Tapi zaman sekarang ilmu hanya diunduh, disimpan, dikoleksi, lalu diperdebatkan.
Zaman dulu, siapa pun butuh peras keringat dan banting tulang untuk mendapatkan secercah ilmu. Tiap zaman sekarang, cukup peras kuota internet sambil duduk manis ditemani secangkir kopi dan cemilan ringan.
Zaman dulu, ilmu disimpan di dalam hati sehingga selama hati masih normal ilmu tetap terjaga. Tapi zaman sekarang, ilmu disimpan di dalam memory external atau gadget maka bila baterai habis, ilmu pun tertinggal. Bila gadget rusak, hilanglah ilmu.
ADVERTISEMENT
Zaman dulu, siapapun harus duduk berjam-jam di hadapan guru penuh rasa hormat dan sopan agar ilmu bisa merasuk menjadi berkah. Tapi zaman sekarang, cukup tekan tombol atau layar sambil tidur-tiduran hingga ilmu merasuk bersama kemalasan.
Renungan pegiat literasi jelang puasa
Selamat datang siapa pun. Inilah zaman di mana bicara tanpa perlu suara. Melihat tanpa perlu tatap muka. Memanggil tanpa perlu teriak. Hingga bicara hanya perlu ketik saja, melihat hanya perlu klik saja,vdan memanggil hanya perlu japri saja.
Media sosial telah menjadi budaya dan tuntunan. Sementara kitab suci bisa jadi semakin terlupakan. Ilmu kian disepelekan. Akhlak dan adab pun kian terpinggirkan.
Di media sosial, semua ada. Dari yang hanya melihat-lihat, sampai mereka yang beradu pendapat. Dari tingkah yang dibuat-buat, sampai yang terang-terangan maksiat. Dari omongan yang penuh nasihat, sampai yang hanya kepura-puraan. Tanpa sadar, jari-jari tangan pun mulai berani berkhianat. Komat-kamit mulut jadi barang bukti kedutaan.
ADVERTISEMENT
Wahai diri ini yang begitu lemah tapi mengaku kuat. Wahai diri yang nestapa tapi berbuat arogan. Ingatlah, tangan dan mata sebentar lagi akan menjadi saksi. Mata dan tangan yang jadi musuh saat bersaksi. Atas apa yang dilihat dan diperbuat di media sosial. Bersaksi di hadapan-Nya. Tanpa bisa lagi berdebat dan membantahnya.
Renungan jelang puasa seorang pegiat literasi. Hanya mengingatkan untuk diri sendiri. Saatnya untuk kembali ke jalan-Nya. Sambil menjadikan media sosial dan apa pun sebagai ladang amal. Hentikan perbuatan buruk dan perilaku jelek yang telah jadi kebiasaan. Saatnya untuk menanam dan menebar benih kebaikan. Hingga menuai hasilnya di akhirat kelak.
Saat puasa, sudah cukup bila mau dan mampu memperbaiki diri. Meluruskan niat, membaguskan ikhtiar, dan memperbaiki banyak doa. Karena saya wajib mengenal dan memahami diri sendiri, bukan memahami orang lain. Semangat puasa. Salam literasi #PegiatLiterasi #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka
ADVERTISEMENT